NovelToon NovelToon
Sumpah Raja Duri

Sumpah Raja Duri

Status: tamat
Genre:Fantasi Isekai / Mengubah sejarah / Fantasi Wanita / Peramal / Cinta Istana/Kuno / Tamat
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

Elara, seorang ahli herbal desa dengan sihir kehidupan yang sederhana, tidak pernah menyangka takdirnya akan berakhir di Shadowfall—kerajaan kelabu yang dipimpin oleh raja monster. Sebagai "upeti" terakhir, Elara memiliki satu tugas mustahil: menyembuhkan Raja Kaelen dalam waktu satu bulan, atau mati di tangan sang raja sendiri.
​Kaelen bukan sekadar raja yang dingin; ia adalah tawanan dari kutukan yang perlahan mengubah tubuhnya menjadi batu obsidian dan duri mematikan. Ia telah menutup hatinya, yakin bahwa sentuhannya hanya membawa kematian. Namun, kehadiran Elara yang keras kepala dan penuh cahaya mulai meretakkan dinding pertahanan Kaelen, mengungkap sisi heroik di balik wujud monsternya.


Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13: Rahasia Duke Vane

​Pesta Bulan Darah telah usai, meninggalkan istana dalam keadaan lelah dan berantakan. Para pelayan sibuk menyapu sisa-sisa lilin merah yang meleleh dan pecahan gelas anggur. Namun, bagi Elara, pesta itu meninggalkan sesuatu yang jauh lebih mengganggu daripada sekadar sampah: sebuah kecurigaan.

​Pagi itu, Elara tidak pergi ke rumah kaca. Dia duduk di meja kamarnya, mencorat-coret di atas secarik kertas perkamen.

​Dia menggambar sebuah lambang.

Seekor ular melingkar yang sedang memakan ekornya sendiri—Ouroboros—tetapi dengan variasi yang aneh: di tengah lingkaran ular itu, ada sekuntum bunga mawar yang tertusuk belati.

​Itu adalah lambang yang dia lihat di cincin stempel Duke Vane semalam. Cincin yang terasa dingin dan lembap saat menyentuh kulit tangannya.

​"Aku pernah melihat ini," gumam Elara, mengetuk-ngetukkan pena bulunya ke dagu. "Di mana?"

​Ingatannya melayang kembali ke hari dia menyusup ke perpustakaan bersama Kaelen.

Jangan sentuh buku yang bersinar ungu, kata Kaelen waktu itu. Itu buku terkutuk.

​Elara memejamkan mata, memutar ulang memori visualnya. Rak paling belakang. Bagian sihir terlarang. Ada sebuah buku tebal dengan jilid kulit ular hitam yang memancarkan aura ungu redup. Di punggung buku itu, tercetak lambang yang sama persis dengan cincin Vane.

​Elara berdiri mendadak, kursinya berdecit di lantai batu.

​Dia harus memastikan.

​Perpustakaan Kerajaan terasa lebih dingin dari biasanya hari ini. Kaelen telah memberinya akses bebas ke tempat ini sejak insiden perbaikan rumah kaca—sebuah tanda kepercayaan yang luar biasa.

​Elara berjalan melewati rak-rak botani dan sejarah, langsung menuju Sektor Terlarang di bagian belakang. Jantungnya berdebar kencang. Dia tahu dia melanggar aturan Kaelen untuk tidak menyentuh buku-buku berbahaya, tapi rasa ingin tahunya terlalu kuat.

​Dia menemukannya.

​Buku itu terselip di antara dua jilid tebal tentang Necromancy. Judulnya tertulis dalam bahasa umum kuno: Ars Venenum Anima (Seni Meracuni Jiwa).

​Sampulnya terbuat dari kulit bersisik yang terasa berminyak. Lambang ular memakan mawar itu terukir emas di depannya.

​Elara mengenakan sarung tangan kulit tebal yang dia ambil dari peralatan berkebunnya—langkah pencegahan. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu membuka buku itu.

​Halaman-halamannya terbuat dari kulit manusia yang disamak tipis. Isinya penuh dengan diagram mengerikan tentang ritual penyiksaan dan pengikatan jiwa.

​Elara membalik halaman dengan cepat, menahan rasa mual, sampai matanya menangkap sebuah ilustrasi yang membuatnya membeku.

​Itu adalah gambar sketsa anatomi manusia. Separuh tubuhnya digambar normal, separuh lagi digambarkan berubah menjadi kristal hitam berduri.

​Di bawah gambar itu tertulis: Maledictus Obsidianis (Kutukan Duri Obsidian).

​"Ini dia," bisik Elara, suaranya gemetar.

​Dia membaca teks di bawahnya dengan rakus.

​Sebuah kutukan buatan, bukan hukuman ilahi. Dirancang untuk mengurung jiwa korban dalam sangkar batu abadi. Kutukan ini tidak membunuh dengan cepat, melainkan memakan inangnya perlahan, mengubah rasa bersalah dan penyesalan menjadi racun fisik.

