NovelToon NovelToon
(Batas Tipis) CINTA & PROFESI

(Batas Tipis) CINTA & PROFESI

Status: sedang berlangsung
Genre:Trauma masa lalu / Cintapertama
Popularitas:382
Nilai: 5
Nama Author: Penasigembul

Dorongan kuat yang diberikan sepupunya berhasil membuat Marvin, pria dengan luka yang terus berusaha di kuburnya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang praktek seorang Psikolog muda. Kedatangannya ke dalam ruang praktek Bianca mampu membuat wanita muda itu mengingat sosok anak laki-laki yang pernah menolongnya belasan tahun lalu. Tanpa Bianca sadari kehadiran Marvin yang penuh luka dan kabut mendung itu berhasil menjadi kunci bagi banyak pintu yang sudah dengan susah payah berusaha ia tutup.
Sesi demi sesi konsultasi dilalui oleh keduanya hingga tanpa sadar rasa ketertarikan mulai muncul satu sama lain. Marvin menyadari bahwa Bianca adalah wanita yang berhasil menjadi penenang bagi dirinya. Cerita masa lalu Marvin mampu membawa Bianca pada pusaran arus yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana.
Ditengah perasaan dilema dan masalahnya sendiri mampukah Bianca memilih antara profesi dan perasaannya? apakah Marvin mampu meluluhkan wanita yang sudah menjadi candu baginya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penasigembul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 12

“Maaf saya terlambat.

Suara berat Marvin berhasil menembus indera pendengaran Bianca dan berhasil membuat wanita itu mengurungkan niatnya untuk pulang. Bianca membiarkan tasnya tergeletak begitu saja di meja kerjanya dan ia pun segera menghampiri kliennya. Bianca dapat melihat betapa kacau pria yang sudah berdiri di hadapannya, raut wajah yang terlihat memancarkan begitu banyak pikiran yang memenuhi kepalanya. Bianca tersenyum menanggapi permintaan maaf kliennya itu.

“Tidak masalah, Pak. Silahkan duduk dulu.” Ujar Bianca mempersilahkan orang yang sedari tadi ditunggunya.

“apa ada yang mau Bapak ceritakan?” tanya Bianca setelah bergabung duduk di hadapan Marvin, memerhatikan pria itu, ada kantung mata yang tercetak jelas di wajahnya, yang diduga Bianca jika kliennya ini mungkin kesulitan tidur semalam.

Marvin mengangguk, “begitu banyak pertanyaan yang muncul dan tidak bisa saya temukan jawabannya.”

“Apa Bapak bersedia untuk memberitahu saya pertanyaan seperti apa?” tanya Bianca lagi ketika Marvin hanya terdiam setelah mengucapkan pernyataannya barusan.

“Apa anda akan menemui orang yang selama bertahun-tahun mengabaikan, menolak, dan menuduh anda?” tanya Marvin, Bianca terdiam tidak langsung merespon karena terlihat sangat jelas masih ada yang mau dikatakan oleh pria di hadapannya itu. “Menemui orang yang menyalahkan anda bertahun-tahun? Apa anda akan bisa menemuinya?” suara Marvin kembali terdengar, kali ini seolah lebih memburu.

“Apa Bapak ingin menemui orang itu?” Bianca tidak langsung menjawab tetapi memberikan pertanyaan yang sekiranya dapat membantu kliennya untuk menemukan jawaban yang ia cari.

Marvin terdiam,menimbang apakah ia menginginkan pertemuan yang lebih dari kemarin, tapi ia sendiri tidak bisa, melihat mamanya saja membuat seluruh tubuhnya membeku. Ingatannya kembali ketika Febi meneriakinya sebagai kakak yang tidak bertanggungjawab, menyudutkan dirinya kalau ia adalah penyebab dan pembunuh adiknya, teriakan yang masih terekam jelas dalam pendengaran dan ingatannya.

