NovelToon NovelToon
Red Thread

Red Thread

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Wanita Karir / Trauma masa lalu / Office Romance / Ibu susu
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: About Gemini Story

Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan—terutama bagi Althea Reycecilia Rosewood, wanita dewasa berusia 27 tahun berparas cantik, dibalut pakaian casual yang membuatnya terlihat elegan, tatapan lembut dengan mata penuh kenangan. Setelah lama tinggal di luar negeri, ia akhirnya kembali ke Indonesia, membawa harapan sederhana 'semoga kepulangannya tak menghadirkan kekecewaan' Namun waktu mengubah segalanya.

Kota tempat ia tumbuh kini terasa asing, wajah-wajah lama tak lagi akrab, dan cerita-cerita yang tertunda kini hadir dalam bentuk kenyataan yang tak selalu manis. Namun, di antara perubahan yang membingungkan, Althea merasa ada sesuatu yang masih mengikatnya pada masa lalu—benang merah yang tak terlihat namun terus menuntunnya kembali, pada seseorang atau sesuatu yang belum selesai. Benang yang tak pernah benar-benar putus, meski waktu dan jarak berusaha memisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon About Gemini Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kali Ini Berbeda

Langit Zurich masih kelabu saat pesawat pribadi yang disiapkan Al lepas landas. Suasana kabin dirancang tenang dan nyaman—kursi first class yang bisa direbahkan penuh, selimut kasmir lembut, pencahayaan hangat, dan aroma lavender lembut memenuhi udara.

Baby Cio tidur di pangkuan Thea dengan tenang, kepalanya bersandar di dada ibunya yang kini mulai terasa penuh kasih. Thea menatap wajah kecil itu, jemarinya mengusap perlahan pipi bayi itu, memastikan setiap tarikan napasnya lembut dan teratur.

Al duduk di seberangnya, tangannya menopang dagu, memperhatikan Thea dan Baby Cio dengan tatapan yang dalam.

"kamu kelihatan beda sekarang," gumam Al, suaranya pelan nyaris tertelan deru mesin pesawat.

Thea menoleh sekilas. "Beda gimana?"

"Beda... kayak ada sisi kamu yang selama ini kamu simpen rapat-rapat, sekarang keluar perlahan. Mungkin karena Baby Cio."

Thea tersenyum tipis. "Dia alasan aku bertahan, Al. Hidup. Bernapas."

Al menatap ke luar jendela, melihat gumpalan awan yang berarak pelan di bawah sayap pesawat. Ia mengganti topik, suaranya lebih serius, namun tetap lembut.

“Thea... setelah sampai Jakarta, aku pengen kamu dan Baby Cio tinggal di mansion aku.”

Thea langsung mengerutkan kening. “aku udah bilang, aku mau dia tinggal di apartemen aku. aku udah siap urus semuanya sendiri.”

Al menggeleng pelan. “kamu nggak harus lakuin itu semua sendiri. Di mansion, kita punya dokter pribadi, perawat, bahkan tim dapur buat bantu. aku juga udah siapin kamar buat dia. Lengkap. Aman. aku pengen kamu kerja dari sana, dari rumah.”

“Kerja dari rumah?” Thea menatapnya, suara dan sorot matanya sedikit naik.

Al mengangguk. “aku tahu kamu bisa kerja remote. kamu Head Designer, kamu bisa handle tim dari mana pun. Bahkan ruang kerja kamu aku siapin. Ruangannya penuh cahaya, dan privasi kamu nggak bakal diganggu.”

Thea mendesah panjang, lalu menunduk sebentar sebelum menatap Al lagi. “aku tahu kamu niat bantu. Tapi Al, jadi Head Designer bukan cuma soal duduk depan laptop. aku harus review bahan, liat prototype, interaksi langsung sama klien, vendor, kadang ikut photoshoot. aku nggak bisa WFH penuh. Dan... I need to keep standing on my own feet.”

Al terdiam sejenak. Ia tahu benar betapa keras kepala Thea, terutama kalau menyangkut kemandiriannya.

“Apartemen kamu kecil, Thea. Baby butuh ruang gerak. Apalagi kamu juga kekeh tetep kerja dan urus baby cio sendiri. Kamu bakal capek.”

“Capek aku urus. Ini bukan tentang fasilitas atau ukuran rumah, ini tentang ngebuktiin kalau aku bisa. aku ibunya. aku nggak mau sepenuhnya bergantung. Aku bukan cuma seseorang yang kamu rawat, Al.”

