NovelToon NovelToon
MANTAN TENTARA BAYARAN: SEORANG MILIARDER 2

MANTAN TENTARA BAYARAN: SEORANG MILIARDER 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Mata-mata/Agen / Trauma masa lalu / Action / Crazy Rich/Konglomerat / Kaya Raya / Balas Dendam
Popularitas:11.7k
Nilai: 5
Nama Author: BRAXX

Setelah menumbangkan Tuan Tua, James mengira semuanya sudah selesai. Namun, di akhir hidupnya, pria itu justru mengungkapkan kebenaran yang tak pernah James duga.

Dalang di balik runtuhnya keluarga James bukanlah Tuan Tua, melainkan Keluarga Brook yang asli.

Pengakuan itu mengubah arah perjalanan James. Ia sadar ada musuh yang lebih besar—dan lebih dekat—yang harus ia hadapi.

Belum sempat ia menggali lebih jauh, kemunculan lelaki tua secara tiba-tiba:
Edwin Carter, penguasa Pulau Scarlett yang ternyata adalah ayah kandung Sophie.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MARKAS

Senter-senter menyala. Para pria itu mengarahkan cahaya mereka ke seluruh ruangan yang setengah jadi, rangka baja dan kain terpal yang tergantung.

"Siapa di sana?" bentak pria berkepala botak itu.

Tidak ada jawaban. Hanya derit logam di atas sana, dan desiran angin yang masuk lewat jendela-jendela pecah.

Lalu—

Buk.

Para lelaki itu menoleh ke arah suara tersebut. Salah satu dari mereka tergeletak di lantai, senter yang ia pegang berguling menjauh, cahayanya berkelip mengenai tangan yang terkulai.

"Bangun," desis salah satu yang lain, panik mulai merembes ke nadanya. Tapi pria itu tidak bergerak.

Dari sisi paling jauh ruangan, sebuah suara terdengar, "Satu kesalahan... satu per satu."

Pria botak itu menggertakkan giginya. "Perlihatkan dirimu!"

Suara lain—bruk! Sebuah perancah bergetar, dan salah satu preman lain lenyap, diseret ke dalam bayangan dengan erangan tercekik. Senter miliknya jatuh, berputar-putar sebelum padam.

"Bos! Dia—dia menjatuhkan kita satu per satu!" salah satu pria yang tersisa tergagap, mengarahkan senternya ke segala arah dengan panik.

Dum. Lelaki ketiga tumbang, wajahnya menghantam debu.

"Jangan berpencar! Jangan—" perintah pria botak itu terhenti ketika salah satu anak buahnya terangkat dari tanah, diseret ke atas dan hilang, cahaya senternya lenyap. Sebuah dentuman terdengar ketika tubuhnya jatuh entah di mana.

Napas para pria yang tersisa menjadi kacau.

Duk. Satu lagi jatuh.

Dan satu lagi.

Hingga hanya satu sosok yang tersisa berdiri—si botak, senternya gemetar di tangannya. Ia berputar-putar, bayangan menari-nari, keringat mengilap di kulit kepalanya meski udara malam dingin.

Di sekelilingnya—sunyi.

Semua anak buahnya hilang.

Suara pria botak itu pecah ketika ia berteriak, "Si-siapaaa kau?! Keluar!"

Dari kegelapan, suara yang sama menjawab—lebih dekat sekarang, berbisik di telinganya:

"Kesalahanmu... adalah berpikir kau bisa membakar tempat ini sementara aku mengawasimu."

Dari balik bayangan, sebuah sosok muncul.

James.

Pria botak itu tersentak mundur, napasnya terhenti di tenggorokan. Tangannya hampir menjatuhkan senter. "K–kau..." suaranya pecah, "...kau yang di pom bensin itu..."

Tatapan James tak berkedip. "Ceritakan padaku... apa kau pernah melihat Reaper?"

