Kecelakaan yang merenggut istrinya menjadikan Arkana Hendrawan Kusuma tenggelam dalam perasaan kehilangan. Cinta yang besar membuat Arkan tak bisa menghilangkan Charissa Anindya—istrinya—dari hidupnya. Sebagian jiwanya terkubur bersama Charissa, dan sisanya ia jalani untuk putranya, Kean—pria kecil yang Charissa tinggalkan untuk menemaninya.
Dalam larut kenangan yang tak berkesudahan tentang Charissa selama bertahun-tahun, Arkan malah dipertemukan oleh takdir dengan seorang wanita bernama Anin, wanita yang memiliki paras menyerupai Charissa.
Rasa penasaran membawa Arkan menyelidiki Anin. Sebuah kenyataan mengejutkan terkuak. Anin dan Charissa adalah orang yang sama. Arkan bertekad membawa kembali Charissa ke dalam kehidupannya dan Kean. Namun, apakah Arkan mampu saat Charissa sedang dalam keadaan kehilangan semua memori tentang keluarga mereka?
Akankah Arkan berhasil membawa Anin masuk ke kehidupannya untuk kedua kalinya? Semua akan terjawab di novel Bring You Back.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aquilaliza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memastikan
Suara ketukan pintu yang terdengar menarik Arkan memutuskan tatapannya yang sejak tadi berpusat pada Anin. Tak hanya Arkan, Anin dan Kean yang tengah sibuk dengan 'buku belajar membaca' milik Kean pun juga ikut menatap ke arah pintu.
"Siapa ya, yang datang?" Kean bertanya sambil menoleh pada Anin. Membuat wanita itu menggeleng karena sama tak tahunya.
"Biar saya yang buka kan."
"Pak—"
"Temani saja Kean," potong Arkan sambil berjalan mendekati pintu. Jelas ucapan Arkan adalah perintah. Anin tak bisa berbuat apa-apa selain menurutinya.
Pintu dibuka, seorang pria dengan seragam khas sebuah restoran mahal dan terkenal berdiri di sana. Pria itu menyapa Arkan dengan sopan lalu menyerahkan paperbag berlogo restoran berisi box makanan.
Pria itu lalu pergi, sedangkan Arkan berbalik arah mendekat pada Anin dan Kean usai menutup pintu.
"Makan siang dulu," ujarnya, meletakkan paperbag tersebut lantas mengambil tempat duduk di samping Kean. "Anin, tolong siapkan."
"Baik, Pak." Anin segera membereskan beberapa buku dan mainan Kean. Mainan tersebut Anin masukan kedalam box mainan Kean yang memang sengaja Arkan simpan di ruangannya—mengingat putranya sering bermain saat ikut ke perusahaan.
Selesai, Anin mengeluarkan box makanan tersebut dari paperbag. Terdapat tiga box makanan, dimana ia letakkan dua di hadapan Arkan, dan satu di hadapan Kean.
"Saya tidak serakus itu, Anin."
Perempuan itu terkesiap mendengar penuturan Arkan. Dia tidak bermaksud mengatakan Arkan rakus dengan meletakkan dua box makanan sekaligus di hadapan lelaki itu. Hanya saja, dia pikir Arkan ingin menghabiskan dua box makanan. Jadi, ia letakkan saja disana.
"Maaf, Pak. Saya—"
"Untuk mu." Arkan mendorong satu box makanan tersebut pada Anin, membuat wanita cantik itu menatap ke arahnya.
"Saya sengaja memesan lebih, untuk mu. Saya tahu Kean pasti tidak akan membiarkanmu pergi. Jadi, makan siang saja disini," ujar Arkan sambil mulai membuka box makanan milik Kean.
Anin terdiam. Ia mengalihkan netranya ke arah Kean yang sekarang tersenyum lebar ke arahnya. "Tante cantik makan siang bersama saja, okey?"
Anin tersenyum tipis. Ia mengangguk perlahan sambil menepuk pelan puncak kepala Kean. Membuat anak itu berseru semangat lalu menatap box makanannya yang sudah terbuka.
"Terima kasih, Papa," ujarnya lalu mulai menyantap makanannya.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore saat Arkan menyelesaikan pekerjaannya. Menyandarkan tubuhnya, Arkan membiarkan netra tajamnya menatap Anin yang terlelap bersama Kean di sofa.
Perempuan itu tidur bersandar, sementara pahanya ia jadikan bantalan untuk Kean. Pemandangan yang sangat-sangat membuat Arkan merasa hangat.
Menit berlalu, Arkan masih bertahan dengan apa yang dilihatnya. Hingga tiba-tiba, ia teringat akan tanda lahir yang tadi dibisik kan Kean. Arkan beranjak, melangkah lebar mendekati Anin.
Berdiri menjulang di hadapan Anin, Arkan lalu membungkukkan badannya sambil melambai-lambai kan tangan di depan wajah Anin. Tidak ada respon menunjukkan jika Anin benar-benar terlelap.
Menegakkan kembali tubuhnya, Arkan berjalan ke belakang sofa tepat di bagian yang Anin duduki, lalu perlahan menyingkirkan rambut yang menutupi tengkuk Anin.
Deg!
Benar-benar seperti milik Charissa.