Untuk beberapa menit, hanya suara kipas kabin yang terdengar. Akhirnya, Al mengangguk pelan.

“Oke. Tapi aku tetap pengen kamu dan Cio tinggal di mansion... setidaknya buat sekarang. aku tahu kamu bakal sibuk di kantor. Di sana lebih banyak yang bisa bantu kalau kamu lagi kerja. Nggak ada yang ngambil hak kamu sebagai ibu, Thea. aku cuma... pengen jadi bagian dari hidup dia juga.”

Thea terdiam. Ia menatap wajah Al yang terlihat jujur dan tulus. Ada kekuatan dalam sorot matanya, tapi juga kelembutan yang sama besar.

“Baik,” ucap Thea akhirnya. “Untuk sementara. Tapi semua tentang Baby Cio tetap aku yang atur. Jadwal tidur, makan, rutinitas. kamu boleh bantu, tapi kamu juga harus ikut aturan aku.”

Senyum tipis muncul di wajah Al. “I wouldn’t dare to break them.”

Pesawat meluncur perlahan melewati sabuk waktu, dan saat langit mulai memerah di ufuk timur, mereka pun tahu—di ujung penerbangan panjang ini, kehidupan baru mereka di Jakarta benar-benar akan dimulai. Bersama Baby Cio. Bersama luka dan harapan mereka. Dan cinta yang pelan-pelan, sedang tumbuh kembali.

♾️

Begitu pesawat mendarat mulus di Bandara Soekarno-Hatta setelah penerbangan panjang dari Zurich, suasana hati Thea bercampur. Tangannya menggenggam erat selimut kecil Baby Cio yang tertidur pulas dalam gendongan. Al menoleh padanya, memberi senyum hangat yang meyakinkan. “Sudah di rumah,” bisiknya pelan.

Perjalanan menuju mansion pribadi Al di kawasan elit Jakarta berlangsung dalam diam yang tenang. Thea memandangi jendela mobil, menyadari bahwa ini bukan sekadar kembali ke Indonesia—ini adalah awal dari kehidupan barunya bersama Baby Cio. Di sampingnya, Al terus memastikan mereka nyaman, sesekali memeriksa suhu mobil dan memastikan Baby Cio tetap hangat.

Setibanya di mansion, gerbang besi terbuka otomatis dan menyambut mereka dengan taman luas yang tertata rapi. Pagar tanaman menjulang dengan lampu-lampu taman yang baru saja menyala, menyambut sore yang berubah menjadi senja. Thea menatap kagum ke arah bangunan megah itu—arsitektur klasik modern dengan dominasi warna putih gading dan kaca besar yang menciptakan kesan hangat namun elegan.

Begitu turun dari mobil, staf rumah tangga menyambut dengan sopan dan penuh hormat. “Selamat datang, Tuan Aleron, Nona Thea. Kamar Baby Cio sudah siap seperti yang diminta,” kata kepala pelayan, sambil mempersilakan mereka masuk.

“Aku masih nggak percaya kamu nyiapin semua ini,” ucap Thea pelan, memandangi kamar bayi yang dipenuhi perlengkapan bayi modern namun tetap lembut dan hangat. Warna soft gray dan ivory mendominasi interiornya.

“Aku cuma ingin tempat terbaik buat kalian,” jawab Al sambil meletakkan koper Thea di kamarnya.

“Aku tahu kamu mau tinggal di apartemenmu, tapi aku cuma nggak pengen kamu lelah sendirian. Di sini kamu bisa fokus ke Baby Cio juga pekerjaanmu.”

Thea menunduk, lalu mengangguk. “Aku ngerti. Dan... mungkin kamu benar. Kadang aku terlalu keras kepala.”

Malam harinya, setelah makan malam hangat bersama Baby Cio yang mulai terbiasa menyusu pada Thea, mereka duduk di ruang keluarga. Meja kopi berisi camilan dan teh, sofa empuk menghadap ke jendela besar yang menampilkan gemerlap lampu kota.

Lalu ponsel Al berbunyi—video call dari keluarganya. Ia menekan tombol hijau dan wajah Mommy-nya langsung muncul di layar.

“Akhirnya kalian sampai juga!” seru Mommy Al dengan ekspresi lega.

“Sayang sekali, kenapa nggak tinggal aja di mansion mommy, hm? Lebih ramai dan kamu tahu, aku bisa bantu jagain Baby Cio juga.”