Lutut pria botak itu melemas. Di sekelilingnya, anak buahnya tergeletak, tak sadarkan diri dan remuk tanpa setetes darah pun. Ia tahu—tak ada gunanya melawan orang ini. Ia ingat pom bensin sore tadi, bagaimana ia bisa kehilangan semua tulangnya jika keberuntungan tidak memihaknya.

James melangkah maju, kerikil berderak di bawah sepatunya. "Begini, botak... aku tidak suka bangunanku dibuat berantakan. Jadi sebelum aku membuat tempat ini menjadi berdarah, aku ingin satu nama."

Pria botak itu memejamkan mata, lalu membukanya lagi dengan air mata menggenang. Suaranya bergetar memohon, "Maafkan aku. Aku telah membuat kesalahan besar. Tolong... ampuni aku."

James memiringkan kepala, ekspresinya dingin. "Apa aku menyuruhmu minta maaf?"

Pria botak itu terkejut setelah mendengar ucapan James, lalu langsung menjawab dengan terbata-bata, "Namanya—Angelo. Dia pemimpin geng lokal... mengelola arena tarung bawah tanah. Dia menyuruh kami membuat tempat ini terlihat angker, membakarnya, supaya dia bisa membelinya dengan harga murah nanti. Dia—dia bahkan memberi kami uang di muka untuk melakukannya!"

Mata James menyipit, bibirnya terangkat dalam senyum sinis yang pahit. "Angelo... itu nama yang damai."

Pria botak itu menelan ludah, tubuhnya gemetar. "Aku sudah menceritakan semua yang aku tahu. Tolong... biarkan aku pergi."

James mengangkat bahu sedikit, melangkah mundur. "Apakah aku yang mengikatmu di sini? Kau boleh lari kalau mau."

Sejenak, secercah harapan muncul di mata si botak. Ia menjatuhkan senternya, berbalik, dan berlari ke arah pintu keluar. Sepatunya memukul lantai keras-keras. Kebebasan tinggal selangkah lagi—

Sampai seorang sosok gelap menghalangi jalannya.

James sudah berdiri di sana, tegak, seolah bayangan itu sendiri yang membawanya maju.

Pria botak itu membeku, wajahnya pucat pasi.

Suara James turun, "Apa kau benar-benar mengira aku akan membiarkanmu pergi tanpa luka? Karena... kau telah mengacaukan renovasiku."

Sebelum pria botak itu sempat bicara, tinju James menghantam rahangnya. Tubuh pria itu langsung roboh, tergeletak di lantai.

Lalu—bunyi sirene kepolisi Crescent Bay terdengar. Para petugas menyerbu lokasi, menemukan para pria tak sadarkan diri berserakan.

~ ~ ~

James menuruni tangga, ekspresinya melunak oleh aroma yang tercium dari dapur—roti hangat, bumbu goreng. Tanpa ragu, ia langsung masuk.

"Selamat pagi, Mama," sapanya, "Bagaimana keadaanmu sekarang?"

Sophie menoleh, "Selamat pagi, Nak. Mama merasa lebih baik. Bagaimana denganmu? Apa kau tidur nyenyak? Kau keluar semalam..."

Bibir James melengkung tipis, jawabannya tenang. "Aku hanya menghirup udara segar. Aku tidur dengan baik. Ngomong-ngomong—ada acara apa? Sarapan spesial hari ini, atau ada hal lain?"

Sophie terkekeh pelan. "Kupikir kau sudah tahu... Dion dan Flora akan datang untuk sarapan."

James mengangguk saat ingatannya kembali. "Ah, benar. Dion menyebutkannya kemarin. Apa kau butuh bantuan?"

Sebelum Sophie sempat menjawab, sebuah suara datang dari belakang. "Aku yang akan membantunya."

Julian masuk sambil menggulung lengan bajunya.

James tersenyum kecil. "Selamat pagi, Ayah."

"Selamat pagi, Nak," jawab Julian. "Kau jalani rutinitasmu—aku yang akan membantunya. Anggap saja ini latihan sebelum kita membuka restoran."

Sophie menggelengkan kepalanya sambil tertawa. "Kalian berdua..."

James membiarkan dirinya tersenyum jarang. "Kalau begitu, aku pergi dulu."

