Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.
Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.
Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fitnah Anonim
Di depan rumah Aluna, Revan membuka pintu mobil dan masuk kembali, diikuti oleh Damian. Mesin mobil dinyalakan, dan mereka berdua duduk dalam keheningan.
"Gimana, Van?" tanya Damian. "Lo lihat sesuatu?"
Revan menggelengkan kepala. "Nggak ada. Sepi banget. Gue makin nggak ngerti."
"Gue juga," balas Damian. "Ini semua nggak masuk akal. Lo yakin Aluna nggak mungkin ngelakuin ini?"
"Gue nggak tahu," jawab Revan. "Tapi firasat gue bilang dia nggak bersalah. Ada yang salah."
Mereka berdua terdiam, memikirkan kejadian aneh malam itu. "Kita balik ke rumah gue aja," usul Revan. "Kita tunggu kabar dari Kian."
Damian mengangguk setuju. Revan pun melajukan mobilnya, meninggalkan kegelapan di depan rumah Aluna, tanpa menyadari mata yang mengawasi mereka dari balik jendela.
Di tengah perjalanan, ponsel Revan berdering. Ia melihat nama Kian di layar.
"Angkat, Dam," kata Revan kepada Damian. "Tadi dia buru-buru banget, pasti ada kabar."
Damian mengambil ponsel Revan dan menempelkannya di telinga. "Halo, Ki?"
"Dam, lo lagi sama Revan?" tanya Kian dari seberang, suaranya terdengar bersemangat.
"Iya, lagi di jalan pulang," jawab Damian. "Gimana? Lo nemuin sesuatu?"
"Gue nemuin semuanya," kata Kian, suaranya penuh kemenangan. "Akun 'Noname' itu bukan sembarang akun. Gue lacak IP-nya, dan ternyata itu pakai proxy. Pengirimnya pintar. Tapi gue berhasil lacak pembayaran buat sewa proxy itu."
Damian terdiam, penasaran. "Siapa?"
"Tebak aja," balas Kian. "Dia pakai nama perusahaan klien bokap gue, PT Cahaya Sukses Mandiri. Perusahaan milik bokapnya Risa."
Damian terkejut. "Risa? Jadi Risa yang nyebarin gosip itu? Lo yakin?"
"Yakin seratus persen," kata Kian. "Itu bukti yang nggak bisa dibantah. Fara pakai Risa buat nyebarin gosip ini. Dan Aluna... dia cuma jadi korban."
Damian segera menoleh ke arah Revan, matanya melebar. Ia mengalihkan ponsel itu ke mode loudspeaker. "Van, lo denger sendiri, kan? Risa dalangnya!"
Revan mengangguk, amarahnya kembali memuncak. Kini mereka tahu siapa yang harus mereka hadapi.
Damian memegang ponsel Revan, wajahnya terlihat heran. "Kian, ini lo yang nyari atau lo minta bokap lo dan nyuruh orang?"
Kian terdiam sejenak. Gawat, gue hampir keceplosan. Mereka jangan sampai tahu gue bisa ngelacak.
"Oh, itu," jawab Kian, mencoba terdengar santai. "Ya, gue minta bokap gue. Dia nyuruh kenalannya yang pro. Makanya cepat ketemunya."
"Oh, gitu," kata Damian, mengangguk. "Gue kira lo, soalnya cepat banget. Yaudah, makasih banyak, Kian."
"Ya," jawab Kian, lalu mematikan panggilan. Ia menghela napas panjang, merasa lega karena rahasianya tidak ketahuan.
Pukul 06.30 pagi, Diandra berjalan ke ruang makan. Ia tidak melihat Valeria. Ia pun memanggil pembantunya.
"Bi, Valeria ke mana? Apa dia sudah bangun?" tanya Diandra.
"Tidak, Nyonya. Saya tidak lihat Non Valeria dari tadi," jawab Bi Sari.
Diandra mengangguk. "Apa masih di kamarnya? Yaudah, Bi, makasih ya."
Diandra kemudian melangkah ke kamar Valeria. Ia mengetuk pintu, namun tidak ada jawaban. Ia pun membuka pintu dan melihat Valeria masih berbaring di atas tempat tidur. Ia berjalan mendekat dan membangunkannya.
