Setting Latar 1970
Demi menebus hutang ayahnya, Asha menikah dengan putra kedua Juragan Karto, Adam. Pria yang hanya pernah sekali dua kali dia lihat.
Ia berharap cinta bisa tumbuh setelah akad, tapi harapan itu hancur saat tahu hati Adam telah dimiliki Juwita — kakak iparnya sendiri.
Di rumah itu, cinta dalam hati bersembunyi di balik sopan santun keluarga.
Asha ingin mempertahankan pernikahannya, sementara Juwita tampak seperti ingin menjadi ratu satu-satunya dikediaman itu.
Saat cinta dan harga diri dipertaruhkan, siapa yang akan tersisa tanpa luka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fakta 12
"Jika hanya begitu saja, aku juga bisa."
Shaaah
Semua mata langsung tertuju pada orang yang baru saja bicara tanpa sadar. Ya orang itu adalah Juwita.
Tanpa ia sadari mulutnya bicara demikian. Hal tersebut membuat semua orang yang ada di meja makan menatapnya seketika.
"Oh ya? Kalau begitu Bapak senang. Pekerjaan itu akan cepat selesai, nanti kalian berdua langsung datang ke ruangan untuk melanjutkan pekerjaan itu."
Juragan Karto langsung bicara seperti itu. Dia tahu bagaimana kemampuan Juwita, tapi jika Juwita bicara Demikian maka ia anggap bahwa menantu pertamanya itu ingin kembali mencobanya.
"Wah bagus sekali. Saya jadi tidak kesepian. Mohon bantuannya ya, Mbak. Mbak kan lebih dulu mengerjakan pembukuan itu. Kata Bapak, dulu mbak juga sudah pernah melakukannya, saya jadi merasa tenang karena ada yang lebih tahu daripada saya,"timpal Asha. Dia tersenyum cerah sambil menepuk kedua telapak tangannya.
"Oh, itu, anu, t-tapi hari ini aku tidak bisa, Sha. Maaf Pak, saya hari ini ada janji bertemu dengan Tante Nuri," sahut Juwita. Dia bicara dengan sedikit tergagap, seolah bingung dengan apa yang ingin disampaikan.
"Iya ya Ta, kamu katanya mau ketemu sama Tante Nuri. Bukannya sudah jauh-jauh hari kamu membuat janjinya,"sahut Bimo.
" Iya benar, Mas."
Asha hanya tersenyum simpul melihat tindakan dua sejoli ini. Mereka tampak sangat kompak dan seolah bisa membaca pikiran satu sama lain.
Yang Asha pernah dengar dari ayah mertuanya adalah bahwa Juwita pernah diminta juga untuk melakukan pembukuan itu tapi ternyata Juwita menyerah. Mungkin Juwita tidak tahu kalau Juragan Karto sudah bercerita kepada Asha tentang hal itu.
"Ya sudah kalau begitu berarti besok kamu bisa melakukannya bersama dengan Asha," ujar Juragan Karto.
"B-baik Pak."
Juwita tampak sekali tidak suka dan terpaksa berkata ya atas apa yang diperintahkan oleh ayah mertuanya.
Acara sarapan berakhir begitu saja. Adam berangkat ke kampus, dan Asha kembali melakukan pekerjaan. Sedangkan Juwita, dia pergi bersama supir. Dia yang awalnya tidak ingin pergi kemana-mana itu pada akhirnya harus pergi juga karena ucapannya sendiri.
"Tant," sapa Juwita ketika sampai di rumah adik dari ayahnya itu. Mereka melakukan peluk dan cium pipi kanan dan kiri.
"Eh Ta, tumben kamu kesini. Duduk dulu, wajah kamu kenapa kusut begitu?" Nuri mengernyitkan keningnya saat melihat wajah keponakannya yang tampak kurang baik itu.
"Iya, aku memang sedang kesal. Tante tahu kan istri Adam. Dia menyebalkan, aku sungguh tidak suka dengan dia. Baru dua hari menjadi menantu, tapi lagaknya seperti sudah lama saja."
Nuri mendengarkan sang keponakan dengan seksama. Yang dilihatnya kemarin, sepertinya tidak demikian. Asha memang terlihat berbeda tapi Nuri yakin Asha bukan wanita yang suka mencari muka.
"Kamu tidak salah bicara seperti itu? Tante rada dia gadis biasa?" tanggap Nuri.
"Ck, apa Tante sekarang lebih memihaknya? Padahal Tante sendiri tak tahu bagaimana keseharian dari wanita itu," sahut Juwita dengan nada kesal.
Nuri menghela nafasnya panjang. Dia Lalu menatap sang keponakan dengan lekat. Juwita telah ditinggal ibunya sejak kecil, ayahnya terlalu memanjakannya. Ketika berada di keluarga Darsuki, semua orang juga 0. Rupanya hal tersebut membuat Juwita sedikit manja.
