NovelToon NovelToon
Sebungkus Mie Instan

Sebungkus Mie Instan

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Selingkuh / Janda / Romansa
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Tika Despita

Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.

Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lagi-lagi Mie Instan

Ternyata jadi cleaning service di lantai atas itu nggak seseram dan seribet yang digosipin orang-orang. Buktinya, hari ini aku bisa melaluinya dengan cukup baik, meski salah satu sekretarisnya Pak Arsya lumayan nyebelin. Tapi itu semua nggak masalah. Yang penting, si bos besar itu nggak seaneh atau semenyeramkan yang diceritain Bu Siska sama Mbak Cici.

Dibilang kerja berat juga enggak. Malah bisa dibilang kerjaan hari pertama ini cukup santai. Tugasku cuma bersihin ruangan Pak Arsya dan siapin tehnya setiap pagi dan sore. Aku sempat nawarin diri ke Mbak Cici buat bantu bersihin ruangan lain juga, tapi katanya nggak usah. Tugas aku cukup di lantai tempat ruangannya Pak Arsya aja. Katanya, itu instruksi langsung dari atasan.

Jam dinding di ruang resepsionis sudah menunjuk pukul lima sore. Akhirnya, jam kerjaku hari ini selesai juga. Aku buru-buru beresin alat kebersihan, ganti baju, dan siap-siap pulang. Tadi Kevin udah chat, katanya dia mau jemput dan kami bisa pulang bareng.

Sekarang aku berdiri di depan gedung perusahaan, sambil sesekali melirik layar ponsel. Katanya sepuluh menit lagi datang, tapi ini udah hampir sejam aku nungguin. Sinar matahari mulai meredup, jalanan makin ramai, dan kakiku udah pegal berdiri. Tepat saat aku mau nyerah dan cari ojek online aja, Kevin nelpon.

“Maaaf, Mbak! Motorku mogok! Aku lagi di bengkel sekarang,” suaranya terdengar di seberang sana.

Aku menarik napas panjang. “Yaudah, nggak apa-apa. Hati-hati aja, ya.”

Begitu panggilan ditutup, aku melirik sekeliling. Di jam segini, nyari ojek tuh kayak nyari jarum di tumpukan jerami. Semua orderanku ditolak atau “driver-nya jauh banget.” Aku mulai pasrah, sambil menggenggam tas kain yang udah agak lusuh.

Tiba-tiba, sebuah mobil hitam berhenti di depanku. Kacanya pelan-pelan turun. Aku refleks mundur selangkah, takut dikira ngapa-ngapain. Tapi mataku langsung membulat begitu lihat siapa yang duduk di balik kemudi.

“Aini, kamu belum pulang?” suara itu tenang tapi tegas. Siapa lagi kalau bukan Pak Arsya.

Aku langsung panik kecil. “I-iya, Pak. Lagi nunggu ojek.”

“Jam segini susah nyari ojek,” katanya sambil melirik jam tangan. Suaranya datar tapi entah kenapa ada nada perhatian di situ.

“Iya, Pak. Saya tunggu aja dulu. Siapa tahu nanti ada yang lewat,” jawabku sopan, sambil mencoba senyum tipis.

Pak Arsya diam sejenak. Tatapannya bikin aku agak kikuk. “Ya sudah, kalau begitu, ikut saya saja. Sekalian pulang, toh rumah kita searah, kan?” tawarnya dengan nada santai.

“Wah, nggak usah, Pak!” aku buru-buru menolak.

 Nggak enak aja. Takutnya nanti disangka yang aneh-aneh sama orang.Apalagi saat ini aku sedang proses cerai dengan bang Rendra.

Dia justru tersenyum tipis dan senyum itu bikin aku bengong sepersekian detik.

“Baiklah. Kalau kamu nggak mau, saya pesankan taksi online aja, ya. Sebentar lagi datang. Ongkosnya biar saya yang bayar.”

Sebelum aku sempat nolak, dia udah nelpon seseorang dan memberi instruksi singkat. Setelah itu, dia cuma melambaikan tangan dan menutup kembali kaca mobilnya. Mobil hitam itu melaju pergi, meninggalkan aku yang masih bengong.

Perasaanku nggak salah, kan? Barusan Pak Arsya… senyum ke aku? Bukankah kata gosip-gosip di pantry, dia itu jarang banget senyum bahkan ke bawahannya sendiri? Katanya, kalau dia udah melotot, satu kantor bisa tegang. Tapi tadi, ekspresinya nggak seseram itu. Ah, entahlah.

Benar aja, beberapa menit kemudian, taksi online datang. Supirnya langsung nyapa sopan, “Taksi pesanan atas nama Aini?”

Aku langsung angguk dan naik. Sepanjang perjalanan aku cuma bisa melamun. Entah kenapa, rasanya sekarang hidupku lebih agak menyenangkan.Mungkin karena aku sudah punya pekerjaan untuk biaya hidup aku dan Keenan di masa datang.

Begitu sampai di depan rumah, rasa lelahku langsung hilang begitu lihat pemandangan yang bikin hati adem: yaitu Keenan udah mandi, rambutnya masih agak basah, dan dia lagi disuapin makan sama ibuk di teras.