Al tersenyum. “Mom, aku cuma ingin Thea nyaman dulu. Kita butuh waktu adaptasi.”

"Baiklah setelah kami pulang ke Indonesia kalian harus berjanji menginap dimansion" Ucap mommy Mariana mengalah dengan anak sulungnya itu.

Dari belakang, Daddy Al menyahut, “Selamat datang, Thea. Kami bangga sama kalian. Dan Baby Cio... dia bagian dari keluarga sekarang.”

“Terima kasih, Om,” ujar Thea pelan, matanya sedikit berkaca.

Tak lama, muncul wajah Grandma Al. Rambutnya yang putih tersisir rapi, mengenakan syal rajut. “Besok kamu dan Thea harus ke mansion Grandma, ya. Grandma udah rindu banget. Itu akhir pekan, jadi kalian nggak bisa nolak!”

Al dan Thea tertawa bersamaan. “Siap, Grandma. Kami akan datang,” jawab Thea mantap.

Lalu dua wajah muda lainnya muncul—Auristela dan Adrienne.

“Sorry banget aku belum bisa ke Indo, Thea! Tapi aku janji Brandon pasti akan segera ketemu Baby Cio secepatnya. Di sini musim dingin banget,” ujar Stela dari Jerman, di samping suaminya, Joviano, yang melambai sopan.

Adrienne alias Enne menyahut dari kamarnya di Cambridge, “Aku pengen banget pulang. Tapi semester ini padat banget. Tapi please kasih aku banyak foto Baby Cio!”

“Kami semua di sini, dan kalian di sana,” kata Mommy Al dengan nada hangat.

“Tapi rasanya dekat karena kita saling sayang. Terima kasih ya, Al, Thea… Kalian sudah jadi orang tua yang luar biasa untuk Cio.”

Thea terdiam. Untuk pertama kalinya sejak kembali ke Indonesia, dia merasa benar-benar diterima. Al menyentuh bahunya, lembut. “Kamu nggak sendiri lagi sekarang.”

Dan malam itu, Jakarta tak terasa panas maupun pengap seperti biasanya. Bagi Thea, rumah kini bukan tempat, tapi siapa yang menyambutnya pulang.

♾️

Malam itu di mansion pribadi milik Al tampak sunyi dan damai. Udara terasa hangat meski langit sudah sepenuhnya gelap. Cahaya dari lampu taman dan kolam renang menciptakan pantulan yang berkilau di permukaan air, berpadu dengan gemericik lembut dari air mancur kecil di sisi kolam. Balkon belakang mansion yang luas dan elegan menghadap langsung ke taman yang dipenuhi bunga mawar dan lavender, harum semerbaknya terbawa angin malam.

Althea duduk di sofa rotan coklat tua beralas bantal putih lembut, mengenakan cardigan tipis dan celana linen. Segelas teh hangat berada di tangannya, uapnya naik perlahan ke udara. Di sampingnya, Al duduk diam, menatap lampu taman sambil memainkan ujung selimut bayi kecil yang tergeletak di pangkuan mereka—Baby Cio yang telah tertidur pulas setelah disusui.

“Aku bingung, Al,” gumam Thea lirih, memecah keheningan yang selama ini mereka nikmati.

Al menoleh lembut. “Tentang apa?”

Thea menunduk menatap Cio, lalu mengembuskan napas perlahan. “Tentang bagaimana aku harus menjelaskan ini ke keluargaku... tentang Cio. Tentang semua yang terjadi.”

Al diam sejenak. Ia tahu, ini bukan sekadar soal menjelaskan. Ini soal luka yang masih belum sembuh. Ia tahu bagaimana keluarga Thea memperlakukannya dulu. Betapa tak dianggapnya dia, bahkan ketika ia berjuang sendirian sejak wisuda. Al meletakkan tangannya di atas tangan Thea.

“Kamu gak harus menjelaskan semuanya ke mereka, Thea… kecuali kamu benar-benar mau.”

Thea menggeleng pelan. “Aku gak tahu mereka peduli atau nggak. Rasanya seperti... aku sudah lama bukan bagian dari mereka. Daddyku sudah gak ada, Galen punya keluarga sendiri, mommyku... kamu tahu sendiri, aku gak pernah bisa bicara dari hati ke hati dengannya. Dan yang lain—aku bahkan gak tahu mereka akan anggap aku sebagai siapa.”

