Amara dipaksa menikah dengan Arya, pria yang ia cintai sejak kuliah. Namun, Arya, yang sudah memiliki kekasih bernama Olivia, menerima pernikahan itu hanya di bawah ancaman dan bersumpah tak akan pernah mencintai Amara.
Selama setahun, Amara hidup dalam penjara emosional, diperlakukan seperti hantu. Tepat di hari jadi pernikahan yang menyakitkan, Amara melarikan diri dan diselamatkan oleh Rendra, sahabat kecilnya yang telah lama hilang.
Di bawah bimbingan Rendra, Amara mulai menyembuhkan luka jiwanya. Ia akhirnya bertanya, "Tak pantaskah aku dicintai?" Rendra, dengan tegas, menjawab bahwa ia sangat pantas.
Sementara Amara dan Rendra menjalin hubungan yang sehat dan penuh cinta, pernikahan Arya dan Olivia justru menghadapi masalah besar akibat gaya hidup Olivia yang suka menghamburkan uang.
Pada akhirnya, Amara menemukan kebahagiaannya yang pantas bersama Rendra, sementara Arya harus menerima konsekuensi dari pilihan dan sikapnya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jaminan dan Ancaman
Malam harinya, di sebuah restoran pribadi yang mewah dan tersembunyi, Ethan tiba sesuai alamat yang dikirimkan Zayn. Suasana ruangan itu hening dan formal, mencerminkan ketegangan yang mendominasi pertemuan ini.
Zayn sudah menunggu. Wajahnya dingin, tanpa senyum.
Ethan segera menghampiri meja tempat Zayn duduk sendirian. Suasana di antara mereka dipenuhi formalitas yang tegang.
"Selamat malam, Zayn," sapa Ethan, mencoba menjaga nadanya tetap profesional.
"Ya," balas Zayn singkat, tanpa menawarkan senyuman atau jabatan tangan.
Ethan duduk di kursi di hadapan Zayn. Ia tahu, permintaan maaf yang tulus adalah satu-satunya cara untuk melanjutkan ini.
"Aku tahu mengapa kamu memintaku datang ke sini," ujar Ethan, tanpa bertele-tele. "Atas nama keluarga Aldridge, aku ingin meminta maaf secara resmi atas insiden media kemarin. Kami gagal melindungi Amara dan rahasia yang telah kita sepakati."
Zayn mendengus. "Gagal adalah kata yang terlalu halus, Ethan. Kalian hampir menghancurkan putriku. Hampir saja Amara mengingat kembali kenangan yang sudah kami hilangkan dengan susah payah."
"Aku mengerti kemarahanmu, Zayn. Dan itu sepenuhnya wajar," kata Ethan. "Ketika aku tahu berita itu beredar, aku segera mengerahkan tim terkuat kami untuk memblokir dan menghapus semua jejak. Kami berhasil, meskipun kami tahu beberapa screenshot mungkin masih beredar."
Zayn menatap tajam ke mata Ethan. "Amara melihat headline-nya, Ethan. Dia bertanya padaku. Aku harus berbohong lagi padanya. Kalian tahu, janji kita adalah pernikahan ini akan melindungi dia. Bukan sebaliknya!"
Ethan menghela napas. "Kami tahu, dan kami sudah mengambil tindakan. Sumber kebocoran itu adalah orang luar—seseorang yang punya kepentingan pribadi untuk menghancurkan pernikahan ini."
"Maksudmu putra-mu?" selidik Zayn dingin.
Ethan mengangguk, mengakui kesalahan itu. "Arya berada di bawah tekanan ekstrem, dan dia dimanfaatkan. Tapi aku jamin, kami sudah mengendalikan situasinya. Aku sudah memperingati nya dengan keras, dan sumber dari luar itu sudah kami lacak dan kami ancam agar tidak bergerak lagi."
Zayn menyandarkan punggungnya ke kursi, sedikit meredakan emosinya. Ia tidak peduli siapa yang menyebarkan; ia hanya peduli pada putrinya.
"Apa jaminanmu, Ethan? Setelah insiden ini, bagaimana aku bisa percaya bahwa Amara aman di lingkungan keluarga kalian?" tanya Zayn.
"Kami tahu risikonya, Zayn. Kami akan memperketat keamanan di sekitar Amara dan memastikan semua orang yang dekat dengannya tahu batasannya. Selain itu, pernikahan ini akan tetap berjalan sesuai rencana, dan aku, Kakek Umar, dan Amelia, akan menjamin Amara akan dilindungi dan tidak akan pernah merasa terancam di rumah kami."
