Dalam dunia korporasi yang berputar terlalu cepat, Ethan Solomon Montgomery, Presiden Direktur Montgomery Group, hidup dengan ketenangan yang dirancang oleh keluarga yang membentuknya. Ia tumbuh untuk memimpin, bukan untuk diperintah. Sejak kecil Celine Mattea selalu berdiri di sisinya, perempuan yang mampu masuk ke semua pintu keluarga Montgomery. Celine mencintai Ethan dengan keyakinan yang tidak pernah goyah, bahkan ketika Ethan sendiri tidak pernah memberikan kepastian. Hubungan mereka bukan hubungan lembut yang manis, melainkan keterikatan panjang yang sulit dilepaskan. Persahabatan, warisan masa kecil, ketergantungan, dan cinta yang Celine perjuangkan sendirian. Ketika Cantika, staf keuangan sederhana memasuki orbit Ethan, sesuatu di dalam diri Ethan bergeser. Sebuah celah kecil yang Celine rasakan lebih tajam daripada pengkhianatan apa pun. Ethan dan Celine bergerak dalam tarian berbahaya: antara memilih kenyamanan masa lalu atau menantang dirinya sendiri untuk merasakan sesuatu yang tidak pernah ia izinkan. Ini adalah kisah dua orang yang seharusnya ditakdirkan bersama, tetapi cinta yang bertahan terlalu lama tidak selalu berarti cinta yang benar. Disclaimer: Novel ini adalah season 2 dari karya Author, “Falling in Love Again After Divorce.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengejar Kesempatan
Gedung utama Montgomery Corp pagi ini tidak hanya dipenuhi langkah kaki cepat dan bunyi sepatu formal. Seluruh lantai dari divisi keuangan hingga operasional, bergerak dalam irama yang sama: penasaran, terkejut, sekaligus bersemangat.
Di setiap meja kerja, terselip sebuah amplop tebal berwarna cream dengan segel lilin berlogo Montgomery yang dicetak timbul. Undangan resmi yang tidak dikirim melalui surel, tapi diserahkan langsung sebagai bentuk pernyataan kelas dan kekuasaan.
Ethan Solomon Montgomery dan Celine Attea.
Nama itu cukup untuk menghentikan percakapan apa pun. Ethan Montgomery, Presiden Direktur muda, pewaris dinasti Montgomery, pria yang dinginnya menjadi legenda di kalangan staf. Dan Celine Attea, wanita yang selama ini berdiri di sisinya dengan latar belakang yang tak jauh berbeda.
Tak ada kecemburuan di antara para staf. Hanya pengakuan dalam diam: jika ada wanita yang pantas berdiri di sisi Ethan Montgomery, maka itu memang Celine.
Di sudut lantai departemen keuangan, Cantika berdiri mematung. Jemarinya menggenggam undangan itu sedikit terlalu erat, seolah kertas tebal bertekstur halus itu memiliki berat yang jauh lebih besar dari seharusnya. Detak jantungnya tidak selaras dengan kebisingan sekitar, terlalu cepat dan intens.
Baru kemarin ia membiarkan dirinya mengakui sesuatu yang tidak seharusnya tumbuh. Kekaguman dan perasaan yang bahkan belum sempat diberi nama. Dan pagi ini semuanya runtuh oleh selembar undangan. Ethan sudah memiliki kekasih, dan besok ia akan menikah.
“Cantika.”
Suara Rania membuatnya tersentak. Undangan itu hampir terlepas dari tangannya.
“Kau sakit?” Rania mengerutkan dahi. “Wajahmu pucat.”
Cantika buru-buru menggeleng, memaksa senyum yang terasa asing di wajahnya. “Tidak apa-apa. Aku hanya ikut senang.”
Rania tidak curiga. Wajahnya justru berbinar. “Aku juga! Ya ampun, Pak Ethan dan Bu Celine itu serasi sekali. Tampan dan cantik, sama-sama pintar, sama-sama kaya.” Ia terkekeh kecil, larut dalam khayalannya sendiri. “Aku bahkan tidak bisa membayangkan wajah anak mereka nanti. Pasti sangat sempurna.”