"Valeria, bangun. Tidak biasanya kamu jam segini belum bangun. Ayo bangun, jangan buat Mama marah," kata Diandra dengan nada dingin.
Valeria pun terbangun, matanya terlihat bengkak. "Ma, Valeria hari ini tidak usah masuk sekolah dulu ya," pintanya pelan.
Diandra menatap wajah Valeria. Ia melihat mata putrinya yang sembab. "Kamu kenapa? Sakit?" tanyanya sambil menyentuh dahi Valeria.
"Kamu tidak panas kok," lanjutnya. "Sudah, kamu bangun, mandi, dan siap-siap. Cepat, berangkat ke sekolah. Pak Edi sudah menunggu."
"Tapi, Ma..." Valeria mencoba membantah.
"Tidak ada tapi-tapian. Cepat-cepat bangun dan mandi. Ayo, cepat Valeria. Nanti Pak Edi datang," ancam Diandra.
"Ma..." Valeria mencoba lagi.
"Val, jangan buat Mama mengulang perkataan. Jangan buat Mama marah. Cepat bangun," kata Diandra dengan suara yang lebih keras.
Valeria pun bangun dengan terpaksa. Ia berjalan lesu ke kamar mandi. Setelah memastikan Valeria masuk, Diandra keluar dari kamar itu. Diandra tidak tahu bahwa di balik pintu yang tertutup, Valeria menangis dalam diam di kamar mandi, bingung bagaimana harus menghadapi gosip dan pandangan orang lain terhadapnya.
...Hanya ilustrasi gambar....
Tak berapa lama, teriakan Mama Diandra dari luar terdengar, "Valeria, cepetan!"
Valeria menghela napas, lalu memaksakan diri untuk mandi. Suara air mengalir pun terdengar. Setelah selesai, ia keluar dan memakai seragam sekolahnya dengan tergesa-gesa. Ia tidak memedulikan penampilannya, yang penting ia sudah berpakaian lengkap. Dengan tas di pundak, ia berjalan keluar kamar menuju ruang makan.
Sesampainya di sana, Mama Diandra sedang berbicara dengan Bi Sari. "Bi, tolong siapkan bekal untuk Valeria." Bi Sari mengangguk.
"Kamu sarapan di sekolah saja, sudah telat," kata Diandra kepada Valeria.
Bi Sari datang membawa bekal dan memberikannya kepada Valeria.
"Yaudah, ayo berangkat," kata Diandra, lalu melirik ke arah Bi Sari. "Bi, titip rumah, ya. Kalau nanti ada apa-apa, hubungi saya."
"Baik, Nyonya," jawab Bi Sari.
"Ayo, Valeria," kata Diandra, berjalan di depan. Valeria mengikuti di belakangnya. Di ruang tamu, Valeria melihat sebuah koper besar. Pak Edi, sopir mereka, sedang memasukkannya ke dalam bagasi mobil.
"Ma, Mama mau berangkat sekarang?" tanya Valeria.
"Iya, tapi sebelum Mama ke bandara, Mama antar kamu ke sekolah. Cepat naik mobil," jawab Diandra.
"Iya, Ma," kata Valeria, lalu masuk ke dalam mobil, disusul oleh Diandra. Pak Edi menyelesaikan tugasnya, masuk ke mobil, dan mulai melaju.
Sesampainya di sekolah, Valeria turun dan berpamitan.
"Kamu belajar yang benar, jadi anak yang membanggakan. Jangan bikin malu Mama," pesan Diandra dengan nada tajam.
"Iya, Ma," jawab Valeria.
"Jalan, Pak," kata Diandra.
"Iya, Nyonya," balas Pak Edi.
Setelah kepergian mobil mamanya yang semakin menjauh, Valeria berbalik. Ia merasa bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Setiap langkahnya di koridor, sepasang mata menatapnya, dan bisik-bisik terdengar di mana-mana.
Saat Valeria melangkah masuk ke dalam koridor sekolah, bisik-bisik yang samar mulai menyambutnya. Awalnya terdengar seperti angin, namun semakin ia berjalan, bisik-bisik itu semakin jelas dan menusuk. Ia bisa merasakan semua mata menatapnya, dan setiap bisikan terasa seperti pukulan.