Ethan mengambil selembar dokumen dari tasnya. "Aku juga menyiapkan ini. Ini adalah surat perjanjian tambahan yang menjamin keamanan Amara, termasuk klausul finansial yang sangat berat bagi Aldridge jika ada kebocoran atau insiden di pihak kami yang merugikan Amara."
Zayn mengambil dokumen itu dan membacanya sekilas. Ia melihat betapa seriusnya Aldridge berusaha memperbaiki keadaan.
"Baik," kata Zayn, meletakkan dokumen itu di meja. "Aku menerima permintaan maafmu, Ethan, dan aku akan memegang perjanjian ini. Tapi ingat, ini bukan hanya tentang uang. Jika terjadi sesuatu pada Amara, aku tidak akan hanya menarik diri dari aliansi bisnis ini. Aku akan membawa Amara pergi, dan kamu tidak akan pernah melihatnya lagi."
"Aku mengerti, Zayn," kata Ethan. "Kami akan memastikan dia aman."
Zayn mengangguk, mengakhiri perdebatan. Mereka kemudian membahas detail teknis keamanan dan penanganan media yang akan mereka tangani bersama.
Pada akhirnya, mereka sepakat untuk melanjutkan pernikahan, tetapi kini, aliansi itu diselimuti oleh kecurigaan, ancaman, dan ketakutan akan rahasia yang setiap saat bisa memeledak
...***...
Setelah pertemuan tegang antara Ethan dan Zayn dimalam hari, persiapan pernikahan memasuki hari-hari terakhir. Tinggal tiga hari lagi hingga upacara akbar di Hotel Imperium.
Pagi harinya di Kediaman Aldridge, suasana kembali tenang, tetapi ada lapisan es yang menyelimuti hubungan antara Arya dan anggota keluarganya.
Arya menghabiskan sebagian besar waktunya di kantor, tenggelam dalam tumpukan dokumen yang diberikan Kakek Umar sebagai hukuman. Ia bekerja tanpa henti, membuktikan kepatuhannya pada Kakek Umar. Namun, setiap kali ia sendirian, bayangan Olivia dan janji yang ia ukir di bibir wanita itu kembali menghantuinya.
Aku hanya boneka untuk Kakek Umar, batin Arya pahit. Dan boneka yang hanya milik Olivia
Sementara Arya terperangkap dalam nerakanya sendiri, Amara justru semakin bersinar. Setelah diajak Amelia melihat cincin dan detail dekorasi, ia merasa menjadi bagian penting dari pernikahan ini.
Amelia terus menjaga Amara tetap sibuk. Sore hari, Amelia mengajak Amara untuk sesi perawatan di salon mewah.
Di salon, Amelia dan Amara duduk bersebelahan saat rambut mereka dikeramas.
"Tante, dekorasinya benar-benar sesuai dengan yang aku bayangkan," kata Amara dengan mata berbinar. "Aku sangat berterima kasih Tante mau repot-repot mengurus semuanya."
"Tentu saja, Sayang," jawab Amelia dengan senyum tulus sekarang, ia benar-benar menyukai Amara. "Ini adalah pernikahan pertama putra Tante. Tante ingin yang terbaik untuk kalian berdua."
Amara tertawa kecil. "Tapi, Ngomong-ngomong tante. Apa Arya akhir-akhir ini sibuk sekali ya? Dari kemarin dia tidak terlihat."
Amelia menghela napas. "Dia memang akhir-akhir ini sangat sibuk, Sayang. Pekerjaan di kantor sedang menumpuk. Tapi dia pasti akan muncul sebelum hari-H. Jangan khawatir, dia hanya sedang fokus menyelesaikan tugasnya agar bisa fokus penuh pada saat hari pernikahan."
Amara mengangguk, menerima penjelasan itu. Ia terlalu bahagia dan terlalu sibuk untuk mencurigai kebenaran di balik kesibukan calon suaminya.
" Senang sekali rasanya melihat kamu sudah kembali bersemangat, Sayang," ujar Amelia sambil tersenyum menenangkan. "Kalau begitu, Tante izin ke toilet sebentar, ya."
"Iya, Tante," balas Amara.
Saat Amelia pergi ke kamar mandi, Amara mengambil ponselnya.
Saat Amelia pergi ke kamar mandi, Amara mengambil ponselnya. Tiba-tiba, ia menerima pesan masuk dari nomor tidak dikenal.
[Nomor Tak Dikenal ] Jangan percaya dengan apa yang mereka katakan. Mereka menyembunyikan sesuatu yang besar darimu.
Amara mengerutkan kening. Ia teringat berita yang hilang di internet dan rasa curiga terhadap Papanya. Ia mengetik balasan.
[Amara ] Anda siapa? Apa yang Anda bicarakan?
Balasan datang cepat.
