Cat Liu, seorang tabib desa, tak pernah menyangka hidupnya berubah setelah menyelamatkan adik dari seorang mafia ternama, Maximilian Zhang.
Ketertarikan sang mafia membuatnya ingin menjadikan Cat sebagai tunangannya. Namun, di hari pertunangan, Cat memilih pergi tanpa jejak.
Empat tahun berlalu, takdir mempertemukan mereka kembali. Tapi kini Maximilian bukan hanya pria yang jatuh hati—dia juga pria yang menyimpan luka.
Masihkah ada cinta… atau kini hanya tersisa dendam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
“Siapa mereka? Kenapa memburumu?” tanya Maximilian, suaranya dalam, sambil tetap memeluk pinggang Cat yang masih berusaha melepaskan diri.
Cat menoleh cepat, wajahnya merah karena malu sekaligus kesal. “Lepaskan tanganmu dulu, di sini banyak orang melihat,” pintanya dengan suara rendah namun mendesak.
Maximilian tersenyum tipis, matanya menyipit penuh kecurigaan. “Kalau aku lepaskan, kau akan lari. Jadi aku tidak bisa menuruti permintaanmu.”
Cat mendengus kesal, matanya menatap lurus ke arahnya. “Anggotamu begitu banyak, apakah mereka begitu lemah sampai aku bisa lolos dari mereka?”
Kata-kata itu membuat Maximilian sedikit menoleh ke arah anak buahnya yang berdiri ragu. Setelah beberapa detik, ia akhirnya melepaskan genggamannya. Namun tatapannya tetap waspada, seakan mengukur setiap gerakan Cat.
Tepat saat itu, wanita yang mengejar Cat wajahnya dipenuhi amarah. “Kalian jangan ikut campur! Liu Hua Hua adalah adik seperguruanku. Kalian orang luar, jadi jangan mencampuri urusan kami!”
Charles, yang sudah berdiri kokoh di depan mereka, melirik ke arah Maximilian, menunggu perintah. Namun Cat tiba-tiba berbisik cepat, wajahnya tegang. “Jangan dekat dengan mereka. Mereka pintar menggunakan racun.”
Kata racun membuat Charles menegang.
Namun Maximilian hanya mengangkat alis, seolah tidak terkesan. Bibirnya melengkung dalam senyum dingin. “Racun? Sepertinya kita bisa menggunakan pistol. Kita lihat lebih cepat mana, racun atau peluru.”
Serentak, semua anggota Maximilian langsung mengeluarkan pistol mereka, suara klik pelatuk terdengar jelas, menodong lurus ke arah lima pria dan wanita tersebut. Sekitar mereka, orang-orang yang melihat sudah panik dan mundur menjauh, sebagian bahkan berlari ketakutan.
Maximilian menatap tajam ke arah Cat. “Apa perlu aku menghilangkan mereka?” suaranya tenang, tapi dinginnya mampu membuat bulu kuduk berdiri.
Cat menggeleng cepat, wajahnya serius. “Tidak perlu, lepaskan saja. Kalau bunuh mereka, sama saja aku telah mengingkari janji dengan guruku. Walau aku dan kakak seperguruanku tidak sejalan, bagaimanapun kami satu perguruan. Aku tidak ingin mengecewakan guruku.”
“Charles, biarkan mereka pergi. Tapi ingat satu hal—jangan sampai aku melihat wajah kalian lagi. Kalau tidak, aku tidak akan berbaik hati lagi!” kecam Maximilian dengan suara tajam.
“Pergi! Sebelum kami berubah pikiran!” bentak Charles lantang, membuat kelima pria dan wanita itu seketika pucat. Mereka saling berpandangan, lalu berbalik dan lari terburu-buru, meninggalkan tempat itu tanpa berani menoleh.
Suasana kembali tenang, hanya tersisa napas terengah Cat yang mencoba menenangkan dirinya. Ia menunduk sebentar, lalu perlahan mundur, berusaha menjauh tanpa menimbulkan perhatian.
Namun begitu ia berbalik, tiba-tiba sebuah tangan besar meraih pinggangnya dan mengangkat tubuhnya begitu saja. Cat terkejut, tubuhnya dilemparkan ke pundak Maximilian dengan mudah.
“Hei! Hei! Turunkan aku!" teriak Cat sambil memukul punggungnya, wajahnya memerah karena malu dan marah.