“Itu dia kan? Yang gosipnya lagi heboh di grup.”
“Nggak nyangka banget, padahal kelihatan polos.”
“Aluna sendiri yang bilang dia suka goda-goda cowok orang.”
“Duh, kok dia masih berani sih ke sekolah?”
Wajah Valeria memanas. Ia menundukkan kepala, mencoba mengabaikan semuanya, tetapi suara-suara itu terus mengikutinya. Setiap langkah terasa berat. Ia bisa merasakan tatapan jijik dan menghakimi dari teman-temannya yang tadi malam masih menganggapnya baik-baik saja. Hati Valeria hancur, dan rasa malu itu menyebar ke seluruh tubuhnya.
Valeria menunduk dan terus berlari. Ia tidak peduli ke mana tujuannya, yang penting ia bisa menjauh dari semua bisik-bisik yang menyakitkan itu. Tiba-tiba, ia menabrak seseorang. Tubuhnya goyah, dan ia hampir terjatuh.
...Hanya ilustrasi gambar....
"Val, hati-hati," terdengar suara yang familier. Itu Damian.
Valeria mendongak, matanya yang sembab menatap wajah Damian yang khawatir. Begitu menyadari siapa mereka berdua, bisik-bisik di sekitar mereka berubah menjadi lebih tajam.
“Tuh kan, beneran. Dia pacaran sama Damian juga.”
“Damian, kok mau sih sama cewek begitu?”
“Gila, dia emang nggak pilih-pilih cowok.”
Valeria tidak sanggup lagi. Ia tidak ingin Damian ikut terkena dampak dari gosip ini. Tanpa sepatah kata pun, ia segera berbalik dan berlari lebih kencang, meninggalkan Damian yang terkejut.
Damian menatap kepergian Valeria, lalu mengalihkan pandangannya kepada kerumunan siswa yang berbisik. Amarahnya memuncak.
“Apa yang kalian lihat?!” teriak Damian, suaranya menggema di koridor. “Diam kalian semua! Jangan bikin gosip kalau nggak tahu apa-apa!”
Damian segera mengejar Valeria. Ia berlari ke koridor, mengawasi setiap sudut, tetapi ia tidak menemukan gadis itu. Ia mencari ke sekeliling sekolah: perpustakaan, kantin, bahkan kamar mandi, tapi Valeria tidak ada. Kekhawatiran Damian semakin memuncak.
Ia memutuskan untuk kembali ke halaman sekolah. Di sana, ia melihat Revan dan Kian sedang duduk di bangku taman, wajah mereka terlihat serius. Damian berlari menghampiri mereka.
"Van! Ki!" panggil Damian, napasnya tersengal-sengal.
"Dam, lo kenapa?" tanya Revan, terkejut melihat Damian yang tampak panik. "Bukankah lo di rumah?"
"Tadi... di koridor," kata Damian, mencoba mengatur napasnya. "Valeria nabrak gue. Terus, ada yang bisik-bisik soal dia. Dia lari, Van. Gue coba cari, tapi nggak ketemu."
Kian dan Revan saling bertukar pandang. Mereka sudah menduga hal ini akan terjadi.
"Mereka ngomong apa?" tanya Revan, suaranya dingin.
"Mereka ngomong yang nggak-nggak," jawab Damian dengan marah. "Bilang gue pacarnya, bilang dia cewek murahan. Gue nggak bisa, Van. Gue nggak bisa biarin dia sendirian."
Revan dan Kian mengangguk. Mereka kini punya dua masalah besar: membongkar identitas penyebar gosip, dan menemukan Valeria.
Valeria berlari tanpa tujuan, menyusuri koridor hingga ia menemukan sebuah pintu besi tua yang mengarah ke gudang sekolah. Tanpa berpikir panjang, ia masuk ke dalamnya. Bau debu dan pengap menyergapnya, namun ia tak peduli.
Ia menutup pintu, lalu dengan sekuat tenaga mendorong beberapa meja dan kursi bekas ke arahnya, menahannya agar tidak bisa dibuka dari luar. Setelah pintu terkunci, ia merosot ke lantai, memeluk lututnya. Dengan kedua tangan menutupi telinganya, ia mencoba membendung bisikan-bisikan yang masih terngiang di kepalanya, dan ia pun menangis dalam diam.
