Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda
Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.
Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .
Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.
Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .
Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12
Di depan cermin, Alin berdiri menatap bayangannya sendiri. Rambut hitamnya terurai lembut di bahu, membingkai wajah dengan lipstik merah menyala yang tampak berani dan menggoda. Lingerie merah yang melekat di tubuhnya berkilau samar di bawah cahaya lampu kamar, mempertegas lekuk yang sengaja ingin ia pamerkan.
Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum kecil, campuran antara percaya diri dan kegelisahan. Tangannya menyusuri permukaan meja rias, merapikan sejumput rambut yang jatuh ke dada.
“Sebentar lagi dia pulang…” bisiknya lirih, menatap pantulan dirinya dengan tatapan yang penuh rencana.
Alin melirik jam dinding di kamar, jarumnya sudah menunjuk tepat pukul tujuh malam. Degup jantungnya makin cepat. Ia menggigit bibir bawahnya pelan, menahan senyum yang nyaris mekar.
“Mas Jodi…” bisiknya, suaranya nyaris seperti desahan lembut. “Kamu pasti gak bakal bisa berpaling malam ini.”
Ia terkekeh pelan, genit tapi berbahaya, lalu mengambil parfum dari meja rias dan menyemprotkannya di leher dan pergelangan tangan. Aroma manis itu memenuhi kamar, aroma yang sengaja ia pilih, aroma yang pasti Jodi suka. Malam ini, Alin tidak sekadar menunggu… ia sedang menyiapkan jebakan yang dibungkus dengan pesona..
Semakin lama waktu berlalu, semakin resah Alin dibuatnya. Ia mendengus kesal, tangan bersedekap di dada, lalu kembali berjalan mondar-mandir di depan jendela seperti singa betina yang kehilangan sabar.
“Mas Jodi… kenapa lama banget sih?” gerutunya dengan nada manja bercampur jengkel. Ia menyingkap tirai, mengintip ke luar, gelap, sunyi, hanya cahaya lampu halaman yang menyorot sepi.
Ia menggigit ujung kukunya, bibirnya mengerucut. “Jangan-jangan dia masih di rumah sakit…” gumamnya pelan, tapi nada suaranya berubah tajam, penuh curiga. Ada api kecil di matanya, antara rindu, cemburu, dan sedikit rasa takut kehilangan kendali.
Jarum jam sudah menembus angka delapan malam, tapi bayangan Jodi belum juga muncul di ambang pintu. Alin mendengus pelan, napasnya berembus cepat karena kesal yang mulai naik ke ubun-ubun.
Ia melangkah ke meja rias, meraih ponsel yang tergeletak di sana dengan gerakan sedikit kasar. Cermin di depannya memantulkan wajah cantik yang kini berubah tegang, mata berbinar, tapi sarat amarah yang ditahan.
“Baiklah, Mas Jodi…” bisiknya dingin sambil mengetik di layar. “Kalau mas gak pulang juga, jangan salahkan aku kalau malam ini mas tidur diluar..”
Lama Alin menunggu, tapi tanda centang di pesannya tetap satu. Tidak terbaca. Tidak dibalas.
Rasa kesal menjalari dadanya, panas, mendidih. Dengan napas tersengal ia menekan tombol panggilan, mendekatkan ponsel ke telinga.
Nada sambung berdentang lama,satu, dua, tiga kali, namun tak ada suara di ujung sana. Hanya keheningan yang membuatnya makin gusar.
“Astaga!” serunya sambil melempar ponsel ke ranjang hingga memantul ke ujung kasur.
Alin berdiri, jemarinya gemetar antara marah dan cemburu. “Mas Jodi! Kamu di mana sih?! Pesan gak dibaca, telepon gak diangkat! Katanya mau pulang cepat!” suaranya meninggi, bergetar oleh emosi.
Ia menatap bayangannya sendiri di cermin, cantik, tapi kini tampak berantakan. “Apa… sih yang bikin kamu betah banget dirumah sakit?” bisiknya pelan, namun tatapan matanya mulai berubah, tajam, curiga, dan penuh bara.
......................
Sementara itu di rumah sakit jiwa, Jodi sebenarnya sudah bersiap untuk pulang. Mantelnya sudah di tangan, kunci mobil di saku jasnya. Tapi entah kenapa, langkahnya terasa berat meninggalkan bangsal itu. Ada dorongan halus di dadanya, seperti bisikan samar yang menahan kepergiannya.
Ia menatap koridor panjang yang mengarah ke pintu keluar, tapi tubuhnya justru berbalik perlahan. Langkahnya bergema pelan di lantai dingin rumah sakit, menuju arah lain, arah ruang isolasi tempat Miranda dirawat.
