NovelToon NovelToon
Faded Lust

Faded Lust

Status: sedang berlangsung
Genre:Slice of Life / Penyesalan Suami / Selingkuh / Cintapertama / Tamat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Mga_haothe8

Lunara Angelita selalu percaya bahwa pernikahannya dengan Halden Nathaniel—pelukis jenius yang menjadi kebanggaan kota kecil mereka—adalah rumah paling aman yang pernah dimilikinya. Lima tahun bersama, lima tahun bahagia… atau setidaknya begitu yang ia yakini.

Hingga pada malam hujan yang sunyi, saat listrik padam, Luna tanpa sengaja menemukan sebuah kanvas tersembunyi di gudang. Dan di balik kain putihnya terpampang wajah perempuan yang seharusnya telah lama hilang dari hidup mereka—Karina, mantan kekasih Halden. Dilukis dengan detail yang hanya diberikan oleh seorang pria pada seseorang yang masih memenuhi hatinya.

Lukisan itu baru. Sangat baru.

Saat Luna menuntut kebenaran, Halden tidak berbohong—tetapi jawabannya jauh lebih menyakitkan dari pengkhianatan.

Melukis, katanya, bukan tentang siapa yang menemani hari-harinya.
Melainkan tentang siapa yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya.

Seketika dunia Luna runtuh.
Apakah selama ini ia hanya menjadi istri di ata

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Di Antara Pilihan dan Keberanian"

Pagi itu, Halden duduk sendirian di dalam mobilnya yang terparkir di basement kantor. Mesin sudah mati sejak lima belas menit lalu, tapi ia belum juga keluar. Ponselnya tergeletak di kursi sebelah, layar menyala menampilkan belasan pesan tak terbaca.

Semua dari Karina.

*“Aku nggak minta banyak.”*

*“Aku cuma minta kamu tanggung jawab.”*

*“Ini anak kamu, Halden.”*

Halden mengusap wajahnya kasar. Kepalanya penuh, dadanya sesak. Ia merasa seperti berdiri di tepi jurang—satu langkah ke depan, hidupnya runtuh; satu langkah ke belakang, ia tetap menjadi pengecut.

Ia akhirnya membuka salah satu pesan terbaru.

**Karina:**

*Kita harus ketemu hari ini. Aku nggak mau nunggu lagi.*

Halden memejamkan mata, lalu mengetik singkat.

**Halden:**

*Siang. Di tempat biasa.*

Balasan datang cepat.

**Karina:**

*Aku tunggu. Jangan kabur.*

Kata itu menusuk. *Kabur.* Seolah Karina tahu betul kelemahannya.

---

Di rumah sakit, Luna berdiri di depan wastafel ruang ganti, menatap bayangannya di cermin. Wajahnya tampak pucat, matanya sedikit cekung. Ia menarik napas panjang, mencoba menguatkan diri sebelum kembali ke bangsal.

Ketukan pelan terdengar di pintu.

“Na?” suara Nathan.

“Masuk,” jawab Luna.

Nathan berdiri di ambang pintu, matanya langsung mengamati Luna dari ujung rambut hingga wajahnya. “Kamu kelihatan capek.”

Luna tersenyum kecil. “Kayaknya itu kalimat favorit kamu sekarang.”

“Karena itu kenyataannya,” balas Nathan. Ia mendekat, menyerahkan sebuah kotak kecil. “Sarapan. Jangan bantah.”

Luna membuka kotak itu—roti gandum dan buah potong. Sederhana, tapi penuh perhatian.

“Kamu nggak harus begini,” ucap Luna pelan.

Nathan menatapnya lembut. “Aku mau.”

Luna terdiam. Ada getaran aneh di dadanya. Perhatian Nathan terasa berbeda akhir-akhir ini—lebih berani, lebih nyata. Bukan sekadar teman atau rekan kerja yang peduli.

“Na,” ujar Nathan hati-hati, “kamu bahagia nggak sekarang?”

Pertanyaan itu membuat Luna terdiam lama. “Aku… nggak tahu.”

Nathan mengangguk pelan. “Jawaban itu aja udah cukup jujur.”

Luna menatapnya. “Kenapa kamu nanya begitu?”

Nathan menarik napas. “Karena aku nggak bisa lagi pura-pura cuma berdiri di samping kamu tanpa berharap apa-apa.”

Jantung Luna berdegup kencang. “Nathan…”

“Aku tahu kamu punya hidup kamu sendiri. Aku tahu ada Halden,” lanjut Nathan, suaranya tenang tapi tegas. “Aku nggak mau jadi orang yang merusak. Tapi aku juga nggak mau bohong sama perasaan aku.”

Kejujuran itu membuat Luna tercekat. “Aku belum siap,” ucapnya lirih.

“Aku nggak minta kamu siap sekarang,” balas Nathan. “Aku cuma mau kamu tahu: aku di sini bukan karena kasihan, bukan karena kebiasaan. Aku di sini karena aku cinta kamu.”

Kata *cinta* itu menggema di kepala Luna. Ia memalingkan wajah, takut Nathan melihat air mata yang mulai menggenang.

---

Siang hari, Halden duduk berhadapan dengan Karina di kafe yang sama. Kali ini suasananya berbeda. Tak ada senyum, tak ada canda. Hanya ketegangan.

Karina meletakkan hasil USG di atas meja.

