NovelToon NovelToon
Silent Crack

Silent Crack

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romantis
Popularitas:455
Nilai: 5
Nama Author: Penulismalam4

Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap

Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.

Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.

Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

12_Batasan yang mulai dilanggar

Asher selalu percaya bahwa batas adalah satu-satunya cara untuk bertahan.

Batas antara dirinya dan orang lain.

Batas antara masa lalu dan sekarang.

Batas antara apa yang boleh ia rasakan… dan apa yang seharusnya tidak pernah ia sentuh.

Namun pagi itu, saat ia berdiri di depan cermin kamar mandi, Asher menyadari sesuatu yang mengganggunya sejak semalam—

ia memikirkan Lauren.

Bukan sekilas.

Bukan kebetulan.

Melainkan dengan cara yang terlalu lama untuk disebut wajar.

Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, menatap pantulan dirinya sendiri. Mata abu-abunya tampak lebih gelap, lebih tajam—namun ada sesuatu yang retak di sana. Sebuah kegelisahan kecil yang tidak bisa ia namai.

“Jangan bodoh,” gumamnya pelan.

Ia mengenakan jaket, menyampirkan ransel, lalu keluar rumah lebih cepat dari biasanya. Jalanan pagi masih lengang. Rumah Lauren tampak sunyi, tirainya tertutup rapat.

Asher tidak berhenti berjalan.

Tapi ia menoleh.

Satu detik.

Cukup untuk membuat rahangnya mengeras.

Itu pelanggaran pertama hari itu.

Di kampus, Asher duduk di kelas seperti biasa—diam, fokus, mencatat tanpa banyak ekspresi. Dosen berbicara tentang sistem prostetik, tentang presisi dan kendali. Hal-hal yang seharusnya membuatnya tenggelam sepenuhnya.

Namun hari ini, pikirannya tidak patuh.

Ia teringat hujan semalam.

Cara Lauren berdiri di teras, ragu namun tetap bertahan.

Nada suaranya yang tenang, tapi rapuh.

Asher mengepalkan tangannya di bawah meja.

Ia tidak menyukai perasaan ini.

Tidak menyukai bagaimana seseorang bisa menyusup masuk tanpa izin.

Saat kelas berakhir, Rey menepuk bahunya—terlalu tiba-tiba.

Asher langsung menepis tangan itu.

Rey mengangkat alis. “Santai, bro.”

Asher berdiri tanpa menoleh. “Jangan sentuh aku.”

Nada suaranya lebih tajam dari biasanya.

Yara yang berdiri tak jauh dari sana memperhatikan, menyipitkan mata. “Kamu kenapa hari ini?”

Asher tidak menjawab. Ia berjalan pergi.

Namun bahkan saat ia menjauh, satu pikiran terus mengikutinya:

Sentuhan itu berbeda.

Sentuhan Rey membuatnya ingin melarikan diri.

Tapi sentuhan Lauren—di dapur, saat ia mengompres lebam di tangannya—tidak memicu kepanikan yang sama.

Dan itu… berbahaya.

Sore hari, Asher pulang lebih lambat dari biasanya. Matahari sudah turun ketika ia memasuki kompleks rumah. Lampu teras rumah Lauren menyala. Pintu terbuka sedikit.

Ia seharusnya langsung masuk ke rumahnya sendiri.

Seharusnya.

Namun langkahnya melambat.

Berhenti.

Dari dalam rumah Lauren terdengar suara piring, lalu suara benda jatuh kecil—bukan keras, hanya cukup untuk menandakan seseorang ceroboh karena lelah.

Asher berdiri kaku.

Bukan urusanku.

Ia mengulang kalimat itu dalam kepalanya, seperti mantra.

Namun kakinya bergerak.

Ia berdiri di depan pagar pembatas, ragu beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Lauren?”

Tidak ada jawaban.

Ia menghela napas pelan, lalu menambah satu langkah lagi. “Kamu baik-baik saja?”

Sunyi sejenak.

Lalu suara Lauren terdengar dari dalam. “Iya… aku cuma—” suaranya terputus, lalu terdengar langkah mendekat. Pintu terbuka.

Lauren berdiri di sana, mengenakan pakaian rumah sederhana. Rambutnya terurai, wajahnya tampak lelah. Matanya membesar sedikit saat melihat Asher.

“Oh. Asher.”

Nada suaranya lembut. Tidak terkejut. Tidak menolak.

