NovelToon NovelToon
Zone

Zone

Status: tamat
Genre:Diam-Diam Cinta / Idola sekolah / Tamat
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Daisyazkzz

Wanita yang tidak percaya adanya hubungan dalam kata friendzone.
Apa itu friendzone? Apa gak aneh?

"Lo gak hadir sekali, gue bikin masalah."
-Nathan-

Alana tidak pernah menyangka.
diantara semua karakter diriku yang dia ketahui mungkin dia menyelipkan sedikit 'Rasa'.
aku tidak pernah tahu itu. aku cukup populer, tapi kepekaanku kurang.
dimataku, dia hanya sebatas teman kecil yang usil dan menyebalkan. aku tak pernah tahu justru dengan itulah dia mengungkapkan 'Rasa'.

pertemanan kami spesial.
bukan, lebih tepatnya, Friendzone dari sudut pandang 'Dia'.

#dont repost or plagiat this story ❗❗❗
jangan lupa komenn ^^

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daisyazkzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

•Meeting•

Lift terbuka.

Gadis itu buru-buru masuk menekan tombol angka delapan.

Meeting hampir dimulai. Tapi Alana baru saja ke toilet merapikan riasan, hari ini Bu Yayun juga tidak ikut karena sakit. Sebagai pengganti ia mengajak April yang sudah naik duluan ke atas.

Alana gelisah menggerak-gerakkan kakinya yang mengenakan heels biru muda.

Ia tidak menyadari tatapan seseorang.

'Tak'

"Ah, maaf!"

Seorang CEO muda yang berdiri di belakangnya hanya mengangguk, dia malah salah fokus pada heels yang dipakai Alana tidak sengaja mengenai sepatunya.

Warna matanya terasa familiar. Alana sempat melihat sekilas meskipun dia memakai masker.

Begitu pintu lift terbuka di lantai delapan, Alana langsung keluar. Ternyata CEO muda tadi juga turun di lantai yang sama. Bahkan dia berjalan persis di belakangnya.

Ruangan VVIP.

CEO itu juga masuk berbarengan. Alana baru tahu kalau dia nantinya akan menjadi rekan bisnis.

Kebetulan banget, ya.

Para atasan sudah berkumpul. Mereka semua mengenakan setelan jas berbeda-beda dengan gaya masing-masing. Auranya terasa menegangkan.

Bahkan Alana lebih terkejut melihat CEO muda tadi duduk di tempat ketua umum organisasi.

Dia ketuanya? Masih sangat muda.

Meeting pun dimulai setelah semua datang. Para asisten atau sekertaris berdiri di belakang atasan masing-masing.

Bagian perencana mulai menyebutkan tujuan, misi, dan struktur organisasi serta lain-lain yang berkaitan dengan bisnis.

April mencatat semuanya. Sementara Alana yang agak bosan diam-diam membaca ulang undangan yang ia dapat dari perusahaan Y.E.

Tiba-tiba kedua mata gadis itu berkerjap cepat, membaca bagian terakhir undangan.

Ada cap resmi dan tanda tangan CEO disana. Ada huruf N samar dan pola yang sangat ia kenal seumur hidup.

Nathan? Ini bukannya tanda tangan Nathan?!

"Baik, saya dari perusahaan Y.E ingin menyampaikan......" CEO muda mengangkat tangannya, menatap sang perencana.

Nathan? Itu kamu?

Itu dia?

Seketika pikiran Alana campur aduk. Apa yang sebenarnya terjadi, ia sangat bingung.

CEO muda di depannya yang sedang berbicara dengan suara tegas itu adalah seseorang yang dulu ia kenal?

Nggak mungkin.

Tapi....ini tanda tangan Nathan kan? Kenapa namanya berubah? Kenapa...kenapa...

Begitu banyak pertanyaan yang muncul bersamaan di pikirannya. Kacau.

Kedua mata gadis itu terpaku pada sosok CEO muda di hadapannya, dia menurunkan masker.

Sekejap Alana ingat momen dimana dulu ia sering sekali usil menurunkan masker Nathan.

Flashback on.

"Ah, jangan dibuka. Malu gue!"

Alana menyeringai, memasang tampang menantang.

"Gimana mau makan kalo ditutup masker, tuan muda."

"Yaudah sini."

Tiba-tiba Nathan menggigit pangsit rebus di sumpit Alana.

"Eh, Lo kan bisa makan sendiri!"

Nathan malah tertawa cekikikan. Pura-pura nggak dengar. Sementara Alana menggeram menahan emosi.

Flashback off.

Wajahnya terlihat. Kedua mata Alana membulat, tidak bisa berkata-kata.

Itu...Nathan? Hah? Nathan kan?

Entahlah, gadis itu tak yakin.

Tapi gerakan tubuhnya sangat sama, walaupun suaranya sedikit berubah, dan wajahnya lebih kelihatan tenang. Tidak ada aura kenakalan yang menonjol seperti dulu.