...Hanya ilustrasi gambar....
Pencarian yang Frustrasi
Kian, Revan, dan Damian berpencar, mencari Valeria ke seluruh penjuru sekolah. Mereka memeriksa setiap sudut dan celah, mulai dari koridor sepi hingga lapangan olahraga, tetapi Valeria tidak ditemukan. Waktu terus berjalan, dan bel sekolah mulai berbunyi, menandakan pelajaran akan segera dimulai.
Kian menghela napas, frustrasi. "Nggak ada di mana-mana."
"Lalu kita harus cari di mana lagi?" tanya Revan.
Kian melihat ke sekeliling, dan pandangannya berhenti pada pintu gudang yang jarang digunakan. "Gudang," gumamnya. "Dia mungkin ke sana."
Mereka bertiga bergegas menuju gudang. Revan mencoba mendorong pintu, tetapi terkunci. Ia menggedornya. "Valeria? Valeria, lo di dalam?"
Di dalam, Valeria tersentak. Ia mendengar suara Revan, Kian, dan Damian. Jantungnya berdebar kencang. Ia ingin berteriak, ingin keluar, tetapi bayangan Aluna dan gosip yang beredar membuatnya takut. Ia tidak yakin siapa yang bisa ia percayai sekarang. Dengan tangan bergetar, ia menutupi mulutnya, menahan isak tangis agar tidak terdengar.
"Nggak bisa kebuka," kata Revan, putus asa.
"Gimana kalau kita coba intip dari jendela atas?" usul Damian.
Mereka pun memanjat ke atas, mengintip dari celah jendela yang kotor. Pandangan mereka terbatas, dan mereka tidak melihat apa pun kecuali tumpukan meja dan kursi usang yang menutupi pintu. Setelah tidak melihat apa-apa, mereka turun.
"Nggak ada orang di dalam," kata Damian.
Mereka bertiga saling memandang, kekhawatiran terlihat jelas di mata mereka. Bel sekolah telah berbunyi. Mereka harus segera kembali ke kelas, tetapi mereka tidak bisa meninggalkan Valeria.
Bel sekolah berdering sekali lagi, suaranya terdengar seperti lonceng kegagalan bagi mereka bertiga. Mereka tahu mereka tidak bisa lagi berkeliaran. Guru-guru akan mulai mencari, dan itu hanya akan memperumit masalah.
"Kita harus balik ke kelas," kata Revan, suaranya penuh kekecewaan.
Damian mengangguk. "Tapi gimana dengan Valeria?"
Kian menepuk bahu mereka berdua. "Kita akan mencarinya lagi nanti, setelah jam sekolah selesai. Sekarang, kita harus kembali."
Dengan terpaksa, mereka berjalan kembali ke gedung utama, meninggalkan Valeria sendirian, terperangkap di dalam gudang. Mereka berharap, entah bagaimana, ia akan baik-baik saja sampai mereka bisa kembali.
Di dalam gudang yang pengap, Valeria terus menangis. Ia memeluk lututnya, kepalanya bersandar pada tumpukan kardus yang dingin. Di tengah isak tangisnya, ia hanya bisa memikirkan satu orang. Aluna.
Kenapa dia bisa melakukan ini padaku? batin Valeria. Apa salahku?
Hatinya dipenuhi rasa sakit dan kebingungan. Dia tidak bisa memahami mengapa teman yang ia percayai tega menusuknya dari belakang. Pengkhianatan itu terasa lebih berat daripada hinaan apa pun. Valeria merasa sangat sendirian, terperangkap, tidak tahu harus percaya pada siapa.
Di kelas, Damian duduk dengan gelisah. Bangku di sampingnya, yang biasanya diduduki Valeria, terasa kosong dan hampa. Dia tidak bisa fokus pada pelajaran, pikirannya terus melayang memikirkan Valeria.
Di seberang ruangan, Keira dan Naila saling berbisik. Wajah mereka terlihat cemas.
"Valeria ke mana ya? Kok nggak ada?" bisik Naila.