Al menghela napas, lalu dengan suara rendah ia berkata, “Kamu gak sendiri sekarang. Kamu punya Cio. Dan aku...”

Thea menoleh pelan ke arah Al. Matanya agak berkaca.

“Aku juga punya kalian?” gumamnya hampir tak terdengar.

Al tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Selalu. Kamu bukan cuma punya kami, kamu rumahnya Cio. Dan... kamu rumah buat aku juga, Thea.”

Keheningan kembali menyelimuti balkon. Tapi kali ini bukan keheningan dingin—melainkan hangat, tenang, penuh makna. Di kejauhan, suara jangkrik terdengar samar-samar. Angin menyentuh lembut ujung rambut Thea yang tergerai. Ia menoleh ke arah taman, ke arah kolam yang memantulkan cahaya bintang.

“Besok aku akan coba telepon Galen dulu,” ujarnya akhirnya.

“Mungkin... mungkin aku bisa mulai dari dia.”

Al mengangguk. “Pelan-pelan aja, Thea. Gak ada yang memaksa kamu harus kuat setiap saat. Tapi kamu selalu lebih kuat dari yang kamu kira.”

Thea tersenyum samar, lalu menyandarkan kepalanya ke bahu Al. Malam itu, di tengah taman dan kolam yang bersinar lembut, mereka duduk berdua dengan satu bayi mungil di pangkuan mereka, dilingkupi rasa tenang yang tak mereka temukan di tempat lain. Di sana, mereka bukan lagi dua orang yang terpisah oleh masa lalu, tapi dua hati yang sedang berjuang membangun masa depan.

♾️

Perjalanan ke rumah Grandma Anna pagi itu diselimuti suasana tenang dan syahdu. Al menyetir sendiri mobil pribadinya, sesekali melirik ke kaca spion untuk memastikan Thea dan Baby Cio yang duduk di kursi belakang nyaman. Thea duduk di samping kursi bayi, menenangkan Cio yang sempat rewel karena mengantuk. Jalanan menuju kawasan perbukitan tempat rumah Grandma Al berada terasa sejuk, dipenuhi hijaunya pepohonan, dan angin yang berhembus perlahan menerpa jendela.

Saat mobil mereka tiba di pelataran rumah klasik bercat putih gading dengan taman penuh bunga lavender dan hydrangea, Grandma Anna sudah berdiri menanti di depan pintu. Wajahnya berseri, penuh kasih.

“Al, sayang… Thea… dan ini pasti cicit kecil grandma !” serunya lembut penuh semangat.

Al segera turun, membukakan pintu untuk Thea dan membantu menurunkan Baby Cio. Thea tersenyum dan memberi pelukan sopan pada Grandma Anna.

“grandma , apa kabar?” sapanya hangat.

“Bahagia… jauh lebih bahagia karena kalian datang,” jawab Grandma dengan mata berkaca saat menyentuh pipi Baby Cio yang tertidur pulas.

Mereka masuk ke dalam rumah yang hangat dan nyaman. Aroma kayu tua dan teh herbal menyambut mereka. Setelah sejenak duduk dan menyantap kue buatan Grandma, Al mengajak Cio berjalan-jalan ke taman belakang untuk terkena sinar matahari. Sementara itu, Thea ikut Grandma Anna ke dapur untuk membantu memasak makan siang.

Dapur rumah Grandma klasik namun sangat bersih dan tertata rapi. Thea sibuk memotong sayur sambil sesekali mendengarkan cerita Grandma tentang resep-resep turun-temurun.

Di sela kesibukan itu, Grandma tiba-tiba berkata pelan, “Grandma bahagia kamu datang di tengah keluarga kami. Kalian langgeng ya, Grandma titip Al dan sekarang ada Baby Cio. Kalian bahagia selalu ya, jodoh yang Tuhan persatukan tak bisa dipisahkan apapun.”

Thea terdiam. Jantungnya sempat berdetak tak karuan. Ia menoleh ke arah Grandma, lalu tersenyum ragu.

“Maaf, grandma . Bukan maksud Thea nggak sopan... tapi aku dan Al hanya berteman. Kami sama-sama mengambil peran sebagai orang tua untuk Cio. Nanti… kalau Al sudah menemukan pasangannya, dan ingin melepas semua keterikatan ini, baik Thea maupun Baby Cio... kami tidak akan menahannya,” ujar Thea tulus.

