Anindya Semesta hanyalah gadis ingusan yang baru saja menyelesaikan kuliah. Daripada buru-buru mencari kerja atau lanjut S2, dia lebih memilih untuk menikmati hari-harinya dengan bermalasan setelah beberapa bulan berkutat dengan skripsi dan bimbingan.
Sayangnya, keinginan itu tak mendapatkan dukungan dari orang tua, terutama ayahnya. Julian Theo Xander ingin putri tunggalnya segera menikah! Dia ingin segera menimang cucu, supaya tidak kalah saing dengan koleganya yang lain.
"Menikah sama siapa? Anin nggak punya pacar!"
"Ada anak kolega Papi, besok kalian ketemu!"
Tetapi Anindya tidak mau. Menyerahkan hidupnya untuk dimiliki oleh laki-laki asing adalah mimpi buruk. Jadi, dia segera putar otak mencari solusi. Dan tak ada yang lebih baik daripada meminta bantuan Malik, tetangga sebelah yang baru pindah enam bulan lalu.
Malik tampan, mapan, terlihat misterius dan menawan, Anindya suka!
Tapi masalahnya, apakah Malik mau membantu secara cuma-cuma?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semesta 14.
Sewaktu mamanya Anindya bilang akan mengirimkan baju ganti, Malik tidak tahu kalau yang akan datang adalah sebuah tas jinjing besar, yang ketika dibuka, isinya betul-betul di luar dugaan. Beberapa setel baju longgar, susu ibu hamil, aneka camilan sehat, tisu basah dan kering, lotion khusus dan minyak aromaterapi, sampai mug ungu janda dengan sablon kuromi.
Lupakan soal segala tek-tek bengek kebutuhan ibu hamil, toh wajar saja karena Anindya memang pandai berakting. Yang mengganggu pikiran Malik adalah jumlah pakaian yang mamanya Anindya bawakan. Terlalu banyak, seolah-olah mereka akan menginap di rumah sakit untuk waktu yang cukup lama.
Tapi, di antara itu semua, ada satu yang paling membuat kepala Malik pening. Tak lama setelah sopir yang ditugaskan mengantarkan tas pulang, mamanya Anindya mengirim pesan. Wanita itu meminta tolong supaya Anindya dijaga baik-baik. Supaya Malik bersikap manis agar Anindya tidak stres dan membuat bayi mereka terusik. Padahal, andai wanita itu tahu, justru putri kecilnya lah yang sudah membuat Malik stres berat.
"Mas Malik."
Malik malas menjawab, ia hanya melirik sekilas lalu kembali khidmat dengan ponselnya.
Lampu di kamar rawat Oma sudah dimatikan sebagian, membuat ruangan menjadi remang-remang. Oma yang meminta. Meski dirinya sendiri tak bisa tidur dalam keadaan gelap, Oma tetap memikirkan soal Malik dan Anindya. Tahu bahwa sepasang manusia itu sensitif cahaya.
Oma sudah lelap dalam tidurnya setelah minum obat satu setengah jam yang lalu. Anindya juga sudah dalam posisi siap tidur, berbaring telentang di kasur lipat dengan selimut membungkus tubuhnya sebatas dada. Sementara Malik, ia duduk bersilang kaki di sofa, sejak setengah jam lalu sibuk menggulir layar--membaca berita.
"Mas,"
Malik menarik napas panjang. Ia memandang Anindya dengan sorot lelah dan jengah.
"Anindya bingung," adu sang gadis.
Entah apa yang dibingungkan kali ini, Malik tak berniat untuk peduli. Tidak penasaran juga. Jadi dia tidak bertanya dan kembali menggulir layar.
"Mas Malik ihh ... dengerin dulu."
"Bingung kenapa?" tanya Malik malas, pada akhirnya.
Anindya bangkit dari posisi rebah, duduk memeluk kedua kakinya yang ditekuk, dengan kepala bersandar di lutut. "Kehamilan pura-pura ini kan nggak mungkin disembunyikan selamanya."
"Terus?" Malik masih tak mengalihkan pandangan dari layar ponselnya.
"Lama-lama bakal ketahuan dong kalau Anindya cuma pura-pura hamil."
Malik berhenti menggulir tepat di satu link berita bertajuk, Pura-pura hamil agar dinikahi sang kekasih, seorang gadis SMA berakhir tragis di dalam tong. Pikir Malik, pas sekali. Seakan semesta tahu prahara kehidupan yang sedang ia hadapi. Bedanya, Malik tak benar-benar punya keinginan untuk membunuh Anindya. Selain berisiko, itu juga memerlukan terlalu banyak rencana dan tenaga.
Lagi pula, mereka bahkan bukan sepasang kekasih.
"Mas Malik ada ide nggak supaya kehamilan pura-pura ini nggak ketahuan duluan sama Mama dan Papa?"
"Nggak," jawab Malik cepat. Ia menatap Anindya galak.
"Masa nggak ada sama sekali, sih? Mas Malik kan cerdas, masa nggak ada satu ide pun?"
"Nggak ada."
"Mas Malik...."
