Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 Budi Rempong
Arjuna melangkah gontai menyusuri lorong Kos Berkah. Malam sudah sepenuhnya turun, dan lampu-lampu neon di sepanjang lorong memantulkan bayangan panjangnya di lantai. Pikirannya masih terasa penuh, sebuah film berisi adegan-adegan kontras yang diputar ulang tanpa henti: tatapan merendahkan para mahasiswa UNG, jeritan kesakitan para preman di gang sempit, dan pertanyaan besar tentang takdir yang kini membebani pundaknya.
Saat ia mendekati area depan, suara tawa dan petikan gitar yang sumbang namun ceria menyambutnya. Di atas sebuah bale-bale bambu di depan kamar Budi, keempat teman barunya sedang berkumpul. Budi memegang gitar, Gofar menggambar sesuatu di buku sketsanya, sementara Ucup dan Toni asyik bermain catur di atas sebuah kardus.
Melihat kedatangan Arjuna, Budi langsung berhenti memetik gitarnya.
"Wih, pengelana kita sudah kembali!" serunya dengan nada riang. "Akhirnya pulang juga lo, Jun! Kita pikir lo nyasar sampai Monas terus diangkat jadi tugu gantinya."
Toni dan Ucup mendongak dari papan catur mereka, sementara Gofar tersenyum dari balik buku sketsanya. Kehadiran mereka yang hangat terasa seperti oase setelah seharian penuh badai.
"Gimana, Jun? Seharian keliling kota?" tanya Toni, suaranya terdengar lebih ramah dari biasanya. "Kaget nggak lihat Jakarta?"
Arjuna berhenti di depan mereka. Ia mencoba tersenyum, meski rasanya sedikit kaku. Matanya menatap satu per satu teman-temannya, orang-orang baik yang tidak tahu apa-apa tentang hari yang baru saja ia lalui. Mereka bertanya tentang perjalanannya keliling kota, sebuah pertanyaan yang begitu sederhana. Namun bagi Arjuna, hari ini adalah perjalanan melintasi dua dunia.
Ia menarik napas pelan, semua pengalaman—rasa sakit, takut, kebingungan, kekuatan, dan kesadaran baru—berkumpul menjadi satu.
"Luar biasa," jawab Arjuna.
Hanya dua kata itu yang keluar dari mulutnya. Suaranya tidak keras, cenderung pelan, namun mengandung bobot yang aneh. Matanya menatap lurus ke depan, seolah melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh teman-temannya.
Budi tertawa keras, tidak menangkap kedalaman di balik kata itu. "Hahaha, kan, apa gue bilang! Jakarta itu emang luar biasa! Bikin pusing, bikin takjub, semuanya campur aduk!"
Ucup membetulkan letak kacamatanya. "Luar biasa pusingnya kali lihat ongkos angkot sama harga makanan," timpalnya dengan gaya datarnya yang khas.
Hanya Gofar, si seniman, yang sedikit menyipitkan matanya. Ia menangkap getaran yang berbeda dari nada suara Arjuna. "Luar biasanya kayak gimana nih, Jun?" tanyanya sambil berhenti menggoreskan pensil. "Luar biasa yang bikin lo pengen cepat kaya, atau luar biasa yang bikin lo pengen cepat pulang kampung?"
Arjuna hanya tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Gofar. Sebuah senyum yang sulit diartikan. "Dua-duanya, mungkin, Mas," jawabnya mengambang. "Maaf, saya capek sekali hari ini. Mau istirahat dulu."
Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Arjuna mengangguk pada teman-temannya dan melanjutkan langkah menuju kamarnya di ujung lorong.
Keempat temannya menatap punggung Arjuna yang menjauh dengan sedikit kebingungan.
"Aneh," gumam Toni. "Kayak bukan habis jalan-jalan biasa."
"Mungkin dia syok budaya," kata Ucup. "Wajar."
"Bukan," kata Gofar pelan, matanya masih menatap ke arah pintu kamar nomor 13 yang baru saja tertutup. "Itu bukan tatapan orang yang syok budaya. Itu tatapan orang yang baru saja melihat dunia yang benar-benar berbeda."
Di dalam kamarnya, Arjuna menyandarkan punggungnya di pintu yang tertutup. Ia mendengar suara tawa teman-temannya dari kejauhan. Mereka begitu dekat, namun terasa begitu jauh. Hari ini ia memang melihat dunia yang luar biasa.