“Saya tidak tahu saya menginginkannya atau tidak yang saya tahu saya tidak bisa melakukannya.” Marvin membuang nafas kasar ketika menjawab pertanyaan Bianca. Tatapannya kali ini tertuju pada deretan buku yang tersusun rapi di rak yang berada di samping sofanya.

“Menurut anda, mengapa anda tidak bisa melakukannya, Pak Marvin?” tanya Bianca, seperti biasa hanya ada suara penuh kelembutan di setiap kata yang keluar dari mulut wanita itu.

“Saya rasa saya tidak lagi sanggup disalahkan.” Kali ini suara Marvin terdengar sangat lemah, seperti memancarkan kelelahannya karena disalahkan. “Bukan hanya mereka yang kehilangan, bukan hanya mereka yang berduka. Saya pun merasakannya.” Lanjut Marvin suaranya terdengar memancarkan kesedihan yang tidak pernah ia suarakan sebelumnya.

Bianca bisa merasakan kesedihan yang selama ini disembunyikan pria itu sangat rapat, kesedihan yang bahkan mungkin tidak berani ia tunjukkan pada siapa saja, kesedihan yang dibalut sangat rapi oleh rasa bersalah. Bianca mengangguk perlahan, “Apa anda mau menceritakan kejadiannya?” tanya Bianca sangat hati-hati, Marvin mengangguk merespon pertanyaan Bianca.

“Jika di tengah cerita anda merasa tidak ingin melakukannya, anda bisa berhenti kapan saja.” Jelas Bianca sebelum Marvin memulai ceritanya. Marvin menarik nafas dalam seolah mempersiapkan dirinya.

Marvin menundukkan kepalanya, bayangan derasnya aliran sungai yang menghanyutkan adiknya, dinginnya air sungai dan udara malam yang harus dirasakan adiknya seorang diri membuat tubuhnya sedikit gemetar, ia berusaha meredam rasa itu dan menarik nafas dalam sebelum memulai ceritanya, “dua puluh satu tahun yang lalu,, adik saya meninggal karena hanyut di sungai, semua karena kelalaian saya yang lebih mementingkan sebuah bola.”” Marvin memulai ceritanya, suaranya sangat pelan, Bianca dengan sabar mendengarkan, meskipun Marvin sudah mengatakan hal itu sebelumnya. “Karena kejadian itu saya kehilangan adik saya satu-satunya.” Lanjutnya sambil menghela nafas, “ternyata sejak hari itu saya bukan hanya kehilangan adik saya, bertepatan dengan kepergiannya kasih sayang dan kehangatan di dalam rumah untuk saya juga pergi.” Sekali lagi helaan nafas terdengar, Marvin memejamkan matanya pelan, jemarinya mulai kembali ia tautkan satu sama lain dan mulai meremasnya.

Meski cerita Marvin sepenggal demi sepenggal, Bianca masih menunggu kliennya untuk menyelesaikan cerita dari luka yang menghimpit dirinya, Bianca percaya jika menceritakan masalah seseorang bisa mendapatkan kelegaan walau hanya sedikit.

“Saya tidak pernah lupa bagaimana air mata ibu saya terus mengalir membasahi pipinya, saya juga tidak bisa lupa tatapan menyalahkan yang terarah kepada saya seolah saya sengaja menjadi penyebab kematian adik saya.” Marvin membuka matanya, tatapannya nanar, kesedihan yang menyayat hati Bianca kembali terlihat dari sorot mata pria itu. “Ibu saya selalu mengatakan kalau sayalah penyebab dari kematian adik saya. Adik saya, Martha namanya, kehadirannya begitu dinantikan karena ibu sangat kesusahan ketika mengandungnya.” Kepala Marvin tertunduk ketika mengatakan hal tersebut, pandangannya terarah kepada lantai dibawahnya. “sejak saat itu ibu saya tidak berhenti menyalahkan, jika berhenti berarti dia sedang mengabaikan saya. Saya kehilangan ibu dan ayah juga, sampai sekarang.” kali ini Marvin mengucapkannya dengan terbata, mulai terdengar getaran dalam suaranya.

