NovelToon NovelToon
Godaan Kakak Ipar

Godaan Kakak Ipar

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Pembantu
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Bunda SB

Bagi Luna, Senja hanyalah adik tiri yang pantas disakiti.
Tapi di mata Samudra, Senja adalah cahaya yang tak bisa ia abaikan.
Lalu, siapa yang akan memenangkan hati sang suami? istri sahnya, atau adik tiri yang seharusnya ia benci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12 - Tuntutan Ibu

Gedung pencakar langit PT. Samudra Megah Properties menjulang gagah di kawasan Jakarta. Di lantai dua puluh lima, ruang direktur utama yang luas dan mewah itu dipenuhi aroma kopi Ethiopia yang baru diseduh dan wewangian cedar wood dari diffuser yang terpasang di sudut ruangan. Samudra duduk di belakang meja kerja mahoni berukuran besar, matanya fokus pada layar komputer yang menampilkan laporan keuangan kuartal terakhir.

Pria itu tampak begitu profesional dalam balutan jas dan kemeja putih yang dikancingkan rapi hingga kerah. Rambutnya yang hitam legam tersisir rapih ke belakang, memancarkan aura pemimpin muda yang sukses. Namun, matanya yang biasanya tajam dan penuh konsentrasi kali ini sesekali melayang, seolah pikirannya berada di tempat lain.

Kejadian pagi tadi terus berputar di kepalanya seperti film yang diputar berulang-ulang. Ciuman lembut yang diberikannya kepada Senja, cara gadis itu membalas dengan canggung namun tulus, dan wajah merah merona yang begitu menggemaskan ketika dia berlari keluar dari kamar. Samudra tidak bisa berhenti tersenyum setiap kali mengingat momen itu.

"Pak Samudra?" suara sekretarisnya, Maya, memecah lamunan. "Maaf mengganggu, tapi ada tamu untuk Bapak."

Samudra mengangkat wajah dari layar komputer, alisnya terangkat. "Tamu? Saya tidak ada janji bertemu siapa pun hari ini."

Maya terlihat sedikit gugup. "Itu... itu Ibu Samudra, Pak. Nyonya Dewi sudah menunggu di lobi."

Ekspresi Samudra langsung berubah. Matanya membelalak terkejut, kemudian berubah menjadi cemas. Ibunya datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, ini bukan pertanda baik.

"Mama? Kenapa dia tidak bilang-bilang dulu?" gumam Samudra sambil bangkit dari kursi dan merapikan jasnya. "Suruh Mama naik ke sini, Maya."

"Baik, Pak."

Samudra mondar-mandir di ruangannya yang luas, perasaannya campur aduk. Dewi, ibunya adalah wanita yang sangat tegas dan langsung to the point. Kalau dia datang mendadak ke kantor seperti ini, pasti ada urusan penting yang ingin dibicarakan. Dan Samudra sudah bisa menebak apa itu.

Tidak lama kemudian, pintu ruangan terbuka. Dewi melangkah masuk dengan langkah percaya diri yang khas. Wanita berusia lima puluh lima tahun itu masih terlihat anggun dan berwibawa dalam balutan blazer navy dan celana panjang krem. Rambutnya yang mulai beruban diikat chignon rapi, dan mata coklatnya yang tajam sama seperti mata Samudra, memancarkan aura seorang matriark keluarga yang tidak main-main.

"Mama," sapa Samudra sambil maju dan mengecup pipi ibunya. "Kenapa tidak bilang-bilang dulu kalau mau ke sini? Aku bisa jemput Mama."

Dewi menatap putra satu-satunya itu dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kalau Mama bilang dulu, nanti kamu sibuk terus. Makanya Mama datang langsung saja."

"Mama mau minum sesuatu? Kopi? Teh?" tanya Samudra sambil membantu ibunya duduk di sofa kulit coklat yang berada di area meeting kecil di sudut ruangan.

"Tidak usah," jawab Dewi singkat. "Mama ke sini bukan untuk basa-basi, Samudra."

Nada bicara ibunya yang serius membuat Samudra semakin cemas. Dia duduk berhadapan dengan Dewi, tangannya bertaut di atas meja kaca.

"Ada apa, Ma? Apa Papa baik-baik saja?"

"Papa baik. Mama juga baik," jawab Dewi sambil menatap mata Samudra dengan intens. "Tapi ada yang tidak baik, Samudra."