Asher merasakan sesuatu di dadanya mengencang.

“Kau menjatuhkan sesuatu?” tanyanya, berusaha terdengar netral.

Lauren tersenyum kecil. “Gelas. Pecah. Aku ceroboh.”

Asher menunduk, melihat pecahan kaca di lantai dekat kaki Lauren. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah masuk.

Itu pelanggaran berikutnya.

“Tunggu—” Lauren refleks berkata.

Namun Asher sudah berjongkok, mulai memunguti pecahan kaca dengan tangan kosong.

“Asher!” Lauren panik. “Jangan—kamu bisa terluka!”

Ia meraih pergelangan tangan Asher.

Dan untuk sesaat—

Asher membeku.

Sentuhan itu hangat. Nyata. Lembut.

Napasnya tertahan di tenggorokan. Dunia seakan menyempit hanya pada tangan Lauren yang melingkar di pergelangannya. Jantungnya berdetak keras, terlalu keras.

Namun ia tidak menarik diri.

Ia menoleh perlahan, menatap Lauren. Mata mereka bertemu. Jarak terlalu dekat. Terlalu intim.

“Tidak apa-apa,” kata Asher akhirnya, suaranya lebih rendah dari biasanya. “Aku terbiasa.”

Lauren segera melepaskan tangannya, seolah baru sadar apa yang ia lakukan. “Maaf… aku refleks.”

Asher berdiri. Tangannya sedikit terluka—goresan kecil, darah tipis.

Lauren menatapnya, cemas. “Kamu berdarah.”

“Itu bukan apa-apa.”

“Tetap saja.” Lauren berjalan ke dapur, mengambil tisu dan antiseptik. Ia mendekat lagi, ragu sejenak sebelum membersihkan luka Asher.

Kali ini, Asher tidak menghentikannya.

Ia berdiri diam, membiarkan Lauren merawat lukanya. Membiarkan sentuhan itu ada—meski seluruh nalurinya berteriak untuk mundur.

Namun ia tidak mundur.

Karena untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, sentuhan itu tidak terasa seperti ancaman.

Saat Lauren selesai, ia mengangkat wajahnya. “Sudah.”

Asher mengangguk. “Terima kasih.”

Kata itu jarang keluar darinya.

Lauren tersenyum kecil. “Kamu tidak harus selalu menolongku.”

Asher menatapnya lama. Terlalu lama.

“Mungkin,” katanya pelan, “aku ingin.”

Dan kalimat itu—jujur, sederhana—menandai satu hal yang tak bisa ia tarik kembali:

Asher De Luca baru saja melanggar batas terpenting yang ia buat untuk dirinya sendiri.

Dan bagian paling menakutkan bukanlah itu—

melainkan fakta bahwa ia tidak menyesal.

Lauren masih berdiri di hadapan Asher ketika suara pintu depan terbuka.

Bunyi kunci yang diputar.

Langkah kaki yang terlalu dikenalnya.

Tubuh Lauren menegang seketika.

“Asher, tung—” katanya refleks, suaranya terputus di tengah kalimat.

Arga berdiri di ambang pintu ruang tamu.

Ia belum mengganti pakaian kerjanya. Jasnya masih rapi, dasinya sedikit longgar. Wajahnya terlihat lelah—namun matanya tajam saat menangkap pemandangan di depannya.

Lauren berdiri terlalu dekat dengan pemuda itu.

Tangannya memegang tisu.

Asher berdiri tenang, pergelangan tangannya sedikit berdarah.

Keheningan jatuh, berat dan kaku.

“Ada apa ini?” suara Arga terdengar datar, terlalu datar.

Lauren menurunkan tangannya perlahan. “Arga… kamu pulang cepat.”

Asher melangkah mundur setengah langkah, refleks. Jarak yang ia ciptakan terlambat—tapi jelas disengaja. Ia menunduk sebentar, lalu menatap Arga tanpa ekspresi.

“Aku terluka sedikit,” kata Asher singkat. “Istrimu membantu.”

Kata istrimu menggantung di udara.

Arga menatap pergelangan tangan Asher, lalu kembali ke wajah Lauren. Tatapannya tidak marah—belum. Lebih seperti mencoba menyusun sesuatu di kepalanya.

“Kamu tetangga yang di depan?” tanya Arga.

“Iya,” jawab Asher tenang.