“Mamaaa!” teriaknya riang begitu lihat aku turun dari taksi.

Aku langsung jongkok dan buka tangan lebar.

“Hmmm… anak Mama udah mandi, ya? Pantes wangi banget!” Aku mencium pipinya yang lembut, dan Keenan langsung melingkarkan tangannya di leherku.

Ibuk tersenyum melihat kami. “Kok naik taksi pulangnya, Nak?”

“Itu, Buk,” jawabku sambil menggendong Keenan masuk ke rumah.

“Motor Kevin mogok, jadi aku pesen taksi.”

“Oooh, gitu.” Ibuk cuma mengangguk, tapi pandangannya sedikit menyipit curiga.

“Tapi itu tadi kan naik taksi online, gak mahal bayarnya?”

"Sebenarnya iya buk. Tapi tadi bukan Aini yang bayar tapi anak Tante Ratna." jawabku tersenyum.

" Kok bisa?"ibuk menatap heran kepadaku.

" itulah buk,ternyata yang punya perusahaan tempat Aini kerja itu anak tantenya Ratna. Aini juga sempat kaget tadi."

" Tadi dia seh ngasih tumpangan,namun Aini tolak. Gak enak kan nanti tetangga lihat.Apalagi status Aini masih belum resmi cerai dari bang Rendra," jawabku dan ibukpun mengangguk setuju.

-

-

Setelah Keenan tertidur pulas di kamar, aku berjalan pelan ke dapur. Perutku sudah dari tadi keroncongan karena sejak pulang kerja tadi belum sempat makan apa pun. Aku pikir mau bikin nasi goreng sisa atau paling nggak bikin teh hangat biar perut nggak kosong. Tapi baru aja aku sampai di dapur, aku lihat Kevin sudah duduk di meja makan sambil menyeduh sesuatu.

“Makan apa kamu, Vin?” tanyaku sambil mendekat, penasaran soalnya aromanya khas banget.

Kevin mendongak sebentar lalu senyum kecil. “Mie instan, Mbak! Mau?” tawarnya santai, sambil terus menyeruput mie dari mangkok.

Aku meringis. “Mie instan lagi? Nggak, deh.”

Kevin tertawa kecil, mengejek, “Sok nolak. Padahal makan mie instan itu paling enak, apalagi malam-malam gini.”

Aku menarik kursi dan duduk di depannya.

“Mbak udah nggak suka mie instan lagi, Vin. Soalnya setiap lihat mie itu, Mbak langsung inget masa-masa susah dulu.”

Kevin yang tadinya masih makan, berhenti sejenak. Aku menunduk, menatap kosong ke arah meja.

“Dulu, hampir tiap hari Mbak cuma bisa masak sebungkus mie buat bertiga. Buat Mbak, bang Rendra, sama Keenan yang masih kecil ini. Kadang malah cuma buat mereka berdua, Mbak nggak makan. Rasanya perih banget kalau diingat lagi.”

Suaraku mulai serak, dan mataku pun terasa panas. Gambarannya jelas banget di kepala bagaimana dapur kecil yang gelap, air panas di panci, dan aku yang diam-diam nahan lapar biar bang Rendra bisa kenyang. Tapi nyatanya, semua pengorbanan itu cuma dibalas dengan pengkhianatan.

Aku memejamkan mata sebentar, mencoba menahan air yang mulai menggenang di pelupuk.

“Lucu ya, Vin. Dulu Mbak pikir cinta bisa bikin orang kuat. Ternyata, malah bikin Mbak hancur.”

“Mbak…” panggil Kevin pelan, suaranya menenangkan, memecah lamunanku. Dia meletakkan garpu dan menatapku penuh iba.

“Udah, jangan diingat lagi, Mbak,” katanya lembut.

“Aku sama Ibuk nggak bakal biarin Mbak menderita lagi, tenang aja. Sekarang Mbak fokus aja buat bahagia.”

Aku mengangguk pelan, memaksakan senyum. “Iya, Mbak tahu. Cuma kadang rasanya susah aja buat lupain semuanya.”

Kevin tersenyum, lalu menepuk pelan punggung tanganku. “Yang penting Mbak jangan patah semangat, ya. Rendra itu biarin aja sama hidupnya sendiri. Mbak harus bangkit dan terus jalan ke depan. Hidup Mbak nggak berhenti cuma karena dia.”

Aku menghela napas panjang. Ada hangat yang menjalar di dada. “Insyaallah, Vin. Mbak bakal berusaha. Demi Keenan… demi Ibuk juga.”

“Dan demi diri Mbak sendiri,” sambung Kevin sambil tersenyum lebar.

Aku terkekeh kecil. “Iya, iya. Demi diri Mbak juga.”

Suasana dapur jadi lebih tenang. Kevin kembali melanjutkan makannya, sementara aku hanya menatap uap mie yang masih mengepul dari mangkoknya. Entah kenapa, aromanya yang dulu terasa menyedihkan, malam ini justru terasa biasa saja. Mungkin karena hatiku mulai belajar menerima.

1
Kala Senja
Bagus ceritanya
Qhaqha
Semoga suka dengan karyaku ini... 😊😊😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!