Grandma Anna menghentikan gerakannya, lalu menggenggam tangan Thea dengan hangat. Tatapannya dalam dan lembut.

“Anak ini benar-benar tulus,” batin Grandma. “Kenapa Al dulu bisa membuat kesalahan pada gadis sebaik dia…”

“Nak,” lanjutnya, suaranya tenang, “Grandma tahu... Maafkan Al, ya. Tapi kalian bukan lagi anak remaja yang sedang mencari jati diri. Sekarang, jati dirilah yang mengejar kalian. Grandma tidak memaksa kalian, tapi… keadaan sekarang sudah berbeda. Kalian sudah memutuskan menjadi orang tua. Mungkin… ini salah satu jalan Tuhan. Jangan mengelak apapun ya, sayang. Nikmati proses yang Tuhan berikan. Grandma akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian.”

Thea hanya diam, menyerap setiap kata-kata itu. Rasanya seperti disiram oleh kehangatan yang ia rindukan selama ini. Sosok grandma yang penuh kasih, sabar, dan mengerti.

“Ya,” batinnya, “Thew dan Al memang sudah memutuskan menjadi orang tua. Kondisinya memang sudah berbeda. Kami punya tanggung jawab bersama. Tapi Thea tak ingin berharap. Thea juga tak akan menyangkal. Biarkan kami menikmati proses yang Tuhan berikan…”

Setelah itu, mereka melanjutkan memasak dan mengobrol ringan. Thea merasa nyaman. Kehangatan Grandma mengingatkannya pada mendiang opanya, pada rumah… yang tak lagi dimilikinya.

Sampai akhirnya Grandma berkata, “Thea, tolong panggil Al ya, makanan sebentar lagi siap.”

Thea melangkah ke ruang tamu. Dan di sana… pemandangan yang ia lihat membuat senyumnya mengembang.

Al tertidur di sofa, dan Baby Cio tertidur nyaman di atas dadanya, tangan kecilnya menggenggam ujung baju Al seolah tak ingin terlepas. Thea mendekat, menyentuh bahu Al perlahan.

“Al… ayo bangun, makan dulu. grandma nunggu,” bisiknya.

Al membuka mata, sempat bingung sejenak, lalu tersenyum melihat Thea.

“Cio?” gumamnya pelan.

“Aku bantu pindahkan ke kamar ya. Kita titip dulu ke Nanny, biar dia istirahat,” kata Thea sambil mengangkat Baby Cio dengan hati-hati.

Mereka berdua membawa Cio ke kamar tamu yang telah disiapkan dan menitipkannya pada nanny yang ikut dari mansion Al. Setelah itu, mereka makan bersama Grandma Anna, menikmati hidangan buatan Thea dan grandma .

Suasana hangat, penuh tawa, dan terasa seperti keluarga. Ya, memang belum lengkap—Stela masih di Jerman bersama suaminya, dan Enne di Amerika melanjutkan studi. Orang tua Al pun masih berada di Italia. Tapi kehangatan hari itu… terasa penuh.

Dan Thea diam-diam mengakui dalam hatinya—tempat ini terasa seperti rumah. Tempat di mana ia dan Cio... tidak lagi sendiri.

♾️

Ruang makan keluarga terlihat klasik, luas, dan hangat. Jendela-jendela tinggi dengan tirai renda dibiarkan terbuka, membiarkan cahaya matahari masuk dan menerangi meja makan yang terbuat dari kayu ek tua. Vas berisi bunga segar dari taman menghiasi tengah meja. Aroma sup ayam herbal dan pie apel hangat memenuhi udara, memberi rasa damai yang sulit dijelaskan.

Al duduk di sebelah kanan Thea, mengenakan sweater ringan dan celana santai. Thea di sebelah kirinya, dengan apron masih melekat di pinggangnya, rambutnya digulung seadanya. Grandma Anna duduk di hadapan mereka, mengamati keduanya dengan tatapan yang tenang dan lembut.

Saat makanan tersaji di piring masing-masing, mereka mulai makan dengan pelan. Tak banyak kata di awal. Hanya bunyi sendok garpu dan desahan puas dari Al setelah menyeruput kuah hangat sup ayam herbal buatan oma.

“Aku kangen masakan grandma…” gumam Al sambil tersenyum.

“Tiap kali makan sup ini, rasanya kayak… pulang.”

Grandma tertawa kecil. “Itu memang rahasia sayang. Rempah-rempahnya cuma tumbuh di taman belakang rumah ini,” katanya sambil berkedip ke Thea.