"Apa maksud Mama?"

Dewi menghela napas panjang, ekspresinya menunjukkan campuran kekesalan dan kelelahan. "Kamu sudah menikah hampir tiga tahun, Samudra. Tiga tahun! Dan sampai sekarang Luna belum juga hamil. Mama dan Papa mulai khawatir."

Samudra merasakan dadanya sesak. Topik yang selalu dihindarinya akhirnya muncul juga. "Mama, soal anak itu bukan hal yang bisa dipaksakan. Mungkin memang belum waktunya."

"Belum waktunya?" Dewi meninggi suaranya. "Samudra, usia kamu sudah cukup! Luna juga sudah cukup! Kalau bukan sekarang, kapan lagi?"

Samudra menggosok wajahnya dengan kedua telapak tangan, merasa lelah dengan pertanyaan yang sama yang sudah berkali-kali diajukan kedua orang tuanya. "Mama, please... jangan membahas hal ini lagi. Kami sudah berusaha."

"Berusaha?" Dewi bangkit dari duduknya, wajahnya memerah menahan emosi. "Kalau benar-benar berusaha, kenapa tidak ada hasilnya sama sekali? Apa kalian sudah periksa ke dokter? Jangan-jangan ada masalah dengan salah satu dari kalian?"

"Tidak ada masalah apa-apa, Ma," jawab Samudra cepat, berusaha menyembunyikan kenyataan pahit bahwa Luna memang tidak mau hamil. "Mungkin memang belum dikaruniai kepercayaan dari Yang Maha Kuasa."

Dewi menatap putranya dengan tatapan yang penuh frustrasi. "Samudra, Mama sudah menunggu cucu bertahun-tahun. Papa juga sama. Kami tidak semakin muda. Mama ingin menggendong cucu sebelum terlambat."

Kalimat itu menusuk hati Samudra. Dia sebenarnya juga sangat menginginkan anak, bahkan sudah membayangkan bagaimana rasanya memiliki keluarga kecil yang harmonis. Tapi Luna selalu menolak setiap kali dia menyinggung soal anak.

"Mama sabar ya," pinta Samudra dengan suara yang mulai bergetar. "Insya Allah nanti juga akan dikasih."

"Sabar?" Dewi tertawa pahit. "Mama sudah sabar hampir tiga tahun, Samudra! Teman-teman Mama yang anaknya menikah setelah kamu saja anaknya sudah ada yang dua. Mama malu kalau ditanya soal cucu."

Samudra terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Setiap kali kedua orang tuanya menanyakan hal ini, dia selalu merasa tersiksa. Di satu sisi dia ingin jujur bahwa Luna yang tidak mau hamil, tapi di sisi lain dia tidak mau membuat orang tuanya semakin membenci menantunya.

"Mama punya saran," kata Dewi sambil duduk kembali, kali ini lebih dekat dengan Samudra. "Kalau Luna tidak bisa atau tidak mau punya anak, kamu nikah lagi saja."

"Apa?" Samudra menatap ibunya dengan mata terbelalak. "Mama ngomong apa sih?"

"Mama serius, Samudra," kata Dewi dengan nada tegas. "Di agama kita, poligami itu diizinkan kalau ada alasan yang jelas. Tidak punya anak itu alasan yang sangat valid."

Samudra bangkit dari duduknya, wajahnya pucat. "Mama, tolong jangan bicara seperti itu. Aku cinta sama Luna. Aku tidak akan menikah lagi."

"Cinta?" Dewi juga ikut berdiri, matanya berapi-api. "Cinta tanpa keturunan itu tidak ada artinya, Samudra! Untuk apa cinta kalau tidak ada yang meneruskan garis keturunan keluarga kita?"

"Mama, please..." Samudra memijit pelipisnya yang mulai berdenyut. "Jangan mempersulit hidup ku. Aku sudah cukup stress dengan pekerjaan."

"Justru karena Mama sayang sama kamu, makanya Mama bicara begini!" seru Dewi. "Cari istri kedua yang mau punya anak. Mama bahkan sudah ada beberapa kandidat yang cocok untukmu."

"Mama!" bentak Samudra, untuk pertama kalinya dalam hidupnya dia meninggikan suara pada ibunya. "Aku bilang tidak ya tidak! Aku tidak akan berpoligami!"