Ia melangkah keluar ke udara pagi yang sejuk.

Di taman Maple, gym terbuka yang baru dipasang di bawah matahari terbit. Batang Besi, tali, beban—semuanya tersusun rapi. James bergerak di ruang itu.

Saat ia kembali ke vila, suara tawa dan obrolan menyambutnya di ambang pintu.

Flora dan Dion sudah tiba, tangan mereka penuh dengan hadiah yang terbungkus rapi, menyerahkannya kepada Chloe dan Felix.

"Kalian sudah datang," sapa James sambil melangkah masuk.

"Kakak!" Felix berlari menghampiri, memegang sebuah kotak dengan mata berbinar. "Kak Dion dan Kak Flora membawakan kami hadiah!"

Chloe, masih setengah mengantuk, memeluk miliknya di dada sambil bergumam, "Teeerima kasih..."

James menyeringai tipis. "Kalian berdua berbincang saja dengan mereka. Aku kembali setelah mandi."

"Baik," kata Dion sambil mengangguk, lengannya melingkar santai di bahu Flora.

Saat sarapan, tawa dan obrolan memenuhi meja ketika Dion dan Flora mengumumkan tanggal pernikahan mereka.

Setelah Flora dan Dion berpamitan, tawa masih menggema di vila, James mengambil kemudi dan melaju menuju pinggiran Crescent Bay.

Kota perlahan menipis menjadi jalan-jalan terbuka dan hamparan lahan sunyi, hingga sebuah kompleks luas tampak di depan—markas perusahaan keamanan barunya.

Gerbang baja terbuka saat mobilnya mendekat. Para penjaga berseragam hitam rapi berdiri tegap di kedua sisi. Mereka membungkuk ketika James masuk.

Di sebelah kiri terbentang lapangan latihan luas—barisan pria dan wanita yang sudah bergerak. Sebagian bertarung jarak dekat, tinju beradu dalam serangan terkontrol; yang lain berlari melewati rintangan, tubuh melompati dinding dan melesat di atas penghalang dengan presisi bersih.

Di sebelah kanan terdapat area parkir luas, kendaraan hitam mengilap berbaris dalam formasi sempurna.

James memarkir mobilnya, ia turun, matanya menyapu sekeliling markas.

Di depan berdiri gedung dua lantai. Di dalam, lantai pertama terbuka ke gudang senjata—dinding dipenuhi senapan, pistol, perlengkapan taktis, dan kotak-kotak amunisi. Bagian terpisah menampung deretan loker berlapis baja, masing-masing berlogo Brook Enterprises.

Melalui pintu kedap suara terdapat lapangan tembak dalam ruangan. Bahkan sekarang, suara tembakan teredam terdengar, para penembak membidik sasaran, selongsong kuningan berkelontang ke lantai.

Di atasnya, lantai kedua menampung pusat komando operasi. Layar-layar besar menampilkan peta kota, umpan digital, dan pengawasan langsung dari berbagai titik. Meja panjang berada di tengah, sudah dikelilingi analis dan koordinator berpakaian gelap, mata mereka terpaku pada aliran data.

1
Noer Asiah Cahyono
lanjutkan thor
MELBOURNE: selagi nunggu bab terbaru cerita ini
mending baca dulu cerita terbaruku
dengan judul SISTEM BALAS DENDAM
atau bisa langsung cek di profil aku
total 1 replies
Naga Hitam
the web
Naga Hitam
kamuka?
Naga Hitam
menarik
Rocky
Karya yang luar biasa menarik.
Semangat buat Author..
Noer Asiah Cahyono
keren Thor, aku baru baca novel yg cerita nya perfect, mudah di baca tapi bikin deg2an🥰
MELBOURNE: makasihh🙏🙏
total 1 replies
Crisanto
hallo Author ko menghilang trussss,lama muncul cuman up 1 Bab..🤦🙏
Crisanto: semangat Thor 🙏🙏
total 2 replies
Crisanto
Authornya Lagi Sibuk..Harap ngerti 🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!