"Jangan lagi kau mencintaiku,cinta mu tidak pantas untuk hatiku yang rusak"
Devan,mengatakannya kepada istrinya Nadira... tepat di hari anniversary mereka yang ke tiga
bagaimana reaksi Nadira? dan alasan apa yang membuat Devan berkata seperti itu?
simak cerita lengkapnya,di sini. Sebuah novel yang menceritakan sepasang suami istri yang tadinya hangat menjadi dingin hingga tak tersentuh
Jangan lupa subscribe dan like kalo kamu suka alur ceritanya🤍
Salam hangat dari penulis💕
ig:FahZa
tikt*k:Catatan FahZa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tulisan_nic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hamil
Suara langkah tergesa masuk, disusul hembusan napas yang nyaris pecah.
“Nadira!”
Suaranya penuh panik dan rindu. Devan menghampiri setengah berlari, langsung memeluk tubuh istrinya yang duduk di ranjang.
Pelukannya erat, hampir seperti takut kehilangan sesuatu yang rapuh sekali.
“Syukurlah... syukurlah kamu selamat,berapa kali dalam beberapa hari ini betapa aku mencemaskanmu” bisiknya, suaranya pecah di tenggorokan.
Nadira memejamkan mata sejenak, wajahnya masih di dada Devan. Tangannya gemetar, tapi ia balas menggenggam jari suaminya.
“Aku cuma terbentur sedikit... jangan khawatir,” suaranya lirih, lemah tapi lembut.
Dari sisi ruangan, Henry berdiri membatu.
Matanya memandangi adegan itu,lelaki yang ia temui di restoran mewah itu, kini memeluk wanita yang selama ini menjadi inspirasinya.
Pelukis terkenal itu tiba-tiba merasa dadanya hampa.
Senyumnya mengerut pelan.
“Jadi... dia suaminya,” gumamnya nyaris tak terdengar.
Sebuah senyum getir muncul di bibirnya, tapi matanya basah. Ia mundur selangkah, menatap keduanya seolah menatap lukisan yang takkan pernah bisa ia sentuh.
Devan menoleh sebentar, baru sadar Henry ada di sana.
“Terima kasih Henry sudah menolong istri saya.”
Suaranya tenang
Henry mengangguk pelan, menelan kepedihan yang menggenang di matanya.
“Tak perlu berterima kasih. Justru aku yang seharusnya meminta maaf…karena aku istrimu jadi celaka,” katanya dengan senyum yang bahkan tak bisa menutupi retakan di nadinya sendiri.
"Mas,Henry ini yang nabrak mobil ku pas di lampu lalu lintas.Dia tidak sengaja karna pertama kalinya setelah pulang dari Paris baru ini dia berkendara" Nadira masih menggenggam jemari suaminya
"Iya sayang,Mas sudah mengenalnya.Dia ini pelukis terkenal yang karyanya akan mengisi 'Gala Estetika',Henry Callen"
Nama itu menggema di kepala Nadira seperti gema samar di lorong kosong.
Callen...
Ada sesuatu di balik nama itu,seperti fragmen masa lalu yang hampir pudar.
Keningnya berkerut halus. Ia mencoba mengingat, tapi masih tidak ada yang muncul.
Henry menatapnya,sorot matanya berubah lembut dan canggung sekaligus.
Nadira tersenyum tipis, tapi matanya tetap menyipit, berusaha mencari potongan ingatan yang hilang.
“Nama kamu... rasanya familiar,” gumamnya, setengah kepada dirinya sendiri.
Henry hanya tersenyum. “Mungkin karena karya saya pernah tampil di media,” ujarnya ringan, meski nadanya terlalu cepat untuk disebut santai.
Devan tak menyadari ketegangan kecil di udara. Ia menepuk tangan Nadira lembut.
“Henry ini yang lukisannya kamu bilang seperti punya jiwa,” katanya tanpa sadar melempar percikan yang membuat dada Henry kembali sesak.
Nadira menoleh, dan untuk sesaat, matanya bertemu dengan Henry.Ada sesuatu di sana...bukan cinta, tapi kenangan yang belum sempat tumbuh.Dan keduanya sama-sama tahu, itu bukan pertemuan pertama mereka.
"Kalau begitu aku pamit ya,sekali lagi mohon maaf atas kecelakaan ini"Henry tersenyum,senyum yang di paksakan.
"Tidak perlu merasa bersalah Henry,ini murni kecelakaan dan Istriku tidak ada luka yang serius.Aku berterimakasih karna sudah membawa langsung istriku ke rumah sakit ini"
"Sudah seharusnya aku membawanya kemari,aku pamit dulu ya...semoga lekas sembuh Nadira"lalu melambaikan pelan tangannya kepada Devan dan Nadira,yang di balas dengan anggukan pelan dari keduanya.