“Sebentar saja,” bisiknya, seolah menenangkan dirinya sendiri. “Aku cuma ingin memastikan dia baik-baik saja.”
Namun jauh di dalam hatinya, Jodi tahu alasannya bukan sekadar profesional. Ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, perpaduan antara iba, rasa ingin tahu… dan sesuatu yang nyaris menyerupai keterikatan.
Sesampainya di ruang isolasi, langkah Jodi terhenti di depan kaca tebal yang membatasi dirinya dan Miranda. Cahaya redup dari lampu langit-langit membuat bayangan wajahnya menyatu dengan wajah Miranda di balik sana, seolah dua dunia yang terpantul tapi tak pernah bisa bersentuhan.
Miranda terbaring lemah di ranjang. Tangan masih terikat, rambutnya kusut menempel di pipi, matanya terpejam, dan di sisi ranjang masih tergantung selang infus yang menetes perlahan.
Jodi memandangi lama, jemarinya nyaris menyentuh permukaan kaca. “Kamu pasti lelah, ya…” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Dengan pelan ia menghembuskan napas pelan.
Tanpa diduga, kelopak mata Miranda perlahan terbuka. Tatapannya kosong, tapi hidup, seperti seseorang yang baru saja kembali dari tempat jauh. Tubuhnya menggeliat resah di atas ranjang, tali pengikat di pergelangan tangan dan kakinya bergeser, menimbulkan suara gesekan halus yang membuat dada Jodi mengencang.
“Mira…” gumamnya refleks.
Begitu melihat gerakan itu, Jodi segera menoleh ke arah pintu. “Suster! Cepat buka pintunya!” serunya dengan nada panik yang berusaha ia tekan.
Perawat yang berjaga langsung berlari, membuka kunci pintu ruang isolasi. Begitu pintu terbuka, Jodi melangkah masuk dengan cepat, langkahnya berat tapi mantap, mendekati Miranda yang kini mulai berusaha duduk meski terikat. Tatapan matanya tak lagi kosong, ada kegelisahan yang tajam di sana.
“Mas dokter… kenapa Mira diikat?” suara Miranda lirih, serak, nyaris seperti bisikan yang keluar dari tenggorokan kering. Tatapannya bergetar, penuh bingung dan takut.
Jodi menelan ludah, langkahnya melambat. “Kamu sempat melukai dirimu sendiri, Mira,” ujarnya lembut, berusaha menenangkan. “Kami hanya ingin memastikan kamu aman.”
Miranda menggeleng pelan, air matanya menetes tanpa suara. “Mira gak ingat apa-apa… tapi kenapa tangan dan tubuh Mira sakit…” suaranya pecah di ujung kalimat, penuh ketakutan seperti anak kecil yang baru tersadar dari mimpi buruk.
Jodi mendekat, lututnya menekuk sejajar dengan ranjang. “Tidak apa-apa, Mira. Sekarang kamu sudah aman. Aku di sini,” katanya, nada suaranya menurun, sementara matanya tak beranjak dari wajah Miranda yang perlahan mulai basah oleh tangis..
Dengan gerakan perlahan, Jodi mengangkat tangannya, mengusap air mata yang mengalir di pipi Miranda. Sentuhannya lembut, seolah takut membuat perempuan itu semakin rapuh.
Suara Miranda pecah di antara isak, “Sakit, Mas…” napasnya tersengal. “Mira mau pulang… Mira capek …”
Jodi menatapnya lama. Ada sesuatu di mata perempuan itu.
“Mira sabar ya,” bisik Jodi lirih, suaranya nyaris bergetar. “Kamu belum boleh pulang sekarang. Tapi aku janji, kalau kamu terus kuat, aku sendiri yang akan antar kamu pulang.”
Miranda memejamkan mata, bahunya bergetar menahan isak. Air matanya kembali jatuh satu per satu, membasahi bantal di bawah kepalanya. Dengan suara parau yang nyaris tercekik tangis, ia berbisik,
“Mas Dokter… jangan pergi… jangan tinggalin Mira… Mira takut…”
Nada suaranya memecah hening malam, begitu lirih namun penuh luka. Jodi tertegun, napasnya tercekat di tenggorokan. Ia menatap wajah Miranda yang kembali basah oleh air mata, wajah yang dibalik lelah dan luka, menyimpan ketulusan yang membuat hatinya goyah.
Pelan, Jodi meraih tangan Miranda yang masih terikat, menggenggamnya lembut di antara jemarinya sendiri.