"Gue nggak tahu," jawab Keira, matanya terus melirik ke bangku Valeria yang kosong. "Gue nggak percaya gosip itu. Ini semua pasti bohong."
"Gue juga," balas Naila. "Nggak mungkin Valeria kayak gitu. Lo lihat kan dia sama kita selama ini?"
"Iya," kata Keira. "Gue khawatir. Dia nggak pernah bolos kayak gini."
Mereka berdua menatap bangku kosong Valeria, cemas. Mereka tahu sesuatu yang buruk telah terjadi, tapi mereka tidak tahu harus mencari ke mana.
Bel istirahat berbunyi. Kian, Revan, dan Liam segera keluar kelas. Aluna melihat Revan dan menyadari kekhawatiran di wajahnya.
"Revan!" panggil Aluna.
Revan menoleh ke Kian dan Liam. "Kian, Liam, kalian duluan aja," kata Revan. "Gue ada yang mau diomongin sama Aluna."
Kian dan Liam mengangguk. Mereka bergegas berpencar. Kian kembali ke gudang, sementara Liam menuju perpustakaan, ruang musik, dan tempat-tempat lain yang mungkin menjadi tempat persembunyian Valeria.
Revan dan Aluna
Di depan kelas Revan, Aluna mendekatinya. "Revan, ada apa?" tanyanya, suaranya dipenuhi rasa cemas.
Revan menatapnya lurus. "Valeria nggak masuk. Dan dia hilang," jawabnya. "Gue lihat pesan di grup. Lo yang kirim itu, kan?"
Aluna menatapnya, ekspresi wajahnya benar-benar bingung. "Pesan apa? Gue nggak tahu apa-apa, Van. Gue nggak pernah kirim pesan apa pun di grup itu. Sumpah! Dan gue juga nggak tau gosip apaan?"
Revan melihat ketulusan di mata Aluna. "Gosip tentang Valeria. Lo dituduh nyebarin gosip itu, Aluna. Lo nulis kata-kata yang menjelek-jelekkan Valeria."
Mata Aluna membelalak kaget. Ia menggelengkan kepalanya. "Gue... gue nggak ngerti lo ngomong apa, Van. Lo nuduh gue? Gue nggak pernah ngelakuin itu, apalagi menjelekkan Valeria. Sumpah Revan, bukan gue!" Aluna mulai menangis.
Revan menyadari Aluna tidak berbohong. Aluna juga korban. "Yaudah, gue percaya sama lo," kata Revan. "Gue tinggal, gue mau coba cari Valeria."
Revan kemudian meninggalkan Aluna, yang masih berdiri terkejut dan menangis.
Damian, Keira, dan Naila di Kelas Berbeda
Di kelas yang berbeda, Keira dan Naila menghampiri Damian. Wajah mereka terlihat cemas.
"Damian, Valeria mana?" tanya Keira, suaranya pelan.
"Kami juga lagi cari dia," jawab Damian, wajahnya serius. "Dia hilang."
"Apa dia bolos?" tanya Naila.
Damian menggelengkan kepala. "Nggak. Dia tadi di sekolah, tapi dia lari karena ada yang bisik-bisik. Kami coba cari tapi nggak ketemu."
Keira dan Naila saling pandang, rasa khawatir mereka semakin besar. "Kami nggak percaya gosip itu. Ini semua bohong," kata Naila.
"Kalau gitu, biar kita bantu kalian cari," tambah Keira. "Kami juga khawatir banget sama dia."
Damian mengangguk. "Kalau gitu, kalian cari ke arah kantin. Kita ketemu di sana dalam 10 menit."
Pencarian dan Konfrontasi
Di tempat lain, Damian dan teman-temannya mencari ke kantin, tetapi tidak menemukan Valeria. Sementara itu, Liam yang mencari ke ruang musik dan perpustakaan juga tidak menemukan apa-apa.
Di dalam gudang, Valeria akhirnya memutuskan untuk keluar dan menuntut penjelasan dari Aluna. Dengan susah payah, ia mendorong meja dan kursi yang menghalangi pintu hingga berhasil keluar.
Valeria mulai berjalan cepat. Bisik-bisik masih terdengar, tetapi ia mengabaikannya. Tujuannya hanya satu: menemukan Aluna.