[Nomor Tak Dikenal ] Aku adalah seseorang yang peduli padamu. Tanyakan pada Ayahmu mengapa ia panik melihat berita tentang kesehatan mentalmu yang hilang dari internet kemarin. Mereka menjebakmu.
Amara mematung. Kata-kata itu menohoknya. Kesehatan mental.
Ia tidak sempat membalas, Amara segera mengunci ponselnya. Kegembiraannya lenyap, digantikan oleh rasa dingin dan ketakutan.
Siapa yang mengirim pesan ini? Dan kenapa dia tahu tentang berita itu? batin Amara. Kecurigaan yang sempat hilang kini muncul kembali, lebih kuat dari sebelumnya.
Namun, Amara memutuskan untuk menekan ketakutan itu. Ia tidak ingin pesan itu menghancurkan kebahagiaan yang baru saja ia rasakan saat melihat detail pernikahannya. Tangannya bergerak cepat memblokir nomor tersebut, memilih kembali pada kenyamanan kebohongan yang ditawarkan Amelia.
Tepat saat itu, Amelia kembali.
"Amara, ada apa?" tanya Amelia, melihat ekspresi Amara yang tiba-tiba berubah tegang.
"Tidak apa-apa, Tante," jawab Amara, memaksakan senyum.
"Baiklah, Sudah selesai. Waktunya kita pulang," kata Amelia.
"Ya," kata Amara.
Mereka berdua berjalan ke mobil masing-masing di area parkir salon. Selama perjalanan pulang, senyum Amara memudar. Pesan misterius itu kembali mendominasi pikirannya. Kesehatan mental.
Siapa yang mengirim pesan itu? batinnya, merasa tidak nyaman.
Setibanya di rumah, ia langsung duduk di sofa ruang tamu, pikirannya kembali memikirkan pesan itu... Ia kemudian merebahkan badannya, memejamkan mata, berharap rasa penasaran itu hilang.
Tak lama kemudian, Zayn tiba. Ia baru saja kembali dari kantor setelah menyelesaikan beberapa pertemuan bisnis hari itu.
"Amara, kenapa kamu tidur di sini?" tanya Zayn, suaranya terdengar lelah.
Amara mendengar suara Ayah nya dan bangkit.
"Papa, Papa baru pulang? Habis dari mana?" tanya Amara.
"Bertemu klien," jawab Zayn singkat.
"Oh," kata Amara.
"Amara, kamu belum jawab pertanyaan Papa. Kenapa kamu tidur di sini?" ulang Zayn.
Amara menatap Zayn lurus-lurus. Ia memutuskan untuk langsung bertanya, memanfaatkan keberanian sesaat yang muncul.
"Pa, apa ada sesuatu yang Papa sembunyikan?" tanya Amara.
"Maksud kamu apa, Amara?" tanya Zayn, nada suaranya langsung berubah tegang.
"Pa, aku dapat pesan misterius dari seseorang yang nggak aku kenal tentang kesehatan mental. Sebenarnya Amara kenapa, Pa?" tanya Amara, memohon kejujuran.
"Kamu tidak apa-apa. Kamu baik-baik saja, kok," kata Zayn, mengelak.
"Tapi Pa..."
Apa ini saatnya? Tidak, batin Zayn, melihat kembali betapa jauhnya ia dan Aldridge berjuang agar Amara tidak mengingat trauma kecelakaan itu. Aku tidak bisa menghancurkan dia sekarang.
"Pa, Papa!" panggil Amara.
"Ah, ya," kata Zayn, tersentak kembali ke kenyataan.
Amara menatap Papanya. Ia melihat raut wajah Papanya yang terlihat lelah, sedih, dan tertekan. Tiba-tiba, rasa kasihan Amara mengalahkan rasa ingin tahunya. Ia tidak tega melihat Papanya begitu terbebani.
"Lupakan saja. Anggap Amara tidak pernah menanyakannya, dan Amara tidak akan lagi menanyakannya. Aku akan mengabaikan semua berita atau apa pun tentang aku yang membahas mengenai itu," kata Amara, mengambil keputusan untuk melindungi ayahnya dari keharusan berbohong.
"Amara," kata Zayn. Ia merasa terharu dan lega tak terkira. Ia segera mendekat dan memeluknya erat. Mereka berdua berpelukan, dengan kebenaran yang kejam tersembunyi di tengah-tengah mereka.
Zayn tahu dia berutang segalanya pada Amara atas pengorbanan kecil itu.
...***...
Sementara Amara mulai menutup diri dari kebenaran yang mengganggu, di perusahaan Aldridge, Arya masih berkutat dengan dokumen di atas mejanya. Ia sudah bekerja nonstop sejak pagi, didorong oleh amarah dan kebutuhan untuk memuaskan Kakek Umar.