“Aku gak akan ninggalin kamu, Mira,” ujarnya dengan suara rendah, hampir seperti janji yang diucapkan pada dirinya sendiri. “Selama aku di sini, kamu gak perlu takut lagi…”
Di balik kaca ruang isolasi, dua perawat yang berjaga saling pandang. Suara isak Miranda dan nada lembut dokter Jodi yang menenangkannya terdengar sayup-sayup dari balik pintu.
Perawat muda bernama Risa berbisik pelan sambil mencondongkan tubuh ke arah rekannya, “Kamu sadar gak sih, aku mulai iri sama Miranda.”
Rekannya, Winda, langsung menatap heran. “Iri? Serius kamu? Iri sama pasien gangguan jiwa?”
Risa hanya mengangkat alis, senyum kecil terbit di bibirnya. “Ya tapi lihat deh… dokter Jodi tuh lembut banget ke dia. Cara dia megang tangan Miranda barusan, aduh, bikin jantung ikut bergetar.”
“Dih, dasar kamu. Itu namanya profesional, Ris. Miranda itu pasiennya, jadi wajar kalau dokter Jodi perhatian.”
“Wajar apanya,” Risa mendengus pelan. “Aku udah lama kerja di sini, dan aku tahu gimana dokter Jodi bersikap ke pasien lain. Tapi ke Miranda? Beda. Ada sesuatu di matanya waktu dia lihat Mira barusan… kayak, tatapan orang yang jatuh cinta.”
Winda spontan melirik lagi ke arah kaca, melihat dokter Jodi yang masih menggenggam tangan Miranda dengan lembut.
Ia menelan ludah, lalu bergumam pelan, “Hm… mungkin kamu gak sepenuhnya salah.”
Risa terkekeh kecil, matanya tak lepas dari sosok dokter di dalam ruangan. “Aku cuma bilang apa yang kulihat, Win. Tatapan kayak gitu gak bisa dibohongi.”
“Hmmm… iya juga sih,” gumam Winda sambil menatap ke arah ruangan itu, matanya tak lepas dari sosok dokter Jodi yang masih duduk di sisi ranjang Miranda. “Tapi ngomong-ngomong, dokter Jodi itu udah nikah belum sih?”
Risa langsung mendecak pelan. “Ck… mana aku tahu. Dokter Jodi itu orangnya tertutup banget. Privasinya dijaga rapat kayak brankas rumah sakit.”
Winda menatap lagi ke balik kaca, nada suaranya merendah, tapi ada nada menggoda di sana. “Kalau dia udah punya istri, aku yakin deh… istrinya pasti bakal cemburu mati kalau lihat ini.”
Risa mengikuti arah pandangan Winda, dan seketika terdiam.
Di balik kaca itu, dokter Jodi terlihat mengelus lembut pucuk kepala Miranda, gerakannya pelan, penuh hati-hati, seolah menyentuh sesuatu yang rapuh. Tangan satunya masih menggenggam jemari Miranda yang kecil dan lemah, sementara tatapannya… tatapan yang tak lagi bisa disamarkan sebagai sekadar empati seorang dokter.
Winda berbisik lirih, nyaris seperti mengagumi pemandangan di hadapannya,
“Kalau bukan karena cinta, aku gak tahu apa yang bisa bikin laki-laki setulus itu sama perempuan yang bahkan gak ingat siapa dirinya.”
Risa menelan ludah pelan, matanya tak lepas dari pemandangan di balik kaca itu.
“Mungkin…” katanya pelan, suaranya seperti tertahan di tenggorokan. “Mungkin karena Miranda itu cantik. Coba aja dia gak gila…”
Ia berhenti sejenak, menatap wajah Miranda yang pucat namun tetap memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan, lembut, rapuh, tapi indah.
“Kalau dia normal,” lanjutnya lirih, “aku yakin, bukan cuma dokter Jodi yang jatuh hati. Semua laki-laki di rumah sakit ini pasti bakal ngelirik dia.”
Winda terkekeh kecil, tapi senyumnya samar.
“Iya, kamu benar Ris.. Kaya ada sesuatu di diri Miranda yang bikin orang pengen nyelametin dia, bukan sekadar kasihan.”
Risa menatap temannya, lalu kembali mengalihkan pandangan ke ruang isolasi.
Kini, dokter Jodi masih di sana, duduk diam sambil terus menggenggam tangan Miranda.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Beberapa sentuhan terasa lebih jujur dari seribu kata. Tapi kejujuran itu sering kali menyakitkan.”