“Itu Valeria... kok dia lari-lari?”
Kian yang kebetulan berada di dekatnya, melihat Valeria keluar dari gudang. Ia mulai mengikutinya dari belakang.
Valeria melihat Aluna dari kejauhan. Ia berlari cepat, sementara Kian mengejarnya. Sesampainya di tempat Aluna, Valeria berteriak, "Aluna!"
Aluna menoleh, wajahnya masih basah oleh air mata. "Valeria!"
Valeria maju dan mendorong Aluna. "Apa maksud lo menyebarkan gosip itu tentang gue, hah?! Gue salah apa sama lo?! Tega lo ya! Lo jahat, Aluna, lo jahat sama gue!"
Aluna yang terjatuh mencoba mendekat. "Val, dengerin gue dulu! Bukan gue yang melakukan itu!"
Valeria berteriak, "Bukan lo?! Terus siapa?! Jelas-jelas nama lo tertulis di sana, Aluna! Lo jangan sok-sokan nggak tahu dan sok polos! Gue benci sama lo!" sambil mendorong Aluna lagi.
Dari kejauhan, Revan, Damian, Keira, dan Naila mendengar keributan itu. Mereka melihat Aluna sudah terjatuh. Mereka pun berlari menghampiri Valeria dan Aluna. Revan membantu Aluna berdiri.
Sementara itu, Kian mendekati Valeria dan mencoba menenangkannya. "Val, tenang! Apa yang dikatakan Aluna benar, bukan dia pelakunya."
Valeria menepis tangan Kian. "Jelas-jelas Aluna yang buat! Dia udah menjelek-jelekkan gue! Kian, lo jangan belain dia!"
Revan mencoba mendekat. "Val, tenang! Dia juga korban! Kami udah coba cari tahu, itu bukan Aluna, Valeria!"
Valeria berteriak. "Lo belain dia, Revan?! Hah?!"
Revan mencoba lebih dekat, tapi Valeria mundur. "Jauh! Jangan mendekat! Gue benci lo, Revan! Lo malah belain dia!"
Damian yang baru datang berusaha menengahi. "Val, ini cuma salah paham!"
Valeria menatap tajam ke arah Damian. "Salah paham lo bilang?! Jangan bilang lo juga mau ngebela dia, iya?!"
Damian kebingungan. "Bukan gitu, Val."
Kian menghela napas. "Val, ikut gue sebentar aja. Ayo."
"Lo mau bawa ke mana?" tanya Revan.
"Biarin dia tenang dulu. Revan, Damian, kalian tetap di sini," jawab Kian. "Ayo, Valeria," kata Kian, sambil mengulurkan tangannya.
Bisik-bisik mulai terdengar lagi.
“Lihat, sekarang Kian?”
“Valeria nggak tahu malu, ya? Berani deketin cowok siapa aja.”
Damian berteriak, "DIAM KALIAN SEMUA!"
Revan berkata, "Yaudah lo bawa Valeria. Gue titip Valeria."
Kian mengatakan, "Val." Kian mengulurkan tangannya dan Valeria menerimanya. Bisik-bisik mulai terdengar lagi saat Kian dan Valeria pergi.
Dengan Kian yang membawa Valeria pergi, Revan dan Damian harus menghadapi kekacauan yang terjadi.
Kian terus membawa Valeria menjauh dari keramaian, menuntunnya ke taman belakang sekolah yang sepi, yang hanya ada rerumputan dan pepohonan. Sesampainya di sana, Kian menyuruh Valeria duduk di rerumputan.
...Hanya ilustrasi gambar. ...
"Val, tenang," kata Kian dengan lembut. "Tarik napas. Atur napas lo."
Valeria hanya bisa terisak, tubuhnya bergetar. Ia berusaha keras mengikuti instruksi Kian, menarik napas dalam-dalam, meskipun setiap tarikan napas terasa menyakitkan.
Kian duduk di sampingnya, memberikan ruang untuk Valeria. "Gue tahu ini berat," katanya. "Tapi dengerin gue baik-baik. Ini bukan salah lo."
