Aruna pernah memiliki segalanya — cinta, sahabat, dan kehidupan yang ia kira sempurna.
Namun segalanya hancur pada malam ketika Andrian, pria yang ia cintai sepenuh hati, menusukkan pisau ke dadanya… sementara Naya, sahabat yang ia percaya, hanya tersenyum puas di balik pengkhianatan itu.
Kematian seharusnya menjadi akhir. Tapi ketika Aruna membuka mata, ia justru terbangun tiga tahun sebelum kematiannya — di saat semuanya belum terjadi. Dunia yang sama, orang-orang yang sama, tapi kali ini hatinya berbeda.
Ia bersumpah: tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan mempercayai siapa pun lagi.
Namun takdir mempermainkannya ketika ia diminta menjadi istri seorang pria yang sedang koma — Leo Adikara, pewaris keluarga ternama yang hidupnya menggantung di antara hidup dan mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novia na1806, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 12 -- pria bertopeng
“Kau… tahu namaku?”
Nada suara Aruna bergetar, matanya menatap tajam, separuh curiga, separuh bingung.
Pria itu tidak langsung menjawab. Tatapannya masih tajam, namun tak lagi sekaku tadi — ada sesuatu yang berubah di sana, seperti cahaya samar yang hanya muncul sesaat.
Akhirnya ia bicara, suaranya pelan tapi jelas, “Tentu saja. Siapa yang tidak tahu putri tunggal keluarga Surya?”
Aruna menelan ludah pelan. “Oke, itu kedengaran agak menakutkan, sih,” katanya setengah bercanda, mencoba menutupi kegugupannya. “Tapi tunggu dulu—kau ngomong seolah kita pernah ketemu aja.”
“Pernah,” jawabnya datar.
Aruna membeku. “Hah? Kapan?”
Namun pria itu hanya menatapnya tanpa menjawab. Sekilas, angin malam yang masuk dari jendela kecil di koridor itu membuat helaian rambut Aruna bergoyang lembut, dan untuk sepersekian detik, mata pria itu menatapnya seolah sedang melihat seseorang dari masa yang jauh.
Aruna berdeham, mengibaskan tangannya di depan wajah pria itu. “Halo? Masih sadar, kan? Jangan-jangan kamu halu gara-gara kehilangan darah.”
Ia menatap luka di lengan pria itu dan bergumam, “Kayaknya mesti aku bawa ke ruang medis hotel, deh. Nanti beneran pingsan di sini.”
Namun sebelum ia bergerak, pria itu tiba-tiba menahan tangannya lagi. Sentuhannya dingin, tapi kuat. “Aku bilang, jangan panggil siapa pun,” katanya tegas.
Aruna mengerutkan dahi. “Kamu keras kepala banget, sih. Nih ya, kalau aku biarin, nanti lukamu infeksi. Aku bukan dokter, tapi aku tahu itu berbahaya!”
Tatapan pria itu melembut sedikit. “Kau tidak perlu khawatir tentang aku.”
Aruna mendengus. “Ya ampun, yang bilang khawatir siapa? Aku cuma nggak mau dituduh lari dari TKP kalau kamu pingsan!”
Sebuah suara rendah keluar dari balik masker itu — entah helaan napas atau tawa kecil. “Kau benar-benar cerewet,” katanya dengan nada datar, tapi ujung suaranya seolah menahan senyum.
“Cerewet?” Aruna menatapnya tak percaya. “Aku ini penyelamatmu, loh! Masa malah dikatain cerewet?”
“Terima kasih, Nona Surya,” jawabnya datar lagi.
Nada itu membuat Aruna makin kesal. “Ya Tuhan, kamu ngomongnya formal banget kayak robot. Aku bantu nolong, bukan ngelamar kerja.”
Aruna merogoh tas kecilnya, mencari sesuatu. “Tunggu bentar, aku punya plester luka kecil… eh, tapi luka kamu kebanyakan buat ditempel plester. Aduh, ini harusnya kamu dirawat, bukannya malah berdiri begini!”
Ia menatap pria itu dari ujung kepala sampai kaki. “Kamu tinggi banget, tau. Gimana sih bisa berdarah-darah begini tapi masih berdiri tegak gitu. Kamu kebal, ya?”
Pria itu menatapnya tenang. “Kau tidak takut sama sekali?”
Aruna mengangkat alis. “Harusnya aku takut, ya? Hmm… mungkin sedikit sih, tapi aku lebih takut kalau nanti ada staf hotel nemuin kamu pingsan di sini, terus aku dituduh pelakunya.”
Kali ini, pria itu benar-benar nyaris tersenyum. “Alasan yang menarik.”
“Ya jelas menarik,” Aruna menjawab cepat. “Aku ini orang baik, tahu. Tapi kamu jangan macam-macam, ya. Soalnya aku bisa teriak sekenceng-kencengnya kalau kamu tiba-tiba... eh, nyerang atau apa gitu.”
Pria itu hanya mengangguk pelan. “Aku tidak akan menyakitimu.”
“Ya, semoga aja bener,” Aruna menatapnya tajam, tapi kemudian mengembuskan napas panjang. “Sudahlah. Nih, aku balut lagi ya, biar darahnya nggak keluar.”
Ia mengeluarkan saputangan putih dari dalam tas, membalut lengan pria itu dengan hati-hati.
Tangannya gemetar, tapi matanya fokus.
“Eh, jangan banyak gerak!” katanya sambil menatap pria itu. “Lihat nih, aku udah bantu, masa kamu malah... gerak-gerak.”