Lauren membuka mulut, ingin menjelaskan lebih dulu, namun Arga mengangkat tangan kecil—isyarat agar ia diam.

“Kenapa kamu ada di rumah saya?” lanjut Arga, suaranya rendah.

Asher tidak terpancing. “Aku mendengar suara pecahan kaca. Aku hanya memastikan Lauren tidak terluka.”

Lauren menoleh cepat ke Asher. Ia tidak tahu kenapa dadanya menghangat mendengar caranya menyebut namanya—tanpa embel-embel, tanpa jarak.

“Aku yang ceroboh,” Lauren akhirnya bicara. “Gelas jatuh. Asher hanya membantu.”

Arga mengangguk pelan. Senyumnya muncul—tipis, sopan, namun tidak menyentuh mata.

“Begitu,” katanya. “Terima kasih sudah peduli.”

Nada itu bukan terima kasih.

Itu peringatan yang dibungkus kesopanan.

Asher menangkapnya.

“Tidak masalah,” jawabnya singkat. Ia menoleh pada Lauren. “Aku seharusnya pergi.”

Lauren ragu. “Lukamu—”

“Aku bisa urus sendiri,” kata Asher. Lalu, sedikit lebih pelan, “Terima kasih.”

Tatapan mereka bertemu sekejap. Ada sesuatu yang belum selesai di sana—sesuatu yang keduanya pura-pura tidak ada.

Asher melangkah keluar tanpa menoleh lagi.

Pintu tertutup.

Sunyi kembali menguasai rumah.

Arga melepas sepatunya, meletakkannya dengan rapi—terlalu rapi. Ia berjalan ke dapur, membuka kulkas, mengambil air minum. Gerakannya tampak biasa, namun bahunya tegang.

“Kamu nyaman sekali dengan dia,” katanya akhirnya, membelakangi Lauren.

Lauren terkejut. “Apa maksudmu?”

Arga meneguk airnya, lalu meletakkan gelas dengan bunyi klik kecil di meja. “Kamu jarang menyentuh orang lain. Bahkan aku.”

Kalimat itu menghantam lebih keras daripada tuduhan langsung.

Lauren menarik napas. “Dia terluka. Aku hanya—”

“Mengobatinya,” potong Arga. Ia menoleh. “Di dapur. Di rumah kita.”

Lauren menatap suaminya. Untuk pertama kalinya, ia tidak langsung meminta maaf.

“Apakah itu salah?” tanyanya pelan.

Arga terdiam sejenak. Kerutan kecil muncul di dahinya. “Aku tidak bilang salah. Aku bilang… tidak biasa.”

Lauren mengangguk. “Aku juga tidak biasa merasa dibutuhkan.”

Kata-kata itu keluar begitu saja. Jujur. Telanjang.

Arga menatapnya lama. Ada sesuatu yang berkecamuk di balik matanya—tersinggung, bingung, mungkin takut.

“Kamu mulai berubah,” katanya akhirnya.

“Mungkin,” jawab Lauren. “Atau mungkin aku hanya berhenti berpura-pura.”

Keheningan kembali turun, kali ini lebih dingin.

Arga menghela napas. “Aku tidak suka dia.”

Lauren tidak membantah. Ia juga tidak membela.

“Aku capek,” katanya pelan. “Aku mau istirahat.”

Lauren berbalik menuju kamar. Langkahnya mantap, meski dadanya bergetar. Ia menutup pintu kamar perlahan, menyisakan Arga sendirian.

Di balik pintu, Lauren bersandar, menutup mata.

Garis itu—yang tadi siang terasa samar—kini terlihat jelas.

Dan untuk pertama kalinya, ia tahu:

apa pun yang akan terjadi setelah ini, tidak ada lagi jalan kembali ke “sebelum”.

Di seberang jalan, di rumah yang sunyi, Asher berdiri di depan wastafel, membilas darah tipis di pergelangannya.

Namun yang terasa nyeri bukan lukanya.

Melainkan kenyataan bahwa—

Arga kini tahu.

Dan batas yang ia langgar… telah terlihat oleh orang yang salah.

1
Mao Sama
Apa aku yang nggak terbiasa baca deskripsi panjang ya?🤭. Bagus ini. Cuman—pembaca novel aksi macam aku nggak bisa terlalu menghayati keindahan diksimu.

Anyway, semangat Kak.👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!