Dewi terdiam, terkejut melihat putranya yang biasanya selalu hormat padanya kini membentak. Matanya berkaca-kaca, campuran antara kecewa dan sakit hati.

"Baiklah," katanya dengan suara yang bergetar. "Kalau kamu memang lebih memilih istri daripada orang tua dan masa depan keluarga, Mama tidak akan memaksa lagi."

Dewi mengambil tas tangannya dan berjalan menuju pintu dengan langkah yang terlihat berat. Samudra merasa dadanya seperti diiris pisau melihat punggung ibunya yang mulai membungkuk karena kekecewaan.

"Mama..." panggilnya dengan suara lemah.

Dewi berhenti di depan pintu tanpa berbalik. "Samudra, Mama sudah capek. Capek menunggu, capek berharap, capek membela kalian di depan saudara-saudara yang selalu nanya soal cucu. Kalau memang kalian tidak mau kasih Mama cucu, ya sudahlah."

"Mama, jangan begini..."

"Mama pulang dulu," kata Dewi sambil membuka pintu. "Kalau suatu hari nanti kamu berubah pikiran, Mama masih punya nomor telepon beberapa gadis baik-baik yang siap jadi istri kedua untukmu."

Pintu tertutup dengan suara yang pelan tapi terasa seperti guntur di telinga Samudra. Dia terduduk lemas di sofa, kepala tertunduk dalam-dalam.

Ruangan yang tadi terasa hangat kini berubah dingin dan mencekam. Samudra menatap kosong ke arah jendela besar yang menghadap ke gedung-gedung pencakar langit Jakarta. Matanya berkaca-kaca, hatinya hancur melihat ibunya pergi dengan perasaan kecewa.

Sebenarnya, Samudra sangat menginginkan anak. Dia sudah membayangkan betapa bahagianya memiliki seorang putri kecil yang cantik seperti Luna, atau seorang putra yang bisa dia ajari bermain sepak bola. Dia ingin mengalami bagaimana rasanya dipanggil Papa oleh darah dagingnya sendiri.

Tapi Luna...

Samudra mengingat percakapan yang terjadi enam bulan lalu, ketika dia dengan hati-hati menyinggung soal anak.

"Sayang, bagaimana kalau kita mulai program punya anak?" tanyanya saat itu dengan penuh harap.

Luna yang sedang sibuk dengan ponselnya langsung menatap Samudra dengan tatapan horror. "Anak? Untuk apa? Kita masih muda, bisa menikmati hidup dengan bebas."

"Tapi kita sudah menikah dua tahun, sayang. Bukankah wajar kalau kita ingin punya anak?"

"Samudra," kata Luna dengan nada yang tegas, "aku tidak mau hamil. Titik."

"Kenapa? Apa ada masalah dengan kesehatan kamu?"

Luna menggeleng. "Aku tidak mau tubuhku rusak karena hamil dan melahirkan. Aku masih mau cantik, masih mau punya tubuh yang bagus. Lagipula, punya anak itu ribet. Tidak bisa jalan-jalan bebas, tidak bisa shopping sepuasnya."

Samudra terdiam, shock mendengar alasan istrinya. "Luna, kamu serius?"

"Sangat serius. Dan tolong jangan bahas soal ini lagi. Aku sudah bulat keputusannya."

Sejak saat itu, Samudra tidak pernah lagi menyinggung soal anak. Dia berharap suatu hari Luna akan berubah pikiran, tapi nyatanya sampai sekarang istrinya tetap pada pendiriannya.

Dan kini, ibunya datang menuntut cucu dengan mata berkaca-kaca karena kekecewaan. Samudra merasa terjebak di antara dua wanita yang dia cintai, tapi dengan keinginan yang bertolak belakang.

Telepon di mejanya berdering, memecah lamunannya. Dengan langkah gontai, dia kembali ke meja kerja dan mengangkat telepon.

"Ya, Maya?"

"Pak, Ibu sudah turun dan naik taksi. Apakah Bapak baik-baik saja? Tadi sepertinya terdengar suara..."

"Saya baik, Maya," potong Samudra cepat. "Tolong cancel semua meeting saya hari ini. Saya mau pulang."

"Tapi Pak, ada rapat dengan klien dari Singapura jam tiga..."

"Cancel saja. Bilang saya sakit."