Maximilian tidak menggubris. Wajahnya tetap datar, langkahnya tegap menuju mobil mewah yang sudah menunggu. Rekan-rekannya hanya bisa saling melirik dengan penuh penasaran, tak ada yang berani bertanya.
Tanpa sepatah kata, Maximilian membuka pintu dan memasukkan Cat ke dalam mobil. Gadis itu masih meronta, tapi sia-sia.
Charles menutup pintu sopir, lalu menunduk hormat. “Tuan, anda semua sudah bisa pulang. Permisi.” Setelah itu ia masuk ke kursi sopir dan menyalakan mesin, meninggalkan lokasi dengan kecepatan stabil.
“ Tuan Zhang, kau ingin membawaku ke mana?” tanya Cat
Maximilian melirik singkat ke arahnya, lalu tersenyum samar. “Setelah tiba, kau akan tahu.” Nada suaranya tenang, tapi penuh misteri.
Cat mengalihkan pandangannya ke jendela, mencoba menenangkan hati yang berdebar. Ia tidak tahu harus takut atau merasa lega.
Beberapa saat kemudian, mobil berhenti di depan sebuah rumah besar yang tampak kosong, berdiri kokoh di tepi jalan besar. Cat menatap bangunan itu dengan dahi berkerut.
Mereka berdua turun dari mobil. Cat menyipitkan mata, bingung. “Ini… tempat apa?” tanyanya hati-hati.
Maximilian melangkah santai, lalu menggenggam tangan Cat, membawanya maju. “Rumah kosong ini sudah aku beli. Bukankah kau punya impian untuk melanjutkan keinginan gurumu, menjadi tabib terkenal?” suaranya terdengar tulus, meski senyum samar di wajahnya membuat Cat tetap waspada.
Cat terdiam, jari-jarinya bergetar dalam genggaman Maximilian. Ia tidak menyangka pria yang ia anggap cabul itu justru berbicara tentang mimpinya.
Begitu memasuki rumah, beberapa anggota Maximilian yang sudah menunggu di sana langsung memberi hormat. “Tuan, Nona,” sambut mereka serempak.
Ruangan itu panjang dan luas, dengan dinding berwarna kuning pucat yang memantulkan cahaya lampu gantung.
Maximilian melepas genggaman tangannya, lalu berputar menghadap Cat. “Kalau ini tidak cukup luas, aku bisa carikan tempat lain. Mengobati pasien, menyimpan obat-obatan, membangun sesuatu untuk impianmu—semua bisa kau lakukan di sini.”
Cat menatap sekeliling dengan mata berkaca-kaca. Hatinya bergetar antara terharu dan tidak percaya. “Kenapa pria ini melakukan semua ini untukku?” batinnya.
“Aku tidak butuh bantuanmu, kau tidak perlu melakukan ini,” ujar Cat, suaranya bergetar, matanya menatap tajam tapi ada keraguan di sana.
Maximilian melangkah setapak lebih dekat, tatapannya tenang namun mendominasi. “Kita akan bertunangan tidak lama lagi. Membantu dan mendukungmu adalah keinginanku. Kau tidak bisa menolak sama sekali.”
Cat mundur selangkah, tangannya terkepal. “Aku tidak akan bisa membayarmu.” Nada suaranya tegas.
Maximilian menghela napas ringan, lalu menatap Cat seakan gadis itu terlalu polos untuk mengerti maksudnya. “Kau adalah calon istriku, dan sudah seharusnya aku mengulurkan bantuan. Kau tidak perlu membayarku. Anggap saja toko obat tradisional ini milikku, dan kau yang akan menjalankannya."
Di sudut ruangan, Charles berdiri dengan kedua tangan di belakang punggung. Tatapannya sempat berpindah pada bosnya, lalu pada Cat yang masih bingung. Ia menahan napas, lalu bergumam dalam hati, “Tuan selalu berkata tidak mencintai gadis ini… tapi mengapa rela mengeluarkan begitu banyak uang hanya untuk mewujudkan impiannya? Apa ini benar-benar sekadar keinginan atau ada sesuatu yang lebih dalam?”
Charles merasakan ada sesuatu yang berubah dalam diri Maximilian, sesuatu yang bahkan bosnya sendiri mungkin belum sadari.
smgat thor, up bnyk2 dong thor, tq!
thor smngat🫰di tnggu trs ni