Bahkan rambutnya berwarna hitam kecokelatan disisir rapi, dan bicaranya sangat sopan.

Tapi...itu wajah dia. Nathan.

Ciri khas yang dihafal mati Alana. Kulit putih nyaris pucat, hidung mancung dan kedua mata biru.

Dulu, Nathan lebih mirip calon KPop idol. Tapi sekarang stylenya sangat rapi, malah kelewat sopan untuk seorang Nathan.

Alana sudah tidak mendengar sama sekali apa yang dibicarakan orang-orang ini.

Pikirannya tercampur aduk, banyak pertanyaan dan dugaan lain.

"Bu?"

"Oh, iya?" Alana buru-buru mengalihkan pandangan dari sosoknya.

"Rapat sudah selesai. Saya juga sudah mencatat dan menyusun semua rencana untuk kedepannya." April tersenyum kecil melihat Alana mulai hilang fokus melihat CEO muda itu.

"Itu pak Steven Kevin. CEO muda yang membantu saya." Ujarnya.

"Dia memang sempurna Bu. Dia baik, ramah, dan bisa diandalkan meski usia beliau muda."

Alana hanya mengangguk pendek. Dia memeriksa susunan rencana di tablet April.

"Permisi."

Alana menoleh.

Lagi-lagi senyuman yang ia kenal. Gigi taring yang agak meruncing saat tersenyum Terlihat di pinggir bibirnya.

"Nathan?"

Alana mendadak refleks menyebut nama itu.

CEO muda ini malah kelihatan kebingungan.

"Maaf?"

Hah?

Alana ikut bingung.

Itu kan nama Lo. Masa gak tau?! Kenapa sih dia?

Si CEO lantas membenarkan posisi berdirinya, menatap April yang tersipu.

"Ah, halo. Anda yang kemarin saya undang kan? Apa ini bos anda?" Tanyanya sopan, Alana sampai pangling dengan cara bicaranya.

"Iya. Dia owner perusahaan kami."

"Halo Bu. Perkenalkan nama saya Steven Kevin, kita adalah rekan bisnis mulai sekarang. Mohon bantuannya." Kata si CEO menjulurkan tangan pada Alana yang masih duduk.

Nathan? Nathan, Lo kenapa??

Tidak dijawab. Alana terus menatap lekat kedua mata birunya dengan pandangan heran sekaligus bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Semua ini aneh, sangat ganjil. Mana mungkin Nathan tidak mengingatnya, orang yang selalu bersama dia sepanjang masa sekolah. Yang paling sering ia ganggu.

Lo lupa gue?

Entahlah ada apa. Tapi dari situ, Alana tahu bahwa mungkin saja orang di depannya ini bukan Nathan. Atau dia Nathan yang telah melupakan semua kehidupan lamanya.

"Ya. Saya Owner perusahaan. Panggil saja Bintang."

CEO itu tersenyum walaupun sebelumnya agak canggung karena Alana terus menatapnya tajam.

"Ya. Grup organisasi akan terus mengadakan meeting setiap satu bulan melaporkan perkembangan bisnis kita."

Setelah itu, Alana langsung pamit pulang duluan. Meninggalkan April yang masih mengurus berbagai macam dokumen penting.

Gadis itu mendadak sakit kepala.

***

Hari itu hujan deras.

Alana terus memandangi jendela yang basah sambil terdiam sendirian.

Berbaring diatas sofa empuk yang disulap menjadi kasur.

Umurnya dua puluh empat tahun. Seharusnya ia juga menikah seperti perempuan lain. Punya anak, keluarga.

Alana menatap orang-orang yang berteduh diluar sana menghindari hujan. Bersama keluarga mereka, atau pasangan yang bergandengan tangan.

Seru' ya...

Tapi hatinya ragu.

Alana masih saja tidak melupakan sosok 'Dia'. Sehingga dia ambigu untuk mencari pasangan.

Nyatanya, Alana juga ingin bahagia dengan seseorang, tapi miris, dia terjebak di pekerjaan.

Bukannya tidak bersyukur, Alana hanya berandai-andai. Jika ia boleh memutar waktu, pasti semua ini tidak akan terjadi.

Dia tidak ingin hidup seperti sekarang kalau saja boleh memilih. Alana terlanjur masuk terlalu dalam.

Dulu, Alana pasrah pada takdir. Seandainya setelah lulus SMA arah hidupnya masih tidak jelas, ia memutuskan menikah dan menjadi ibu rumah tangga biasa.

Tapi diluar keinginannya, ternyata tuhan memiliki rencana lain.

Percuma. Aku nggak perlu cari tahu.

Gadis itu tersenyum bodoh.

Entah kenapa sepanjang pekan ini, dia selalu teringat si CEO muda itu. Berharap dia adalah seseorang yang Alana harapkan.

Gadis itu merasa seperti orang bodoh.

Buat apa aku berharap lagi? Walaupun setidaknya sekarang aku lebih baik. Tapi Dia yang sekarang pasti sudah memiliki pasangan kan.