Samudra mematikan telepon dan meraih kunci mobilnya. Dadanya terasa sesak, kepalanya pusing, dan hatinya hancur. Dia butuh pulang, butuh ketenangan.

Saat berjalan menuju lift, pikirannya kembali melayang pada Senja. Gadis itu yang merawatnya dengan penuh cinta, yang membuatnya merasa dihargai dan diperhatikan. Senja yang begitu polos dan tulus, sangat berbeda dengan Luna yang egois dan materialistis.

Bayangan Senja yang tertawa, yang memasak untuknya dengan penuh perhatian, yang menatapnya dengan mata berbinar, membuat dadanya sedikit lebih ringan.

Mungkin... mungkin inilah yang dinamakan takdir. Ketika Tuhan menutup satu pintu, Dia membuka pintu yang lain.

Samudra tidak tahu bahwa keputusannya untuk pulang lebih awal hari itu akan mengubah hidupnya selamanya. Dan dia juga tidak tahu bahwa di Bali, Luna sedang merencanakan cara untuk meminta lima ratus juta rupiah darinya.

Yang dia tahu hanya satu, hatinya rindu pada seseorang yang memberikannya kehangatan tulus. Seseorang yang tidak seharusnya dia cintai, tapi yang sudah terlanjur mengisi ruang kosong di hatinya.

1
Ariany Sudjana
semoga samudra lekas tahu bahwa Luna selama ini selingkuh dari samudra, dan selama ini hanya ingin harta samudra saja. dan setelah samudra tahu yang sebenarnya, jangan sampai senja yang jadi sasaran Luna, kasihan senja dan samudra, ga tega lihatnya selalu jadi sasaran kemarahan Luna , yang sudah ga waras
Ariany Sudjana
eh Luna udah gila yah, yang buat samudra jadi ilfil kan Luna juga, selama ini ga mau melayani samudra, bahkan suami sakit, Luna milih jalan-jalan ke Bali, sama selingkuhannya. yang urus samudra sampai sembuh ya senja sendiri. jadi jangan salahkan senja dong. ini samudra belum tahu istrinya selingkuh, kebayang kalau tahu, seperti apa reaksinya samudra
Ariany Sudjana
bagus samudra, jangan mau masuk dalam jebakan Luna, dia tidak mencintaimu, hanya ingin harta saja, dan sekarang dia butuh 500 JT itu. dan di hati Luna hanya ada Arjuna , pasangan selingkuhnya
Ariany Sudjana
Luna juga kan selingkuh, jadi maling jangan teriak maling dong
Ariany Sudjana
saya sih ga salahkan senja atau samudra yah, kalau Luna bisa menghormati samudra selaku suami, mungkin ga akan terjadi. tapi Luna juga malah selingkuh, belum tahu saja Luna, kalau dia juga hanya dimanfaatkan saja sama selingkuhannya
Ariany Sudjana
di rumah ada cctv kan? coba samudra lihat kelakuan Luna terhadap senja, kalau Luna pas di rumah
Ariany Sudjana
semoga saja Dewi bisa menemukan dengan siapa Luna di restoran itu, dasar Luna bodoh, belum sadar hanya dimanfaatkan sama Arjuna
Bunda SB: namanya juga cinta kak🤭
total 1 replies
Ariany Sudjana
samudra harusnya jujur sama mama kandungnya, jangan takut nanti irang tuanya akan membenci Luna. kan memang selama ini Luna yang ga mau punya anak? kalau memang nanti orang tuanya samudra jadi benci sama Luna, ya itu urusan Luna
Ariany Sudjana
semoga samudra bisa melindungi senja, karena Luna begitu jahat dan licik, dan kalau Luna tahu apa yang terjadi selama dia di Bali, pasti senja akan disiksa habis sama Luna
Ariany Sudjana
saya sih ga menyalahkan kalau sampai samudra dekat sama senja. lha punya istri, tapi istri ga pernah memperhatikan dan mengurus suami, apalagi pas suami lagi sakit. Luna malah sibuk dengan selingkuhannya.
Ariany Sudjana
apa Luna punya selingkuhan? sehingga begitu dingin sama samudra, suaminya sendiri.
Ariany Sudjana
di rumah ga ada cctv? sampai samudra begitu percaya sama Luna
Ariany Sudjana
samudra jangan percaya begitu saja sama Luna, senja sampai pingsan karena ulah Luna, si nenek lampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!