Cantika menunduk sedikit, menahan sesuatu yang mengganjal di dadanya.
Rania mendekat, menurunkan suaranya. “Pulang kerja nanti, ayo kita belanja. Ini pesta Montgomery, Cantika. Kita tidak bisa datang asal-asalan.”
Cantika menggeleng cepat. “A-aku masih punya gaun di rumah, Ran.”
Rania menatapnya lebih lama, kali ini lebih lembut. Ia menyentuh lengan Cantika pelan. “Aku traktir.”
“T-tidak usah,” Cantika berusaha menolak.
“Tidak apa-apa,” potong Rania tegas, namun hangat. “Pestanya pasti megah. Kita harus terlihat pantas, supaya tidak dipandang rendah.”
Cantika terdiam sebelum akhirnya mengangguk kecil, lebih karena kelelahan batin daripada persetujuan. Undangan di tangannya mengingatkannya bahwa ada dunia yang boleh ia kagumi dari jauh, namun tidak akan pernah ia masuki.
Tapi…
Apa benar sudah tidak ada kesempatan lagi?
Cantika bergerak gelisah sejak pagi. Sejak undangan itu tergeletak rapi di sudut mejanya, pikirannya tak pernah benar-benar kembali ke ritme kerja. Angka, laporan, dan layar komputer hanya lewat tanpa makna. Ada sesuatu yang terus mendorong dadanya dari dalam, cinta juga harapan. Tanpa sadar kakinya melangkah menuju lift. Jemarinya menekan angka 36 dalam diam.
Lantai eksekutif selalu terasa berbeda, lebih sunyi dan lebih dingin. Udara beraroma mahal tercium saat pintu lift terbuka. Cantika melihat seorang office girl membawa nampan kopi menuju ruangan Presiden Direktur. Ia melihat sekitar, memastikan lorong kosong.
“Itu untuk Pak Ethan?” tanyanya, suaranya dibuat setenang mungkin.
Office girl itu mengangguk. “Iya, Bu.”
Cantika mengambil nampan itu dengan gerakan terkontrol. “Biar saya saja yang antar. Sekalian saya ingin mengantarkan berkas.”
“Tapi, Bu…”
Cantika tersenyum lembut, “Tidak apa-apa.”
Office girl itu ragu sejenak, lalu mengangguk. “Terimakasih, Bu.” katanya sebelum berlalu dari hadapan Cantika.
Cantika menarik napas panjang, merapikan rambutnya sebelum mengetuk pintu.
“Masuk,” suara Ethan terdengar datar dari dalam.
Cantika melangkah masuk. “Selamat siang, Pak,” katanya sopan, lalu meletakkan kopi di sisi meja kerja Ethan.
Ethan hanya melirik sekilas, tanpa mengucap apa pun ia kembali fokus pada layar laptopnya. Wajahnya tetap sama, selalu tenang dan tak tersentuh. Namun justru ketidakpedulian itulah yang membuat jantung Cantika berdebar lebih cepat. Ia berdiri di sana, mengumpulkan keberanian untuk bicara.
“S-saya ingin mengatakan sesuatu, Pak,” ucapnya akhirnya, suaranya sedikit bergetar.
Ethan menoleh dengan tatapannya singkat, isyarat tanpa kata agar Cantika berbicara.
Cantika mengeluarkan sesuatu dari saku roknya, sebuah gelang emas putih. Ia mengulurkannya dengan kedua tangan. “Saya menemukan ini di kursi kemarin. Apakah ini milik Bapak?”
Ethan mengangguk, mengambil gelang itu. Jemarinya menutup benda tersebut seolah tidak ada makna apa pun di baliknya.
Cantika masih berdiri di sana.
“Ada lagi?” tanya Ethan singkat.
Keberanian Cantika nyaris runtuh, tetapi ia memaksakan diri. “Apa… kita pernah bertemu sebelumnya?” katanya, nada suaranya tanpa sadar menjadi lebih personal.