Kini, tumpukan dokumen itu tinggal tersisa sedikit, menunjukkan betapa kerasnya Arya dipaksa bekerja sebagai hukuman atas kekacauan media yang ia picu. Arya memijat pelipisnya, matanya terasa panas karena kelelahan.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Ia kemudian mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menghubungi.
"Halo," kata Arya, suaranya serak.
"Arya! Apa yang sedang kamu lakukan?!" tanya suara yang familiar, nadanya menuntut.
Arya segera melihat nama yang tertera: Olivia.
"Olivia," katanya, nadanya sedikit melunak, tetapi tetap kelelahan.
"Ada apa?" tanya Arya.
"Apa yang sedang kamu lakukan, Arya? Dari tadi setelah kamu ke apartemenku, kamu tidak menghubungi atau bahkan mengirim pesan!" tuntut Olivia. Di tengah ketenangan ini, dia masih membutuhkan kepastian dari Arya.
"Ah, aku sedang sibuk. Kakek Umar menghukumku dengan setumpuk dokumen. Bahkan ini juga belum selesai, masih ada sedikit lagi," jelas Arya, rasa frustrasinya tercermin dalam suaranya.
"Aku merindukanmu, Arya," kata Olivia, nadanya berubah manja. "Aku takut kamu mulai terbiasa dengan kehidupan calon menantu Aldridge yang sibuk itu. Ingat janjimu?"
Arya menutup matanya sebentar, menarik napas dalam-dalam. "Aku ingat, Liv. Aku tidak akan pernah melupakannya."
"Kapan kita bisa bertemu lagi?" tanya Olivia.
"Besok adalah hari terakhir sebelum pernikahan. Aku akan berusaha mencari waktu di akhir pekan ini. Tapi setelah itu, Liv, kita harus sangat berhati-hati. Kakek mengawasiku dengan ketat," ujar Arya.
"Baiklah. Aku akan menunggu kabarmu. Aku percaya kamu, Sayang. Jangan sentuh Amara," tutup Olivia, memberikan penekanan terakhir sebelum menutup telepon.
Arya meletakkan ponselnya. Dia menatap sisa dokumen di meja. Ia tahu, dalam waktu kurang dari 72 jam, ia akan berdiri di altar, mengucapkan janji palsu, sementara hatinya sepenuhnya terikat pada wanita yang baru saja menelepon nya.
...***...
Beberapa jam kemudian, Akhirnya Arya selesai menyelesaikan pekerjaannya. Ia meregangkan ototnya, merasakan sakit di sekujur tubuh karena jam kerja yang ekstrem. Ia kemudian bersiap untuk pulang.
Arya meraih ponselnya dan menghubungi Rian melalui pesan teks:
[ Arya ] Rian, saya sudah menyelesaikan dokumennya. Kamu urus sisanya. Saya pulang lebih dulu.
Setelah mengirim pesan, Arya keluar dari ruangannya, meninggalkan ruangan segera dan meninggalkan perusahaan. Ia tidak ingin Kakek Umar atau Ethan melihatnya dan memberinya tugas lain.
Beberapa menit kemudian, Rian masuk ke ruangan Arya dan melihat dokumen yang berserakan. Ia kemudian berjalan ke meja kerja Arya dan membereskan dokumen itu. Rian menyusun semua berkas yang sudah ditandatangani dan diverifikasi oleh Arya, membawanya, lalu keluar ruangan dan menguncinya. Setelah memastikan dokumen aman dan siap diserahkan kepada Kakek Umar sebagai bukti kepatuhan Arya, Rian kemudian meninggalkan perusahaan.
Tak lama Arya tiba di Kediaman Aldridge. Suasana rumah besar itu terasa sepi dan dingin, meskipun hari pernikahan semakin dekat. Ia langsung menuju kamarnya, menghindari pertemuan dengan siapa pun.
Arya tahu, kini ia punya waktu kurang dari 48 jam sebelum janji sucinya yang palsu. Ia harus segera menghubungi Olivia untuk mengatur pertemuan terakhir.
Ia membuka ponselnya.
[ Arya ] Liv, aku sudah selesai. Aku akan datang ke apartemenmu besok pagi (Sabtu) jam 8. Itu satu-satunya waktu luang yang aku punya. Jangan sampai ketahuan.
Arya mengirim pesan itu, lalu mematikan ponselnya. Ia kelelahan, tetapi pikirannya terlalu gaduh untuk tidur. Ia berdiri di jendela kamarnya, menatap cahaya kota, bertanya-tanya apakah ia akan pernah mendapatkan kembali kendali atas hidupnya setelah pernikahan ini.
Bersambung.....