Arkan meneguk salivanya, masih tetap menatap tanda lahir yang begitu persis dengan milik mendiang istrinya.
Charissa. Apa benar Anin itu Charissa?
Pertanyaan itu kembali bersarang di pikiran Arkan. Tanpa Arkan sadari, ibu jarinya malah menyentuh tanda lahir tersebut dan mengusapnya.
Arkan larut. Dan tanpa ia ketahui, perbuatannya mengusik tidur Anin. Perempuan itu mengerjap pelan, lalu bergegas mengusap tengkuknya yang terasa diusap. Namun, bukannya tengkuk yang ia sentuh, dia malah menyentuh punggung tangan besar, kasar dengan urat-urat tangan yang menonjol.
Hal tersebut sontak membuat Anin terkejut. Lekas ia menoleh dan mendapati Arkan yang sempat menunjukkan raut terkejut—hanya beberapa saat—sebelum akhirnya memasang wajah datar.
"Ada sesuatu di rambut mu. Saat saya coba mengambilnya, dia masuk semakin dalam. Saya takut kau terkejut yang nantinya akan membangunkan Kean juga."
"Aku sudah bangun, Papa."
Anin langsung mengalihkan tatapannya pada Kean. Anak itu tengah mengusap kedua matanya. Sepertinya ia terbangun karena pergerakan Anin barusan.
"Kean, maaf kan Tante, ya? Kau pasti terbangun karena Tante." Anin benar-benar merasa bersalah. Ia mengusap-usap lembut pipi Kean.
Anak itu tersenyum sambil mendongak menatap Anin. "Tidak apa-apa. Kean senang saat bangun masih lihat tante di dekat Kean."
Anin terkekeh pelan. Ia gemas, dan tanpa sadar mengecup kening Kean. Ia baru sadar jika ada Arkan disana setelah mengecup bocah kecil itu. Ia takut jika lelaki itu tidak suka putranya dicium orang lain.
"Pak, maaf. Saya gemas, jadi .... "
"Tidak masalah. Selama Kean tidak marah, itu tidak masalah," jawab Arkan tenang lalu kembali ke meja kerjanya. Sungguh, ia sangat bersyukur Anin tidak curiga dengan alasan asal-asalan yang ia buat.
Mendudukkan tubuhnya di kursi, Arkan lalu meraih sebuah dokumen dan pulpen yang tergeletak di atas meja. Namun begitu, ia malah memikirkan sesuatu.
Semoga saja Rafi dengan cepat mendapatkan informasi tentang Anin 4 tahun lalu.
***
Waktu berputar cepat. Jam pulang kantor pun tiba. Anin pun ikut turun bersama Arkan dan Kean. Banyak pasang mata karyawan yang memperhatikan mereka, terutama Kean yang terlihat begitu nyaman digandeng Anin.
"Tante, Tante sudah berjanji diantar pulang Kean sama Papa, kan?" Anak itu mengingatkan Arkan pada janji Anin yang mau diantar pulang.
"Iya, Kean. Tante ingat." Anin menjawab sambil tersenyum. Jika boleh jujur, Anin merasa canggung jika harus satu mobil dengan Arkan. Ditambah lagi banyak pasang mata karyawan yang melihat mereka.
Jika satu mobil dalam urusan pekerjaan, itu tidak masalah. Tapi sekarang, dia harus satu mobil dengan Arkan saat pulang kerja. Dia takut, akan ada gosip aneh yang beredar tentang dirinya dan Arkan nantinya.
Mobil Arkan melaju meninggalkan area perusahaan. Perjalanan mereka di penuhi celotehan Kean yang bertanya banyak hal pada Anin. Bocah lelaki itu duduk di jok belakang bersama Anin. Dia menolak untuk Anin duduk di samping kemudi.
"Bagaimana kabar Radit, Tante?" Sekarang, anak itu baru teringat tentang Radit—keponakan Anin—yang ia temui di mall waktu itu.
"Radit? Dia baik," jawab Anin. "Tante pikir kau sudah lupa tentang Radit."
"Hehe ... Aku tidak lupa. Hanya saja aku terlalu sibuk bersama Tante tadi," tutur Kean sambil menyengir kecil. "Apa Radit punya banyak teman di sekolah?"
"Ya, Radit punya banyak teman. Dia suka berteman dengan siapa saja. Banyak sekali anak-anak seusianya yang mengenal Radit. Dia sangat ceria."
"Kalau Kean mau berteman dengan Radit, bisa?"
"Tentu saja. Radit sepertinya mau berteman dengan Kean. Beberapa kali dia bertanya tentang Kean pada Tante."
"Waah, benarkah?" Anin mengangguk. "Aku jadi sangat senang. Tante, saat sampai nanti, katakan pada Radit kalau Kean mau beteman dengannya."
"Pasti." Anin tersenyum lembut. Melihat Kean senang, ia pun ikut senang. Tangannya dengan lembut terulur, mengusap puncak kepala Kean dengan penuh kasih sayang.
Dan tanpa Anin sadari, interaksinya bersama Kean tak lepas dari pantauan Arkan. Mata tajam lelaki itu sejak tadi terus melirik ke arah spion dalam, memperhatikan Anin dan Kean dari sana.