​Metode Transmisi: Racun yang ditelan atau kontak darah dengan artefak terkutuk.

Penawar: Tidak ada yang diketahui. Hanya pengorbanan jiwa murni yang dapat membalikkan prosesnya.

​Elara mundur selangkah, buku itu nyaris jatuh dari tangannya.

​"Kutukan buatan," bisiknya. "Buatan."

​Selama ini, seluruh kerajaan—termasuk Kaelen sendiri—percaya bahwa kutukan itu adalah hukuman dari Dewa karena kesombongan keluarga kerajaan. Kaelen hidup sepuluh tahun dalam kebencian diri, percaya bahwa dia layak mendapatkan ini.

​Tapi itu semua bohong.

Seseorang telah melakukannya padanya. Seseorang telah meracuninya.

​Dan di bagian bawah halaman, ada catatan kaki yang ditulis dengan tinta merah berbeda, tulisan tangan yang miring dan tajam:

​Subjek uji coba: K.D. - Usia 18 tahun. Dosis awal berhasil. Proses kristalisasi dimulai sesuai rencana. Takhta akan segera kosong.

​K.D.

Kaelen Draven.

​Dan tulisan tangan itu... Elara merogoh saku gaunnya. Dia mengeluarkan kartu undangan pesta yang dikirimkan Vane padanya kemarin pagi—sebuah kartu 'salam hangat' yang penuh sindiran.

​Dia membandingkan tulisan di kartu dengan tulisan di buku.

Huruf 'S' yang melengkung tajam. Huruf 'T' tanpa garis tengah.

​Sama persis.

​"Vane," desis Elara. Kemarahan panas menjalar di dadanya, menggantikan rasa takut. "Kau bajingan tua."

​"Apa yang kau lakukan di sini, Elara?"

​Suara bariton itu membuat Elara melompat kaget. Dia berbalik cepat, menyembunyikan buku itu di belakang punggungnya.

​Kaelen berdiri di ujung lorong rak buku. Dia masih mengenakan pakaian santai, rambutnya basah sehabis mandi. Dia terlihat lebih rileks daripada semalam, setidaknya sampai dia melihat wajah pucat Elara.

​"Kaelen," kata Elara terbata. "Aku... aku hanya mencari bacaan ringan."

​Kaelen menyipitkan mata. Dia berjalan mendekat, langkahnya pelan tapi mengintimidasi. "Di Sektor Terlarang? Bacaan ringanmu adalah ritual pemanggilan setan?"

​Dia berhenti tepat di depan Elara, lalu mengulurkan tangannya. "Berikan padaku."

​"Tidak," Elara menggeleng. "Kau tidak boleh melihat ini. Ini akan menyakitimu."

​"Elara," suara Kaelen merendah, peringatan halus. "Jangan membuatku mengambilnya paksa."

​Elara menatap mata abu-abu itu. Dia melihat bayangan pria yang telah menderita selama satu dekade karena kebohongan. Apakah memberitahunya kebenaran akan membebaskannya, atau menghancurkannya?

​Perlahan, Elara mengeluarkan buku itu dari balik punggungnya. Dia membukanya tepat di halaman tentang Kutukan Duri Obsidian dan menyerahkannya pada Kaelen.

​Kaelen mengambil buku itu. Dia membaca judul babnya.

​Wajahnya tidak berubah. Dia membacanya dengan ekspresi batu yang menakutkan. Dia membaca deskripsi kutukan itu. Dia membaca tentang metode penularan. Dan akhirnya, matanya sampai pada catatan kaki bertinta merah.

​Subjek uji coba: K.D.

​Keheningan di perpustakaan itu begitu berat hingga rasanya mencekik.

​Kaelen tidak berteriak. Dia tidak mengamuk.

Reaksinya jauh lebih buruk.

​Dia tertawa.

​Tawa kecil, kering, dan hampa. Bahunya berguncang pelan.

​"Sepuluh tahun," bisik Kaelen, matanya terpaku pada tulisan tangan pamannya. "Sepuluh tahun aku berdoa setiap malam, memohon ampun pada Dewa. Sepuluh tahun aku mengira aku dikutuk karena aku gagal melindungi orang tuaku. Karena aku raja yang buruk."

​Dia mendongak menatap Elara. Mata merah monsternya berair, tapi bukan air mata sedih. Itu air mata kemurkaan murni.

​"Ternyata itu hanya racun. Racun dari paman kandungku sendiri yang memberiku 'minuman penenang' setelah pemakaman ayah."

​Kaelen menutup buku itu dengan satu tangan. Bam.

​Buku tebal bersampul kulit itu terbakar di tangannya. Api ungu melahap kertas dan kulit, mengubah bukti kejahatan itu menjadi abu dalam hitungan detik.