Halden menatap kertas itu dengan tangan gemetar. Ada bentuk kecil di sana. Nyata. Tak terbantahkan.

“Kamu lihat?” ujar Karina. “Ini bukan drama. Ini hidup.”

Halden mengangguk pelan. “Aku… aku bingung, Rin. Aku takut...”

“Jangan panggil aku Rin,” potong Karina dingin. “Kamu kehilangan hak itu.”

Halden terdiam. Rasanya seperti dihantam gelombang besar, bagaimana sekarang? Apa semua akan hancur disini?

“Apa rencana kamu?” tanya Karina tajam.

“Aku belum tahu,” jawab Halden jujur. “Aku punya istri. Hidupku—”

“—dibangun di atas kebohongan,” sela Karina. “Dan sekarang kamu mau apa? Nyuruh aku gugurin?”

“Enggak!” Halden langsung membantah. “Aku nggak akan pernah minta itu.”

“Terus?” Karina menyilangkan tangan. “Kamu mau aku melahirkan anak kamu tanpa ayah?”

Halden menunduk. “Aku bertanggung jawab. Finansial, apa pun itu.”

Karina tertawa pahit. “Kamu pikir ini cuma soal uang?”

Ia mendekat sedikit. “Aku jatuh cinta sama kamu, Halden. Aku bodoh, iya. Tapi aku nggak sendirian lagi. Ada dia.”

Karina menyentuh perutnya pelan.

“Kamu harus pilih,” lanjutnya tegas. “Aku atau Luna. Dan kali ini, jangan minta waktu.”

Kalimat itu menancap seperti paku.

---

Sore itu, Luna hampir menjatuhkan map pasien karena pikirannya melayang. Kata-kata Nathan terus berputar di kepalanya. *Aku cinta kamu.*

Ia belum pernah mendengar kata itu lagi sejak lama. Dari Halden pun, kata itu terasa hampa belakangan ini.

“Luna,” sapa seorang perawat.

Luna tersentak. “Iya?”

“Kamu dipanggil ke ruang konsultasi.”

Luna mengangguk dan berjalan, tapi langkahnya terasa berat.

Di ruang itu, Nathan sudah menunggu. “Maaf, aku ganggu,” ujarnya. “Aku cuma mau pastiin kamu nggak kenapa-kenapa.”

Luna duduk. “Aku baik-baik aja.”

Nathan menatapnya lama. “Bohong.”

Luna tertawa kecil, lelah. “Mungkin.”

Nathan mendekat sedikit. “Na, dengerin aku. Apa pun yang kamu putusin nanti—bertahan, pergi, atau diam—pastikan itu bukan karena kamu takut sendirian.”

Luna menatapnya. “Kenapa kamu baik banget sama aku?”

“Karena aku lihat kamu,” jawab Nathan pelan. “Bukan cuma sebagai istri seseorang, bukan cuma dokter hebat. Tapi sebagai perempuan yang berhak dicintai dengan jujur.”

Kata-kata itu seperti membuka retakan di dinding pertahanan Luna.

---

Malam hari, Halden pulang dengan kepala penuh. Luna sedang duduk di ruang tamu, membaca buku. Ia menoleh.

“Kamu pulang larut lagi,” ujar Luna.

Halden mengangguk. “Hari ini berat.”

Luna menutup bukunya. “Kita bisa ngomong?”

Jantung Halden berdegup kencang. “Tentang apa?”

“Entah,” jawab Luna. “Tentang kita, mungkin.”

Halden duduk di seberangnya. Hening menyelimuti mereka.

“Halden,” ucap Luna pelan tapi tegas, “aku ngerasa ada sesuatu yang kamu sembunyiin.”

Halden tercekat. “Kenapa kamu mikir gitu?”

“Karena aku kenal kamu,” jawab Luna. “Dan akhir-akhir ini, kamu nggak jujur.”

Halden menunduk. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ingin rasanya berkata jujur, mengakhiri semuanya malam itu juga. Tapi bayangan kehancuran membuatnya bungkam.

“Aku cuma stres kerja,” katanya akhirnya.

Luna tersenyum kecil. Senyum yang rapuh. “Kalau suatu hari aku tahu kebenaran dari orang lain, bukan dari kamu… aku nggak tahu apa aku masih bisa memaafkan.”

Kalimat itu seperti vonis.

---

Di balkon kamar, Halden berdiri sendirian malam itu. Di tangannya, ponsel bergetar.

**Karina:**

*Aku kasih kamu waktu sampai besok. Setelah itu, aku akan datang ke hidupmu—atau ke hidup istrimu.*

Halden memejamkan mata. Napasnya berat.

Di kamar sebelah, Luna menatap langit dari balik jendela, tanpa tahu bahwa esok hari akan mengubah segalanya.

Sementara itu, Nathan duduk di apartemennya, memandangi ponsel dengan nama *Luna* di layar chat terakhir.

Ia tahu mencintai Luna berarti siap terluka.

Tapi untuk pertama kalinya, ia siap berjuang.

Karena cinta, baginya, bukan tentang memiliki.

Melainkan tentang keberanian untuk jujur.

Dan kejujuran—akan segera menagih harga dari mereka semua.

1
Telurgulung
lanjut atau end disini aja?
Yunie
akhirnya bisa bahagia... lanjut thor
Yunie
sedihnya jadi Luna
Yunie
alurnya menarik
Yunie
makin menarik
Siti M Akil
lanjut Thor
ayu cantik
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!