Valeria mendongak, matanya yang merah dan sembab menatap Kian. "Kenapa lo belain dia? Lo lihat sendiri kan, apa yang dia lakuin?"
Kian menggelengkan kepala. "Justru itu. Bukan dia pelakunya. Kita udah cari tahu."
"Siapa?" tanya Valeria, suaranya pelan dan serak.
"Bukan Aluna yang nyebarin gosip itu," kata Kian. "Itu disebarin pakai akun anonim."
Valeria menatapnya tidak percaya. "Tapi di ponsel gue… nama Aluna yang muncul."
Kian menghela napas. "Mungkin itu Fara. Karena cuma Fara yang bisa melakukan itu. Bukan Aluna. Sepertinya dia ngancam Aluna, Val."
Valeria terdiam, mencerna kata-kata Kian. Tiba-tiba, sebuah kejanggalan muncul di benaknya. "Tapi itu kan disebarin di grup sekolah, Kian. Sedangkan Fara, dia belum masuk ke sekolah ini. Bagaimana dia bisa masuk ke grup itu?"
Kian tersenyum tipis, merasa gilirannya untuk mengungkap semuanya. "Gue udah cari tahu yang bikin gosip itu tersebar pertama kali siapa, dan siapa yang menggunakan nama anonim."
"Siapa?" tanya Valeria, tidak sabar.
"Risa," jawab Kian.
Valeria terkejut. "Ri… Risa? Yang anak kelas sebelah itu?"
"Ya, Risa itu," Kian membenarkan.
Amarah Valeria kembali memuncak. Ia berdiri. Kian pun ikut berdiri dan berkata, "Lo mau apa?"
"Gue mau labrak dia," kata Valeria, suaranya dipenuhi dendam.
"Jangan," Kian menahannya. "Lo harus tenang, Valeria. Tapi kalau lo mau nyamperin dia, gue ikut."
Valeria mengangguk. Mereka pun mulai berjalan menuju kelas Risa. Sesampainya di sana, mereka mencari dan bertanya kepada teman sekelas Risa. Namun, mereka mendapat jawaban yang sama. "Risa tidak masuk sekolah hari ini."
Dengan Risa yang tidak masuk sekolah, mereka tidak bisa meluapkan amarah dan menuntut penjelasan.
Valeria mengepalkan tangannya. "Sialan! Terus gimana, Kian? Gue harus apa? Gue malu."
Kian meraih tangannya dengan lembut. "Dengarkan gue, Valeria. Jangan malu. Sebelumnya, lo tidak tahu kebenarannya, dan itu wajar. Fara dan Risa memang niatnya mau bikin lo kayak gini, salah paham. Tapi sekarang lo tahu kebenarannya, jadi lo nggak perlu merasa malu. Anggap bisik-bisik mereka itu angin lalu. Jangan dengerin."
"Terus sekarang gimana?" tanya Valeria, suaranya bergetar.
"Kita harus balik ke yang lain. Kita kasih tahu mereka yang sebenarnya," jawab Kian. "Kita lurusin semua. Kita bilang kalau Aluna nggak bersalah. Sekarang, kita harus fokus gimana caranya balas perbuatan Risa dan Fara."
Valeria mengangguk, matanya masih berkaca-kaca. Ia merasa sedikit lega, tetapi rasa malu itu belum hilang sepenuhnya.
"Ayo," ajak Kian. "Kita cari mereka. Kita selesaikan ini sama-sama."
"Iya," jawab Valeria.
Reuni dan Rencana Balas Dendam
Revan, Liam, Damian, Keira, Naila, dan Aluna sedang duduk di koridor, menunggu dengan gelisah. Tiba-tiba, mereka melihat Valeria berjalan bersama Kian. Mereka semua berdiri. Keira dan Naila segera menghampiri Valeria dan memeluknya.
"Val, lo ke mana aja?" tanya Keira, suaranya penuh kekhawatiran. "Gue sama Naila khawatir banget!"
"Iya, kita cari lo ke mana-mana," tambah Naila. "Untung Kian nemuin lo. Kita nggak percaya gosip itu, Val. Jangan dengerin, ya."
Valeria membalas pelukan mereka, dan air matanya kembali mengalir, kali ini air mata kelegaan. Ia merasa tidak sendirian lagi.