Dua hari berlalu begitu cepat. Bagi Arjuna, waktu terasa berjalan dengan kecepatan yang berbeda. Siang hari ia habiskan untuk bekerja serabutan apa saja yang bisa ia temukan—membantu di warung makan, mengangkat barang di toko kelontong—demi menambah pundi-pundi rupiahnya yang menipis. Malam hari, seluruh energinya tercurah pada tumpukan materi dan contoh-contoh soal yang berhasil ia unduh dari warnet. Ujian saringan masuk beasiswa Universitas Nusantara Global tinggal menunggu hitungan jam.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Arjuna duduk di bale-bale bambu bersama teman-teman barunya. Namun, ia tidak ikut dalam obrolan mereka. Di pangkuannya, tergeletak beberapa lembar kertas berisi rangkuman rumus matematika dan kosakata bahasa Inggris yang rumit. Cahaya dari lampu neon lorong menjadi penerang seadanya.
"Sumpah, gue kira tadi dosennya bakal sadar kalau gue tidur sambil mangap," cerita Budi, mengundang tawa dari yang lain. "Untung posisi duduk gue strategis, ketutupan badannya si Toni."
"Enak aja lo! Pantesan pundak gue pegel sebelah!" sahut Toni sambil melempar kulit kacang ke arah Budi.
Arjuna hanya tersenyum tipis tanpa mengangkat kepala. Pikirannya tenggelam dalam barisan angka dan huruf di hadapannya. Berkat kekuatan cincinnya, materi yang seharusnya butuh waktu seminggu untuk dipelajari seolah meresap ke otaknya dalam hitungan jam. Konsep-konsep sulit menjadi mudah dipahami, dan ia bisa menghafal puluhan kata baru hanya dengan membacanya beberapa kali. Ini adalah keajaiban lain yang ia syukuri dalam diam.
Suasana riuh rendah itu tiba-tiba sedikit berubah. Dari tangga yang menghubungkan ke lantai dua—area khusus wanita—turun dua orang mahasiswi yang hendak keluar.
"Wih, wangi melati, nih!" celetuk Budi, matanya langsung berbinar.
Salah satu dari mahasiswi itu, yang mengenali Budi, hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
Swiiit-swiiiuuu!
Budi bersiul jahil. "Makin cantik aja, Kak Ranti! Mau kemana nih, malam mingguan?"
"Ada aja kamu, Bud! Mau cari makan, laper!" jawab gadis bernama Ranti itu sambil tertawa.
"Sama abang aja atuh makannya, neng!" timpal Budi lagi, yang hanya dibalas dengan lambaian tangan saat kedua gadis itu menghilang di ujung lorong.
Kejadian seperti itu terus berulang. Lantai dua memang cukup ramai, dan para penghuni wanita seringkali harus melewati mereka saat hendak naik atau turun. Budi, sebagai "ketua panitia penyambutan," tak pernah absen melontarkan sapaan atau siulan jenaka setiap kali ada gadis yang ia kenal lewat. Gofar sesekali menimpali dengan gombalan puitisnya, sementara Toni dan Ucup lebih sering menjadi penonton yang tersenyum geli.
Di tengah semua gangguan itu, Arjuna tetap tak bergeming. Dunianya seolah tereduksi menjadi selembar kertas di pangkuannya. Ia begitu terhanyut dalam pelajarannya hingga suara riuh di sekitarnya terdengar seperti dengungan latar yang jauh.
"Gila si Arjuna," bisik Toni pada Ucup, cukup pelan agar tak terdengar oleh Arjuna. "Fokusnya kayak biksu lagi meditasi. Cewek secantik Ranti lewat aja dia nggak noleh."
Ucup membetulkan kacamatanya. "Ambisiusnya tinggi. Jarang ada anak sekarang yang kayak gitu. Dia tahu persis apa yang dia mau."
Tiba-tiba, Budi terdiam. Siulannya berhenti. Teman-temannya yang lain ikut terdiam, menatap ke arah tangga. Seorang gadis turun dari lantai dua. Dia berbeda dari yang lain. Rambutnya panjang tergerai, langkahnya anggun, dan wajahnya memancarkan aura dingin yang membuatnya tampak sulit didekati. Dia adalah tipe gadis yang bahkan seorang Budi pun segan untuk menggodanya.
Gadis itu melirik sekilas ke arah kerumunan mereka dengan tatapan datar sebelum melanjutkan langkahnya.
"Ciyee... bidadari kos turun gunung," bisik Gofar, lebih pada dirinya sendiri.
Bahkan di tengah keheningan yang tak biasa itu, Arjuna tetap menunduk. Jarinya menelusuri sebuah rumus kalkulus, pikirannya bekerja keras memecahkan sebuah soal latihan. Baginya saat ini, hanya ada satu hal yang penting: ujian dua hari lagi. Itu adalah gerbang menuju takdirnya, dan ia tidak akan membiarkan apa pun, bahkan seorang bidadari sekalipun, mengalihkan fokusnya.
biar nulisny makin lancar...💪