Setelah kalimat terakhirnya, suasana hening mulai meliputi ruangan konsultasi itu, tanpa sadar setiap kata yang Marvin lontarkan berhasil menyesakan dada Bianca. Menutupi perasaan yang membuat sesak itu sesekali Bianca mencoret-coret kertas di pangkuannya tanpa mengalihkan fokusnya dari Marvin. “Bagaimana dengan ayah anda?” tanya Bianca, suaranya tenang dan pertanyaan itu berhasil membuat Marvin mengangkat kepalanya menatap Bianca masih dengan sorot kesedihan yang sama, tapi sedetik kemudian pria itu mengalihkan pandangannya.

“Ayah saya tidak pernah benar-benar menyalahkan saya bahkan dia tidak pernah membahas kejadian itu lagi di hadapan saya, hanya saja ia terlalu sibuk dengan pekerjaan dan hanya ada untuk ibu saya. Mungkin bagi ayah, saya tidak pernah ada.” Jawaban Marvin membuat Bianca kembali menorehkan catatan pada kertas di pangkuannya, Bianca mulai bisa merasakan bahwa pria dihadapannya sudah kehilangan rasa dimiliki dan memiliki.

“Apa anda pernah mencoba berbicara dengan orang tua anda?” pertanyaan Bianca tiba-tiba membuat dirinya sendiri tersadar, seolah pertanyaan itu bukan hanya untuk Marvin tapi juga untuk dirinya. Marvin menggeleng mendengar pertanyaan Bianca.

“Sejak hari itu, tidak ada komunikasi antara saya dan mereka. Hanya ada kebencian untuk saya.” Ada penekanan ketika pria itu mengatakan kebencian.

“mengapa anda merasa hanya ada kebencian untuk anda?” tanya Bianca sambil menggarisbawahi kata kebencian yang tadi dilontarkan pria di hadapannya.

Marvin mengalihkan pandangannya, menerawang jauh. “Sampai saat ini Ibu saya tidak pernah seujung kukupun menunjukkan keramahan untuk saya, hanya nada ketus dan dingin yang tertuju untuk saya.” Ucap Marvin sambil mengingat suara Febi kemarin malam yang tidak juga pergi dari benaknya.

“Apa anda sempat bertemu ibu anda dalam waktu dekat ini?” tanya Bianca memastikan, sebelumnya pria ini mengatakan tidak bisa menemui tapi darimana ia berasumsi bahwa Ibunya masih sama seperti terakhir bertemu dengannya?

“kemarin malam, hanya sebentar dan tidak disengaja.” Jawab Marvin, Bianca mengangguk menandakan ia mengerti apa yang menjadi pemicu dari kedatangan pria di hadapannya hari ini.”Kemarin saya hanya ingin melihat ayah saya yang sedang sakit dari jarak yang aman.” Imbuh Marvin lagi.

“ketika diawal tadi anda mengatakan tentang bertemu seseorang, apakah yang anda maksud adalah orangtua anda?” Dengan suara yang tetap tenang Bianca kembali memastikan.

Marvin menatap Bianca lagi dan kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Bianca barusan.

“pertemuan seperti apa yang anda harapkan bisa terjadi?” Bianca kembali melontarkan pertanyaan.

“Saya tidak tahu, saya lebih berharap tidak ada pertemuan baik sengaja ataupun tidak sengaja.”

Bianca mengangguk menanggapi, Bianca mengerti mengapa bertemu dengan orangtuanya bisa memicu setiap luka dalam dirinya. Luka yang dialami pria ini bukan karena kematian adiknya tapi luka terbesarnya karena ia selalu merasa tidak pernah dianggap penting atau bahkan ada oleh kedua orangtuanya. Tidak ada salah satu dari orangtuanya yang memberikan diri mereka untuk berdiri bagi pria ini.