Wajah Ethan tetap datar.
Cantika tersadar. “M-maaf, Pak. Saya hanya merasa pernah melihat Anda sebelumnya.” Ia menunduk, hendak berbalik.
“Bagaimana keadaan adikmu?” suara Ethan menghentikannya.
Cantika menoleh, terkejut. Sorot matanya melunak. “Dia sudah lebih baik, Pak.”
Ethan mengangguk kecil. “Jika kau membutuhkan sesuatu, datanglah padaku.”
Kalimat itu sederhana. Namun bagi Cantika, terdengar seperti perlindungan. Seperti pintu yang terbuka sedikit di dunia yang selama ini tertutup rapat baginya. Ia menatap Ethan lebih lama dari seharusnya. Sesuatu di dadanya menghangat, berkembang tanpa kendali.
“Saya…” suaranya bergetar. “Saya menyukai Bapak.”
Ethan tidak bereaksi.
“Saya tahu ini terlalu cepat. Saya tahu ini tidak pantas,” lanjut Cantika terburu-buru, air matanya menggenang. “Saya tidak tahu kenapa bisa seperti ini. Tapi saya rasa saya mencintai Bapak.”
Tatapan Ethan bagitu tenang, sulit bagi Cantika untuk mengerti arti di baliknya.
“Apa undangan di mejamu tidak cukup jelas?” kata Ethan pelan. “Besok saya akan menikah.”
Cantika mengangguk, air matanya jatuh. “Saya melihatnya, tapi perasaan saya terlalu besar.” Ia menarik napas, hampir terisak. “Bapak memberi saya perhatian yang belum pernah saya dapatkan sebelumnya.”
Ia memberanikan diri melangkah setengah langkah lebih dekat. “Izinkan saya berada di sisi Anda.”
Ethan menatapnya lurus. “Apa yang kau miliki sehingga merasa pantas berdiri di sisiku?”
Cantika terdiam, lalu menggeleng kecil. “Saya tidak akan menuntut apa pun. Saya tidak akan memberi tahu Bu Celine atau siapa pun.” Air matanya jatuh satu per satu. “Saya hanya ingin selalu ada untuk Anda.”
Kata-kata itu belum sepenuhnya selesai ketika wajah Cantika mendadak pucat. Ia meringis, memegangi kepalanya.
“Sakit…” bisiknya.
Tubuhnya limbung, lalu jatuh lemas tak bertenaga.
Ethan bergerak cepat, menangkapnya sebelum benar-benar terjatuh, lalu membaringkannya di sofa.
“Apa yang terjadi?” tanyanya, nadanya lebih rendah.
“Saya pusing, Pak” jawab Cantika lemah. “Saya tidak tidur semalaman karena harus menjaga adik saya.”
Ethan menatapnya sejenak, lalu berjalan ke mejanya dan menekan interkom.
“Panggil Paman Jerry sekarang!”
Balas dendam kah?
Siapa Barlex?
Berhubungan dengan ortunya Cantika kah?
Haiisz.. makin penisiriin iihh.. 😅😅🤣🤣
Thanks kk Demar 🤌🏻🤌🏻
next kak 🫰🫰
dari pronolog cerita ini soal celine dan ethan yang mungkin akan disisipin orang ketiga. trus muncul barlex ntah genk apa ini. trus tibatiba udah dirumah cantika dan berhubungan sama barlex 🤔
ini yg clue dari rega kah? tapi mengarah kemandose ini kisah ya. maap agak agak kurang nangkep saya 🫣
inget ke celine yang bucin dari kecil tapi dicuekin,disia²in pokoknya ethan dingin bgt ke celine mentang² tau cinta celine begitu besar jadi bersikap se enaknya,gk perduli alasan apapapun....ethan harus merasakan yg sama.buat celine bener² dingin dan biasa² aja ke ethan thor mau ethan kena masalah jangan libatkan celine ke amox.
semoga celine ketemu cogan yg ngejar² dia biar biar tau rasa ethan....
sakit hatiku melebihi celine wkwkwkwk