Setelah pelukan yang penuh emosi, Kian angkat bicara. "Valeria sudah tahu kebenarannya, bahwa Aluna tidak bersalah. Tapi ada yang ingin gue tanyain, Aluna. Berdasarkan pesan terkirim itu, waktunya sekitar jam 9 malam. Saat itu, lo lagi ngapain?"
Mereka semua menatap Aluna. Terasa tatapan yang menusuk padanya. Aluna membalas, "Gue... gue lagi makan malam. Waktu itu Fara datang, dia nanya gue udah makan apa belum. Dia bilang ada makanan di meja makan, dan gue jawab belum.
Terus Fara nyuruh gue buat makan. Gue keluar dari kamar dan ke meja makan, lalu mulai makan. Tapi setelah gue selesai, gue lihat Fara megang ponsel gue. Gue nggak tahu apa yang dia lakuin. Gue minta ponsel gue balik tapi Fara nggak mau ngasih. Terus tiba-tiba Revan nelpon."
Revan kaget. "Jadi yang angkat telepon gue Fara? Dan saat itu Fara ada di rumah lo? Kok lo nggak bilang, Aluna?"
Aluna menunduk. "Fara ngancam gue bakal hancurin hidup gue. Waktu lo nelpon, Fara yang angkat dan gue disuruh ngomong, dan nggak boleh bilang kalau dia ada di rumah gue."
"Astaga, Aluna," kata Revan.
"Maaf," lirih Aluna.
Damian menimpali, "Tapi gue dan Revan ke rumah lo, mantau situasi. Tapi kita nggak menemukan apa pun."
"Apa kalian kerumah gue?" tanya Aluna.
"Iya, bentar. Nggak lama, ada satu jam-an," jawab Damian.
Kian mengangguk. "Jadi udah jelas Fara ada di balik ini, dan Fara otak dari masalah ini. Dia menyuruh Risa untuk menyebarkan gosip. Bisa jadi Aluna lah yang diminta untuk menyebarkannya, tapi Aluna menolak, jadi dia minta kepada Risa. Iya, kan, Aluna?"
Aluna mengangguk, mengiyakan.
"Aluna, apa Fara mulai tinggal sama lo atau hanya mampir aja tadi malam?" tanya Kian lagi.
Aluna menatap Kian dan berkata, "Menginap. Fara mulai menginap di rumah gue. Mama hubungi tante gue dan nyuruh Fara untuk tinggal sama gue. Dia sampai bawa dua koper ke rumah gue. Gue sempat hubungi mama gue, tapi nggak aktif, jadi gue nggak bisa nolak atau ngusir dia."
Revan menatap Aluna dengan iba. "Aluna..."
Melihat tatapan khawatir Revan pada Aluna, Valeria berkata, "Maaf, Aluna. Gue udah marah dan teriak sama lo. Gue juga udah dorong lo."
Aluna membalas, "Nggak apa-apa, Valeria. Itu bukan salah lo. Ini salah gue, karena gue nggak berani melawan Fara. Lo jadi korbannya."
Valeria kemudian mendekati Aluna dan memeluknya. Mereka pun berpelukan.
Revan berkata, "Kalian berdua nggak salah. Kalian cuma korban. Yang salah adalah Fara dan Risa. Kita harus temuin Risa sekarang dan minta penjelasannya."
Kian angkat bicara. "Gue dan Valeria udah ke kelas Risa, tapi Risa nggak ada. Gue tanya sama teman sekelasnya, katanya dia nggak masuk."
Revan mengepalkan tangannya. "Sialan, dia cerdik."
Di Rumah Risa
Sementara itu, di sebuah rumah cukup mewah, Risa sedang menelepon Fara. Ponsel Fara berdering. Ia mulai mengangkatnya.
"Gue udah sebarin dan katanya di sekolah jadi heboh," kata Risa. "Valeria dan Aluna dikabarkan bertengkar. Valeria bahkan mendorong Aluna."
"Lo tahu dari mana?" tanya Fara.
"Informan gue," jawab Risa. "Sekarang gue minta bayarannya secepatnya."
"Oke," kata Fara. "Gue kirim langsung 100 juta."
Bersambung....