Alana tersenyum pendek. Mengingat ucapan Ola dulu saat masih sekolah.

"Kamu nggak tahu susahnya move on dari seseorang yang kita suka. Itulah yang Raven rasakan."

Rasanya seperti karma. Alana mendengus pasrah.

Iya, ya. Harusnya aku gak ngeremehin masalah itu.

Satu lagi fakta yang tidak pernah diketahui siapapun.

Aku baru tahu Nathan menyukaiku dulu karena Ola. Itupun terlambat. Dan entah kenapa, Nathan tidak pernah bilang apapun soal itu, padahal sudah jelas.

Seandainya aku tahu lebih awal.....

Yah...waktu itu kan nggak bisa diulang..

Kenapa aku bodoh ya waktu itu? Seenteng itu aku meremehkan perasaan Dia.

Nathan bodoh, kenapa juga dia nggak bilang langsung....aku kan...

Alana menangis lirih. Hanya sebentar. Ia rindu.

"Ah, apa sih. Aku bukan anak kecil lagi...buat apa sedih hanya karena itu." Alana berdiri, menyeka air matanya di pipi.

Pukul sembilan pagi. Langit cerah. Gadis ini duduk-duduk di teras rumahnya setelah mandi sambil menyeruput kopi hangat ditemani roti bakar cokelat.

Enaknya...gak diganggu telfon kerjaan...

'Drrrtt'

Sial, hp nya malah bergetar tanda panggilan telfon masuk.

"Gak bisa ya lihat orang senang sedikit? Sial.."

"Eh...gak ada namanya? Apa ini klien baru? Tapi Bu Yayun gak memberi kabar..?"

"Halo?"

Diseberang sana, malah terdengar suara menyebalkan.

Apa ini? Gak jelas.

Hampir saja Alana meletakkan kembali hp nya ke meja, sebelum suara itu kembali menyapa,

"Ya. Halo juga sayang."

Perasaan merinding yang sama seperti waktu itu ia rasakan ketika mendengar suaranya. Alana tersentak kaget, kopi yang ia seruput dari cangkir nyaris tumpah.

Gila, Ini...Tante?! TANTE KAN?!

"TANTE?"

"Kamu masih ingat kan? Haha, tidak mungkin lupa ya."

"Bagaimana kabarmu sayang?"

Mana mungkin aku lupa. Dia yang membantu hidupku sampai aku menjadi seperti sekarang.

Tante Claudia Rissa, Mama Nathan.

"Tante....tante kemana aja...aku-" Alana terlanjur menangis. Terharu, seketika perasaan kehilangan yang ia pendam selama ini lenyap lewat suara Claudia.

"Sayang? Kamu merindukan kami ya? Tidak apa-apa. Aku disini." Suara lembut Claudia kembali menenangkan Alana.

Tante gak berubah. Aku kangen banget...

"Tante kemana? Aku kangen. Eden juga...dia sehat kan? Apa aku boleh bicara dengan dia juga nanti?..."

Sudah tujuh tahun lamanya. Terakhir kali Alana melihat sosok Claudia. Begitu juga dengan Eden, si bocah albino. Dan kakaknya, Tuan Muda perusahaan yang paling berbekas dalam ingatan Alana.

"Alana...maaf karena waktu itu kami semua mendadak pergi tanpa pamit. Apa kamu kecewa?"

"Tante....aku khawatir. Aku takut."

"Sayang. Kami baik-baik saja. Sekali lagi aku minta maaf mewakili anak-anakku."

"Apa hidupmu baik?"

Alana mengangguk sendiri.

"Sayang, maaf...karena aku tidak tahu lebih cepat tentang ibumu."

"Tante. Aku sangat berterima kasih. Karena Tante, aku tidak kesusahan lagi." Alana tersenyum kecil, menyeka air mata. Meskipun masih ada sesuatu yang rasanya mengganjal.

"Tante...kenapa Tante pergi?"

Percakapan mereka cair begitu saja. Alana menumpahkan semua pertanyaan yang ia pendam selama ini.

Bahkan sampai titik terakhir, Alana menceritakan semua tentang si CEO muda yang saat itu menjadi ketua organisasi.

Entah kenapa, Claudia malah terdiam beberapa detik.

"Tante?"

"Sayang, dengar, ada sesuatu yang ingin Tante bicarakan. Apa kamu bisa bertemu akhir pekan depan kalau tidak sibuk?"

Tentu saja Alana mengiyakan. Dia malah sangat ingin bertemu Claudia dan melihat Eden selain karena penasaran.

Siapa tahu, bisa bertemu 'Dia' juga.

"Bisa Tante! Aku nggak sibuk. Dimana?"

"Maaf sayang. Ada urusan mendadak, tempatnya nanti aku kirimkan."

Setelah mengatakan itu dengan nada buru-buru, Claudia langsung memutus telponnya.

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!