Pria itu diam saja, membiarkan Aruna membalutnya. Pandangannya kini tak sekeras tadi, lebih tenang — tapi juga lebih dalam.
Ia memperhatikan setiap detail wajah gadis itu: mata besar yang jernih, bibir mungil yang terus mengoceh tanpa henti, dan cara tangannya bekerja dengan ketulusan aneh yang jarang ditemuinya.
Ada sesuatu yang menekan di dadanya — perasaan asing, samar, tapi hangat.
“Sudah,” kata Aruna akhirnya, mengikat simpul terakhir pada balutan kain itu. “Nggak sempurna sih, tapi harusnya bisa nahan darahnya sementara.”
Pria itu memandangnya sejenak. “Kau tidak berubah.”
“Hah?” Aruna menatapnya bingung. “Aku nggak berubah apanya?”
Namun pria itu langsung memalingkan wajah, seperti menyesal telah mengucapkannya. “Tidak, bukan apa-apa.”
Aruna berdecak. “Kamu ini aneh banget. Dari tadi ngomongnya kayak teka-teki semua.”
Ia berdiri, menepuk-nepuk bajunya, lalu berkata, “Oke, udah ya. Aku balik ke aula. Kamu… ya urus aja dirimu. Aku udah bantu, jangan bikin repot lagi.”
Pria itu menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. “Kau benar-benar tidak ingin tahu siapa aku?”
Aruna menatap balik, mengangkat bahu. “Buat apa? Aku juga nggak kenal, dan kayaknya kamu juga nggak berniat cerita. Jadi ya udah, aku anggap aja ini kejadian aneh yang bakal kulupain besok.”
“Begitu mudah melupakan seseorang yang kau selamatkan?”
Aruna menghela napas dan menatapnya datar. “Yup. Soalnya aku bukan pemeran utama di drama misteri yang bakal jatuh cinta sama orang asing berdarah-darah di koridor hotel.”
Ia menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil. “Lagipula, aku yakin kita nggak bakal ketemu lagi.”
Untuk pertama kalinya, pria itu menundukkan kepala sedikit. “Kau tidak tahu betapa salahnya kau,” gumamnya pelan.
“Hah?” Aruna tidak menangkap ucapannya. “Kamu ngomong apa?”
“Tidak apa-apa.” Pria itu berbalik, mulai melangkah perlahan ke arah ujung koridor.
Aruna memandang punggungnya yang tegap namun sedikit terhuyung itu. “Eh! Kamu yakin bisa jalan?” serunya refleks.
Ia hendak mengejar, tapi pria itu menoleh sekilas, sorot matanya tajam dan dingin seperti tadi. “Jangan ikuti aku.”
“Lho, tapi—”
Namun sebelum Aruna sempat melanjutkan kalimatnya, pria itu sudah menghilang di balik tikungan, meninggalkan hanya keheningan dan udara dingin yang menyelusup masuk.
Aruna terpaku beberapa detik, lalu menepuk pipinya sendiri. “Oke, Aruna. Catatan hari ini: nolong orang misterius berdarah-darah, dikatain cerewet, terus dia ngilang. Luar biasa.”
Ia mendesah panjang, lalu memutar bola matanya. “Kayak gini nih, kenapa Mama sering bilang aku terlalu baik sama orang asing.”
Ia memungut saputangan cadangannya yang sempat jatuh, lalu menatap arah pria itu menghilang.
Tidak ada apa-apa di sana. Tak ada suara langkah, tak ada bayangan. Seolah lelaki itu menembus udara dan menguap begitu saja.
“Yah, semoga aja dia nggak mati di jalan,” gumamnya lirih, lalu berbalik menuju toilet. “Aku cuma pengen cuci tangan dan balik makan kue, bukan malah jadi Florence Nightingale dadakan.”
Beberapa menit kemudian, Aruna keluar dari toilet dengan wajah segar. Ia melihat pantulannya di cermin besar di dinding lorong, lalu terkekeh.
“Masih cantik, tapi agak kusut. Nggak apa, yang penting nggak ada noda darah.”
Ia berjalan pelan menuju aula, menatap cahaya lampu gantung yang memantul di lantai marmer. Langkahnya ringan, suaranya bergumam kecil menyenandungkan lagu dari band favoritnya.
Di sudut bibirnya, masih terselip senyum lepas seperti biasa — tak ada tanda bahwa ia baru saja menyentuh misteri besar yang menunggu di balik hidupnya.
Dan di luar, di puncak gedung tempat angin berputar, sosok bertopeng itu berdiri menatap ke bawah. Luka di lengannya telah diperban lebih rapi, darahnya berhenti mengalir.
Pria itu membuka sarung tangan hitamnya perlahan, menatap jemarinya yang sempat bersentuhan dengan tangan Aruna tadi.
“Masih sama,” gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar diterpa angin malam. “Masih hangat.”
Ia memejamkan mata, membiarkan kenangan samar dari kehidupan lalu melintas di benaknya — wajah yang sama, suara yang sama, hanya berbeda waktu dan takdir.
Darren, yang muncul dari balik pintu atap, menunduk hormat. “Tuan, apa Anda baik-baik saja?”
pria bertopeng itu — membuka matanya perlahan. “Tidak perlu khawatir, Darren. Luka kecil. Aku sudah menemukan apa yang kucari.”
“Asal bukan masalah baru, Tuan,” jawab Darren datar.
pria itu menatap ke arah cahaya gedung di bawah. “Bukan masalah, Darren. Hanya… pertemuan yang tertunda terlalu lama.”
Udara malam menyapu lembut topeng hitamnya, menyembunyikan senyum tipis yang muncul di ujung bibirnya.