Malik meninggalkan ponselnya di meja. "Itu bukan urusan saya. Kamu yang mulai semuanya, ya kamu yang harus cari solusinya." Sejenak, Malik mengalihkan perhatian pada Oma yang terlelap damai, lalu kembali menatap Anindya dan menambahkan, "Makanya, lain kali pikirin dulu baik-baik sebelum melakukan sesuatu. Sekarang kalau udah begini, kamu pusing sendiri, kan?"
"Tapi, kan...."
"Saya nggak mau dengar apa pun, Anindya. Itu masalah kamu, atasi sendiri." Seakan ingin mempertegas ucapannya, Malik bangkit. Membawa serta ponselnya, lelaki itu ngeloyor begitu saja keluar dari kamar rawat Oma. Meninggalkan Anindya yang kepalanya mulai terasa berputar-putar bagai habis naik kora-kora.
...🌲🌲🌲🌲🌲...
Selama hampir satu jam, Malik berkelana tak tentu arah. Dia ikuti ke mana saja langkah kakinya membawa pergi. Melewati tangga alih-alih memakai lift, ia cosplay menjadi petugas keamanan. Menyambangi satu persatu bagian dan memastikan tak ada penyusup yang bisa mengganggu ketenangan para pasien dan pekerjaan para staf medis. Sesekali ia akan berhenti di depan ruangan yang menurutnya menarik. Sebelumnya di depan kamar bayi, lalu kali ini ia berdiri cukup lama di depan kamar mayat.
Malik tidak percaya hantu. Dia yakin orang yang sudah mati akan hidup di alamnya sendiri. Entah di mana tempatnya. Entah di langit, di dasar bumi, atau di dalam liang kuburannya masing-masing. Tidak ada kemungkinan mereka masih berkeliaran di dunia dan mengganggu manusia lain yang masih hidup.
Itulah sebabnya, ia begitu takut kehilangan Oma. Karena dia tahu, ketika Oma meninggal, ia tak akan pernah bisa datang lagi padanya dalam wujud apa pun. Itu adalah sesuatu yang begitu menyesakkan. Tak peduli seberapa rindu, Malik tidak akan bisa melihat sosoknya lagi secara langsung. Hanya akan tersisa dalam ingatan. Yang lama-kelamaan akan pudar.
Dari dalam kamar mayat itu, samar-samar terdengar lantunan doa yang dibacakan dengan suara bergetar. Kesedihannya terasa menyayat hati, meski Malik tidak mengenal siapa mendiang dan keluarga yang ditinggalkan. Jadi sebelum berbalik dan melanjutkan langkah, Malik ikut menunduk sejenak. Sukarela melangitkan doa agar jiwa mendiang bisa pergi dengan tenang, dan keluarganya bisa melanjutkan hidup dengan sebagaimana mestinya.
Setelah selesai berdoa, Malik melanjutkan petualangannya. Langkahnya kini membawanya keluar area gedung rumah sakit. Lancar terayun ke sisi kiri bangunan, menuju area taman yang kalau siang tampak begitu asri nan nyaman.
Angin malam berembus kencang menerpa tubuh Malik. Menerbangkan helaian rambutnya, sekaligus membuat badannya sedikit bergidik. Ia mengusap lengannya yang telanjang. Sedikit menyesal karena terburu-buru keluar sehingga tak sempat menyambar jaketnya di sofa. Berakhir berkeliaran dengan tubuh dibalut kaus lengan pendek dan celana bahan panjang.
Malik berhenti melangkah dan duduk di salah satu bangku kayu yang mengarah ke jalanan, membelakangi gedung rumah sakit dengan posisi menyerong ke kiri. Tatapannya kosong menatap rerumputan hijau yang dipangkas rapi dan tampak terawat. Diabaikannya desau angin yang terasa dekat dengan telinga. Mulai sibuk mengarungi pikirannya yang awut-awutan tak keruan bentuknya.
Baru beberapa saat melamun, Malik dibuat tersentak karena munculnya suara gemersik mencurigakan dari arah belakang. Dia menoleh, menajamkan pandangan guna mencaritahu dari mana datangnya keributan di tengah kesunyian malam itu. Setelah mencari beberapa lama, ia temukan juga akhirnya. Semak-semak beberapa meter di belakang bergerak heboh. Seolah sedang terjadi pertarungan sengit entah antara apa.
Jiwa kepo Malik mendadak muncul. Dia bangkit dari kursi, berjalan perlahan menghampiri semak-semak yang masih terus bergoyang sambil tetap memasang sikap waspada.
Satu langkah.
Dua langkah.
Tiga langkah.
Empat langkah.
Sampai dua langkah lagi tiba, kasak-kusuk di semak-semak tahu-tahu berhenti. Malik mengerutkan kening kebingungan. Kepala melongok perlahan untuk mencaritahu apa gerangan yang terjadi.
Lalu....
"Waaaaa!!!"
Malik terjengkang ke belakang. Mendarat tak estetik di rerumputan yang sedikit basah terkena embun malam. Jantungnya berdetak kencang dan napasnya seketika tertahan, seiring dengan munculnya sesosok mahkluk yang nyaris membuat darahnya berhenti mengalir ke otak.
Bersambung.....