“Apa menurut anda saya harus menemui dan berbicara dengan mereka?” pertanyaan yang sebenarnya hanya Marvin yang bisa menjawabnya itu akhirnya ditujukan kepada Bianca, pertanyaan Marvin malah menggelitik hati Bianca, seolah mengingatkannya bahwa dia juga punya PR untuk berbicara dengan Bram.

Sebelum datang menemui Bianca, Intan menghubunginya untuk bertemu. Itulah penyebab pria dengan wajah datar dan dingin itu terlambat pada sesi yang ia dapatkan dengan susah paya. Ia ingin sekali menolak tapi ia tidak sampai hati melakukan hal tersebut kepada seseorang yang sudah sangat baik kepadanya.

Intan menyusulnya ke restoran yang berada di samping gedung tempat Bianca praktek, tantenya mengatakan agar Marvin mau melembutkan hati dan menegarkan diri untuk mau bertemu dengan orangtuanya, jika bertemu Febi begitu menyakitkan setidaknya Marvin bisa memikirkan kondisi Anton yang sedang sakit dan merindukannya.

“jawaban atas pertanyaan anda hanya ada pada diri anda, Pak Marvin. Apakah anda ingin menemui orang tua anda?” Bianca menjaga kata-katanya agar tidak menjadi jawaban yang subjektif karena pertanyaan Marvin sebelumnya berhasil menggelitik hatinya juga, jika itu dirinya mungkin bertemu bisa menjadi sesak yang tiada akhir, seperti yang terjadi padanya sejak Bram memutuskan untuk lebih sering berada di Jakarta supaya bisa lebih sering di rumah bersama istri dan putrinya.

“saya tidak tahu.” Akhirnya hanya jawaban itu yang diberikan oleh Marvin.

“Tidak apa-apa, Pak Marvin. Perlahan saja.” Balas Bianca, wanita itu melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit, sesinya akan berakhir sebentar lagi. “Mungkin bisa dimulai dengan langkah kecil seperti yang sudah anda lakukan sebelumnya, melihat dari jarak aman yang mampu anda lakukan, lalu secara bertahap menambah pertemuannya.” Jelas Bianca dengan sangat sabar dan masih dengan tenang. Setelah mengatakan hal tersebut dan memastikan kondisi Marvin sudah jauh lebih baik Biancapun menutup sesi hari itu.

“Terima kasih untuk hari ini Mbak Bianca.” Marvin mengangguk dan tersenyum tipis sebelum meninggalkan sofa dan menuju pintu keluar, senyum yang tidak begitu terlihat tapi mampu ditangkap oleh indera penglihatan Bianca, senyum yang sedikit mengurai lelah dalam diri Bianca.

Sebelum Marvin benar-benar meninggalkan ruangan Bianca, ia menyempatkan diri untuk melihat ruangan itu, sesuatu yang belum ia lakukan sejak hari pertama ia memasukinya. Pandangannya terpaku, untuk kedua kalinya penemuannya dalam ruangan itu mengejutkan dirinya. Marvin melihat sebuah bingkai foto kecil yang diletakkan di rak buku paling atas yang ada di ruangan itu. Foto yang membuatnya semakin yakin kalau Bianca adalah anak perempuan yang pernah dibantunya belasan tahun lalu.

Dengan cepat Marvin tersadar dan melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan itu, meninggalkan Bianca yang keheranan ketika melihat Marvin tidak berkedip memandangi foto kecilnya.

Marvin menyusuri parkiran sambil mengingat peristiwa 19 tahun lalu ketika ia membantu seorang anak perempuan yang sedang dirundung oleh teman-temannya, yang pasrah saja di dorong sampai jatuh dan tidak melawan sama sekali.

1
Tít láo
Aku udah baca beberapa cerita disini, tapi ini yang paling bikin saya excited!
Michael
aku mendukung karya penulis baru, semangat kakak 👍
Gbi Clavijo🌙
Bagus banget! Aku jadi kangen sama tokoh-tokohnya 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!