Thea tersenyum dan mengangguk. “Aku belajar banyak tadi waktu di dapur. Tapi sepertinya belum bisa menandingi racikan grandma.”

“Kamu cepat belajar,” puji Grandma lembut. Lalu ia meletakkan sendoknya dan memandang Al dan Thea bergantian.

“Aku tahu kalian mungkin merasa belum terbiasa. Tapi... kehadiran kalian di rumah ini—bersama baby cio—membuat grandma merasa rumah ini hidup lagi.”

Al menunduk sejenak. Ia menatap Thea dengan pelan, lalu kembali ke arah Grandma. “Makasih, grandma. Untuk semuanya.”

Grandma mengangguk, lalu suaranya menjadi lebih tenang. “Al, Thea sayang. Kenapa kamu nggak tinggal di sini saja? Rumah ini luas. Dan… grandma bisa bantu rawat Baby Cio. Bukankah lebih mudah?”

Al tersenyum, tapi menggeleng pelan. “Aku tahu grandma niatnya baik. Tapi aku ingin kami punya tempat yang kami atur sendiri. Aku sudah siapkan semuanya di mansion pribadi, ada tim, ada nanny, dokter juga standby. Di sana lebih aman buat Cio. Dan... aku juga pengin kasih ruang untuk Thea. Dia udah cukup banyak berkorban.”

Grandma mengangguk pelan. “Grandma mengerti, sayang.”

Kemudian, Grandma menatap Thea lebih dalam. “Thea... terima kasih, ya, karena sudah datang. Kamu tahu, grandma senang sekali melihat kamu ada di sini. Bahagia sekali.”

Thea tersenyum canggung. “Terima kasih juga udah nerima Thea dan Baby Cio.”

Lalu, perlahan-lahan, suasana menjadi lebih dalam.

“Kamu tahu,” lanjut Grandma sambil menyentuh tangan Thea yang berada di atas meja.

“Grandma lihat caramu lihat Cio… caramu melindungi dia. Itu bukan cuma tanggung jawab. Itu cinta. Dan, Thea… grandma ingin kamu tahu, kamu bagian dari keluarga kami sekarang. Bukan karena Al. Tapi karena kamu sendiri layak mendapat tempat.”

Thea terdiam. Ucapan itu menyentuh hatinya dengan dalam. Ia menggenggam tangan Grandma pelan, menahan air mata yang hampir jatuh.

Al, yang sejak tadi diam, kini ikut bicara, suaranya serak.

“Aku... benar-benar bersyukur kamu ada, Thea. Aku tahu ini bukan hal yang mudah. Tapi kamu tetap di sini. Kamu tetap mau bersama kami. Buat Cio. Buatku…”

Thea menoleh pelan. Tatapan mereka bertemu. Sunyi. Tapi dalam.

“Aku juga dan aku tahu,” bisik Thea.

Mereka bertiga tertawa kecil di tengah keheningan haru.

Lalu, seperti menyeimbangkan emosi yang mulai berat, Grandma mendesah, “Aduh, jadi mellow semua ya. Yuk makan lagi. Pie apel ini bisa bikin kalian lupa masalah!”

Suasana mulai hangat lagi. Thea memotong pie untuk semua, lalu menyuapkan sedikit ke mulut Al sambil tertawa kecil. “Kamu dulu bilang paling benci manis,” sindirnya.

Al menoleh dan tersenyum. “Tapi kalau manis kayak gini sih beda urusan.”

Grandma tertawa senang. “Nak Al, kamu kalau gombal jangan di depan grandma!”

Mereka semua tertawa bersama, perut kenyang, hati lebih hangat. Untuk sejenak, semua luka dan beban yang mereka bawa terasa ringan. Mereka seperti keluarga yang telah lama saling mengisi, saling menguatkan. Dan Thea… untuk pertama kalinya sejak lama… merasa seperti pulang.

1
Stella
Bagus banget, jadi mau baca ulang dari awal lagi🙂
About Gemini Story: wahhh terimakasih kak 🤗 sehat selalu ya kak🤗
total 1 replies
Jena
Ga nyesel banget deh kalo habisin waktu buat habisin baca cerita ini. Best decision ever!
About Gemini Story: wahh terimakasih kak 🤗 aku seneng ada yang suka sama cerita aku hehe ☺️ sehat dan bahagia selalu ya kak 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!