Maya, seorang mualaf yang sedang mencari pegangan hidup dan mendambakan bimbingan, menemukan secercah harapan ketika sebuah tawaran mengejutkan datang: menikah sebagai istri kedua dari seorang pria yang terlihat paham akan ajarannya. Yang lebih mencengangkan, tawaran itu datang langsung dari istri pertama pria tersebut, yang membuatnya terkesima oleh "kebesaran hati" kakak madunya. Maya membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, penuh dukungan, dan kebersamaan.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah tangga itu, realitas pahit mulai terkuak. Di balik fasad yang ditunjukkan, tersimpan dinamika rumit, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Mimpi Maya akan kehidupan yang damai hancur berkeping-keping. Novel ini adalah kisah tentang harapan yang salah tempat, pengkhianatan emosional,Maya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup ini tidak semanis doanya, dan bimbingan yang ia harapkan justru berubah menjadi jerat penderitaan.
kisah ini diangkat dari kisah nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 Babak Baru di Kamar Hotel
Maya melangkah keluar dari rumah Wawa, hawa panas kota terasa menyengat, kontras dengan dinginnya AC di dalam mobil Riski yang terparkir di tepi jalan. Dia membuka pintu mobil dan duduk tepat di samping kursi pengemudi. Pintu tertutup dengan bunyi 'klik' yang memutus hubungan Maya dengan kehidupan lamanya.
Riski menoleh sejenak, senyum tipis terukir di bibirnya, senyum seorang suami kepada istrinya. Maya membalas senyuman itu dari balik cadarnya. Kali ini, entah mengapa, Maya tidak terlalu canggung; cadar itu memberinya perisai, menyembunyikan rona merah di pipinya dan kegugupannya.
Sepanjang perjalanan menuju hotel, keduanya hanya diam saja. Keheningan itu bukanlah keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang penuh makna, di mana dua orang asing yang kini terikat dalam janji suci sedang memproses takdir baru mereka. Tiba-tiba, tangan Riski bergerak, meraih dan menggenggam erat tangan Maya. Sesekali, ia menatap ke arah Maya, matanya memancarkan rasa ingin tahu dan mungkin harapan.
Sementara Maya hanya menatap lurus ke depan, fokus pada jalan raya yang berputar di hadapannya. Pikirannya kalut. Ia bingung harus berkata apa, harus bersikap bagaimana. Hatinya masih beradaptasi dengan status barunya. Genggaman tangan Riski yang hangat itu terasa nyata, sebuah pengingat fisik bahwa ia tidak lagi sendirian, bahwa babak barunya sebagai Perempuan Kedua telah dimulai.
Beberapa menit kemudian, mobil Riski berhenti di depan sebuah hotel sederhana. Maya mengenali daerah hotel tersebut; ironisnya, ini masih di kotanya sendiri, tempat di mana ia meninggalkan masa lalunya beberapa bulan lalu. Meskipun begitu, Maya tetap diam, membiarkan Riski yang memimpin jalan.
Keduanya bersama-sama keluar dari mobil. Tapi saat tiba tepat di depan pintu masuk hotel, langkah Maya terhenti, kakinya terasa membeku di trotoar. Keraguan dan ketakutan kembali menyergapnya. Bagaimana jika petugas hotel meminta bukti identitas mereka sebagai suami istri? Pernikahan mereka baru saja terjadi secara siri, tanpa buku nikah resmi yang bisa ditunjukkan—sebuah kerentanan hukum yang nyata.
Riski yang sudah lebih dulu melangkah, merasakan ketiadaan Maya di belakangnya. Dia berbalik dan menghampiri Maya yang diam mematung tak jauh dari pintu masuk, wajahnya menunjukkan kebingungan.
"Kenapa berhenti, May? Ayo masuk," ajak Riski, nadanya tenang.
Maya mengangkat wajahnya yang tertutup cadar, matanya memancarkan kecemasan yang mendalam. Dengan bibir yang bergetar ia menjawab lirih, "Kalo mereka minta bukti kita beneran pasangan suami istri gimana?"
Riski tertawa sejenak, tawa yang ringan namun meremehkan, menertawai kepolosan istri keduanya yang tampak begitu lugu akan dunia seperti ini. Tawa itu sedikit meredakan ketegangan di hati Maya, tapi juga menyisakan sedikit rasa perih.
"Tenang saja, Maya," kata Riski meyakinkan. "Di sini tidak seribet itu. Mereka tidak akan meminta bukti identitas kita sebagai pasangan suami istri. Kamarnya sudah saya urus."
Maya mempercayai ucapan suaminya. Akhirnya, mereka berdua masuk ke dalam hotel, melangkah berdampingan menuju meja resepsionis, siap memulai babak pertama dari kehidupan pernikahan mereka yang penuh misteri.