​"Kaelen!" seru Elara kaget. "Itu buktinya!"

​"Aku tidak butuh bukti kertas untuk pengadilan," kata Kaelen dingin. Asap mengepul dari sela-sela jari batunya. "Hukum di Shadowfall adalah hukumku. Dan vonisnya sudah jatuh."

​Dia berbalik, jubahnya berkibar. Aura membunuh yang memancar darinya begitu pekat hingga membuat suhu ruangan turun drastis.

​"Aku akan membunuhnya," kata Kaelen datar. "Aku akan pergi ke mansion Vane sekarang, merobohkan gerbangnya, dan memenggal kepalanya."

​Elara berlari mengejarnya, menangkap lengan Kaelen.

​"Jangan!"

​Kaelen berhenti, menatap tangan Elara di lengannya. "Kau membelanya?"

​"Tidak! Aku ingin dia mati sama seperti kau menginginkannya," seru Elara cepat. "Tapi tidak seperti ini. Bukan dengan amukan buta."

​"Kenapa tidak?"

​"Karena jika kau membunuhnya tanpa pengadilan terbuka, tanpa membongkar kejahatannya di depan dewan bangsawan, kau hanya akan membuktikan tuduhan Vane: bahwa kau adalah monster gila yang membunuh keluarganya sendiri demi kekuasaan."

​Elara mencengkeram lengan Kaelen lebih erat.

​"Vane punya sekutu. Dia punya separuh bangsawan di kantongnya. Jika dia mati sebagai martir, pendukungnya akan memberontak. Kerajaanmu akan jatuh ke dalam perang saudara. Itu yang dia inginkan."

​Napas Kaelen memburu. Dadanya naik turun dengan kasar. Logikanya bertarung melawan naluri pembunuhnya.

​"Lalu apa yang harus kulakukan?" geram Kaelen, suaranya pecah. "Duduk diam dan menunggu dia meracuniku lagi? Atau meracunimu?"

​"Kita mainkan permainannya," kata Elara, matanya bersinar dengan kelicikan yang baru. "Kita sudah tahu rahasianya. Itu senjata kita. Kita tidak akan menyerangnya dengan pedang, Kaelen. Kita akan memancingnya. Kita buat dia mengakui perbuatannya sendiri."

​"Bagaimana?"

​"Vane mengira kutukan ini tidak ada obatnya. Dia mengira kau sedang sekarat. Kita akan membuatnya percaya bahwa kau sembuh total."

​Kaelen mengerutkan kening. "Tapi aku belum sembuh."

​"Dia tidak tahu itu," Elara tersenyum tipis. "Kita akan mengadakan pesta lagi. Pesta Syukuran Kesembuhan Raja. Kita undang dia. Kita buat dia panik. Orang yang panik akan membuat kesalahan."

​Kaelen menatap gadis di hadapannya. Gadis desa yang polos itu kini merencanakan intrik politik setingkat jenderal perang.

​Perlahan, ketegangan di bahu Kaelen mereda. Dia meletakkan tangan manusianya di atas tangan Elara.

​"Kau menakutkan, Elara Vance," katanya.

​"Aku belajar dari yang terbaik," balas Elara.

​Kaelen menghela napas panjang, mengusir sisa api di tangannya.

​"Baik. Kita lakukan rencanamu. Tapi Vorian harus tahu tentang ini."

​"Setuju."

​Kaelen menatap tumpukan abu buku di lantai.

​"Elara," panggilnya pelan.

​"Ya?"

​"Terima kasih sudah memberitahuku. Terima kasih... sudah membebaskanku dari rasa bersalah itu."

​Elara tersenyum lembut. Dia berjinjit sedikit, memberanikan diri menyentuh pipi batu Kaelen yang dingin.

​"Kau bukan kesalahan, Kaelen. Kau hanya korban. Dan sekarang, saatnya korban melawan balik."

​Di luar jendela perpustakaan, awan kelabu mulai bergeser, membiarkan seberkas sinar matahari pucat menyinari Shadowfall. Badai akan datang, tapi kali ini, Raja Duri tidak akan menghadapinya sendirian.

BERSAMBUNG...

Terima kasih telah membaca💞

Jangan lupa bantu like komen dan share

1
Alona Luna
wahhh akhirnya happy ending ☺️
Alona Luna: wahhhh ok. baik
total 2 replies
Alona Luna
semangat next kak☺️
Alona Luna: sama-sama kak.☺️
total 2 replies
Alona Luna
next kak.. makin seru ceritanya
Ara putri
semangat kak, jgn lupa mampir juga keceritaku PENJELAJAH WAKTU HIDUP DIZAMAN AJAIB
tanty rahayu: semangat juga ya ka.... wah kayanya seru tuh 😍nanti aku mampir baca ya
total 1 replies
Alona Luna
ceritanya bagus kak. next
Alona Luna: aku tunggu kak☺️
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!