Henry melangkah keluar, sorot lampu lorong rumah sakit membias di matanya yang kini penuh luka.Dalam diam, ia tahu perempuan yang dulu menjadi awal perjalanannya… kini juga jadi alasan ia berhenti.
"Dia,alasan Devan tidak lagi menyentuh wine.Hal kecil yang menunjukkan betapa Devan sangat mencintai nya.Ternyata... Aku terlambat menemukannya" langkahnya pelan, menyusuri koridor rumah sakit dengan hati penuh kekecewaan.
***
"Sayang,apa yang sakit?"sambil menyodorkan gelas berisi air minum kepada Nadira.
"Tidak ada Mas,dahi ku saja...yang lain tidak ada.Hanya saja tadi waktu aku paksakan berdiri aku merasa tubuhku terasa lemas"Menyeruput sedikit air minum itu.
"Jangan paksakan dulu,kamu istirahat saja ya"
Belum selesai Devan menaruh gelas di atas meja, tiba-tiba
Nadira menutup mulutnya dengan punggung tangan... menahan rasa mual yang datang tiba-tiba. Napasnya terputus-putus, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
Devan segera berdiri, panik. “Hey, hey… kamu kenapa?” Ia meraih bahunya, wajahnya tegang, seperti seseorang yang takut menyaksikan sesuatu terulang.
Nadira berusaha bicara, tapi yang keluar hanya gumaman lemah,
“Aku… mual,Mas… pusing.”
Devan menurunkannya perlahan ke bantal, tangannya tak berhenti membelai rambut Nadira.
“Nafas… tenang, Dira. Aku di sini.”
Namun suaranya sendiri bergetar, penuh takut yang tak bisa disembunyikan.
Devan menekan bel panggil perawat, tapi matanya tetap tertuju pada Nadira,rasa cemas meliputi dirinya.
Suara langkah tergesa, perawat datang.
Devan mundur sedikit, masih menggenggam tangan istrinya erat-erat seolah genggaman itu bisa menahan waktu.
Cahaya lampu rumah sakit meredup lembut. Di luar, hujan turun pelan, seperti menenangkan langit yang ikut cemas. Nadira berbaring tenang. Devan duduk di kursi di samping ranjang, wajahnya masih pucat tapi sorot matanya tak pernah lepas dari istrinya.
Pintu terbuka pelan. Seorang dokter wanita masuk, membawa berkas hasil pemeriksaan.
“Pak Devan,” suaranya lembut tapi terukur. “Kami sudah memeriksa kondisi istri Anda. Tidak ada cidera serius akibat benturan.”
Devan menghela napas lega, tapi dokter belum selesai bicara.
“Namun,” lanjutnya, sambil tersenyum kecil, “ada hal lain yang mungkin Bapak belum tahu…”
Devan menatap bingung. “Maksudnya?”
Dokter menatap ke arah Nadira, lalu kembali menatap Devan.
“Istri Anda sedang hamil. Sekitar dua minggu usia kandungannya.”
Waktu seolah berhenti.
Devan terpaku, pupil matanya membesar, seolah otaknya menolak mencerna kalimat barusan.
Hening. Hanya detak mesin infus yang terdengar di antara jarak mereka.
Tangannya perlahan naik menutupi mulutnya.
“H-hamil?” suaranya nyaris berbisik, bergetar. “Dua minggu?”
Dokter mengangguk pelan, senyum hangat tersisa di wajahnya sebelum ia pamit meninggalkan ruangan.
Devan menunduk. Bahunya bergetar pelan,campuran antara syukur, cinta, dan pedih yang tak bisa diberi nama.
Ia meraih tangan Nadira, membelainya lembut.
“Sayang… kamu…” suaranya serak. “Kamu ngasih aku hidup baru.”
Nadira tersenyum air mata bahagia menyeruak begitu saja.
"Anak kita Mas,dia ada di rahimku sekarang"
"Iya sayang,dia cinta kita"
Air mata jatuh tanpa suara di punggung tangan Nadira.
Devan menunduk, mencium jemari istrinya yang dingin.
“Terima kasih,” bisiknya lirih.
“Setidaknya… aku sempat lihat alasan untuk tetap bertahan, meski sebentar lagi aku harus pergi.Tidak,aku harus tetap hidup,aku tidak mau Nadira menghadapi semuanya sendiri”bisik hatinya
Senyum samar muncul di ujung bibirnya. “Aku… akan jadi ayah.”sambil mengelus perut Nadira yang masih kempes.
Senyum Nadira semakin merekah,di sertai tangis tanpa suara.Devan menyusut air mata istrinya,menatapnya dengan penuh cinta.
Ia menunduk sebentar, menahan rasa yang bergulung di dada.Ia sadar, masih banyak yang belum ia berikan.
Masih ada seseorang yang butuh ia perjuangkan."Aku mau hidup lebih lama lagi" lirihnya dalam hati
*
*
*
~Salam hangat dari penulis 🤍