"Bersikap akur lah terhadap iparmu, Juwita. Bagaimanapun juga dia akan jadi keluargamu, kalian akan hidup bersama. Bukan hanya untuk satu atau dua hari, melainkan untuk selamanya. Kecuali kalian pindah atau berpisah rumah." Nuri bicara demikian agar Juwita paham bahwa ia dan Asha adalah sama-sama menantu di keluarga Darsuki. Banyak hal yang akan dilakukan bersama, jad lebih baik untuk bersikap akur.
Kenyataan bahwa mereka sama-sama menantu merupakan hal yang pasti. Dan tidak ada gunanya juga untuk saling bermusuhan.
"Tidak aku tidak akan pergi dari rumah itu aku adalah menantu dari anak pertama maka rumah itu harus menjadi milik kami."
Reaksi dari Juwita sedikit membuat Nuri terkejut. Ia merasa keponakannya itu tengah berada dalam masa tersaingi karena adanya orang baru.
Sikap Juwita yang sedemikian membuat Nuri berpikir bahwa Juwita malah tidak bersikap dewasa.
"Sebenarnya kalau begitu, memangnya ada manfaatnya kah, Ta? Kamu lho sama Asha kan sama-sama menantu, mereka akan menganggap kalian berdua sama." Nuri masih berusaha untuk membuat Juwita mengerti.
"Tidak bisa, Tant. Aku dan Asha berbeda. Aku sudah lebih dulu datang ke rumah itu. Bahkan bapak dan ibu sudah menganggap ku seperti anak mereka sendiri. Pastilah kedudukanku lebih unggul di mata mereka ketimbang Asha. Bagaimanapun, Asha adalah bocah kemarin sore. Jadi, aku tidak suka jika dia merasa sok di rumah itu."
Haaaah
Nuri membuang nafasnya kasar. Usia Juwita bukan lagi belasan tahun, dia sudah di usia yang dewasa, seharusnya Juwita bisa juga bersikap dewasa. Tapi mendengar ucapan keponakannya itu, membuat Nuri yakin bahwa Juwita tengah bersikap kekanak-kanakan.
Alhasil Nuri memilih diam. Dia juga tidak bisa terlalu ikut campur urusan anak itu. Dirinya di sini hanyalah pihak luar yang hanya mendengarkan saja.
Hingga akhir, Nuri tak lagi menanggapi Perkataan Juwita yang isinya hanya kekesalan terhadap Asha.
"Aah rasanya lega setelah meluapkan apa yang ku rasakan. Ya sudah Tant, aku pamit mau pulang. Sudah menjelang sore juga ini," pamit Juwita.
"Baiklah, hati-hati di jalan. Salam untuk Bimo,"sahut Nuri.
Nuri melambaikan tangannya ketika Juwita melenggang pergi. Dia lalu masuk kembali ke rumah. Ternyata di pintu ada suaminya yang berdiri di sana.
Utomo, menatap datar ke arah mobi keluarga Darsuki yang melenggang pergi meninggalkan pekarangan rumahnya.
"Jika dia seperti itu terus, maka dia yang akan hancur sendiri. Keponakanmu sungguh bersikap tidak dewasa. Dia terlalu dimanja dan akhirnya begini."
Sedari tadi Utomo ada di rumah, karena ini adalah jatah liburnya, tapi dia enggan untuk keluar dan menemui Juwita.
"Yaah kamu benar, Mas. Dan aku sudah mencoba menasehatinya tapi ternyata hatinya begitu keras. Usianya sudah 22 tahun, jadi seharusnya dia juga sudah bisa berpikir dengan luas."
Nuri tidak tersinggung dengan ucapan Utomo karena dia cukup tahu bagaimana sikap Juwita. Dan yang dikatakan oleh Utomo benar bahwa Juwita tidak dewasa sama sekali, dimana hal itu nantinya malah akan menghancurkannya sendiri.
"Apa kamu tahu, Nur. Saat ini dia sedang merasa terganggu karena wilayahnya diganggu. Dia merasa datangnya Asha mengganggu daerah kekuasaannya yang selama ini dikuasainya. Sungguh, berat sekali menjadi menantu kedua keluarga Darsuki, harus menghadapi Juwita yang seperti ini,"imbuh Utomo.
Dia berani berkata dengan lugas terhadap keponakan istrinya karena memang itu lah faktanya. Dan Nuri, dia pun hanya mengangguk setuju atas ucapan suaminya yang sebenarnya sejalan dengan apa yang dia pikirkan.
TBC
Dam.. Asha ingin kamu menyadari rasamu dulu ya...
Goda terus Sha, kalian kan sudah sah suami istri