Sampai di dalam kamar hotel sederhana itu, suasana canggung kembali melingkupi Maya. Ia semakin bingung harus bersikap apa, berdiri termangu di tengah ruangan, sementara Riski tampak santai dan terorganisir.
Kemudian, suara Riski menyadarkan Maya dari lamunannya. "Kamu nggak ganti baju, May? Kita sudah di dalam kamar, nggak perlu pakai cadar lagi."
Maya tersentak. Dengan terbata ia pun menjawab, "I-iya."
Maya kemudian berjalan ke arah koper miliknya, membuka koper tersebut dan hendak mengambil pakaian ganti.
Saat Maya mencari pakaian gantinya, Riski pun membuka koper miliknya sendiri. Ia mengeluarkan sesuatu dan memberikannya kepada Maya.
"Ini hadiah dari Umma Fatimah untuk kamu," ujar Riski datar. "Umma Fatimah nggak tahu ukuran baju kamu, kalau nggak cukup, nanti bisa dipermak di sana."
Maya menerima hadiah tersebut dengan seutas senyum tipis. Beberapa saat ia sempat lupa akan Umma Fatimah di tengah hiruk pikuk pernikahannya, tapi kini ia kembali lagi ingat kakak madunya tersebut, sosok yang keberadaannya begitu nyata.
Baru saja Maya akan menyimpan hadiah tersebut di kopernya, Riski kembali memberikan sesuatu kepada Maya. "Ini juga, May."
Riski menyerahkan satu papan obat kontrasepsi. Maya menatap bingung, jantungnya berdesir aneh ke arah obat yang kini sudah berpindah di tangannya.
Riski kemudian menjelaskan, "Itu namanya obat kontrasepsi, obat penunda kehamilan."
Mendengar hal tersebut, Maya semakin bingung, alisnya bertaut. Riski kembali menjelaskan, "Kata Umma Fatimah obat itu yang paling bagus. Fungsinya ganda, selain obat penunda kehamilan dia juga obat kecantikan, nggak akan bikin gemuk dan flek di wajah kalau konsumsi obat itu. Itu Umma Fatimah yang kasih."
Kebingungan kembali melanda Maya, dan kali ini disertai rasa sakit yang halus di hatinya. Dia tahu soal obat penunda kehamilan, tapi yang membuatnya bingung dan mulai meragu lagi adalah maksud dirinya diberikan obat itu. Dia teringat tentang alasan lain keduanya memilih berpoligami adalah ingin memperbanyak keturunan, seperti yang disampaikan Wawa dulu. Lalu kenapa sekarang Maya justru diberikan obat penunda kehamilan, dan parahnya lagi, Umma Fatimah yang memberikannya?
Perasaan tidak enak mulai menjalari tubuhnya, sebuah firasat dingin yang menusuk. Sebuah ketidakadilan yang samar mulai terasa. Meskipun begitu, Maya diam dan menerima obat tersebut tanpa bertanya lebih lanjut, menelan pil pahit keraguan pertamanya di pernikahan ini.
Riski kembali sibuk dengan isi di dalam kopernya, sementara Maya pun melakukan hal yang sama, tapi pikirannya melanglang buana, mempertanyakan kembali takdir yang baru saja ia pilih.
Maya memilih langsung pergi ke kamar mandi, mencari perlindungan di balik pintu terkunci dari kebingungan dan suasana canggung di kamar hotel. Di balik cermin kusam kamar mandi, ia menatap pantulan dirinya, pikirannya masih dipenuhi bayangan pil kontrasepsi yang menusuk. Entah apa maksud mereka memberikan obat tersebut, pikiran buruk mulai merayap di benaknya, bertentangan dengan janji awal pernikahan yang konon demi keturunan.
"Ya Allah, kuatkan aku," bisik Maya pada dirinya sendiri. Ia berusaha mengusir pikiran buruknya, membasuh wajahnya sejenak, lalu segera berganti baju dengan pakaian santai, dan memberanikan diri keluar dari kamar mandi.
Saat ia keluar, matanya langsung tertuju pada sosok Riski. Suaminya itu sudah berganti memakai pakaian santai, berbaring di kasur dengan menyandarkan setengah badannya ke sandaran kasur, sibuk memainkan ponselnya, tampak begitu santai, kontras dengan kegelisahan Maya.
Melihat Maya keluar dari kamar mandi, Riski langsung menghentikan aktivitasnya. Ia memanggil Maya, menepuk pelan kasur di sisinya, mengisyaratkan Maya untuk mendekat. "Sini, May."
Sini? Jantung Maya berdesir, berdebar-debar semakin kencang. Bagaimana aku harus bersikap? Apa yang akan dia lakukan?
Dengan langkah ragu dan gugup, Maya melangkah perlahan ke arah Riski, setiap langkah terasa berat. Debaran di dadanya kini tak hanya karena takut, tapi juga karena antisipasi yang tak terhindarkan, menanti babak baru yang akan terjadi di kamar hotel sederhana itu.
Bersambung...