Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 12
Langit pagi itu tampak sedikit mendung, tapi hati Alya justru cerah. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa tidak dihantui rasa cemas saat melangkah menuju gerbang sekolah. Tak ada suara ejekan di belakangnya, tak ada tawa menyindir yang mengikutinya setiap langkah.
Sepedanya berhenti perlahan di area parkir yang penuh dengan motor matic dan sepeda lainnya. Tak ada deru mobil mewah, tak ada pelayan berseragam yang membuka pintu seperti di sekolah lamanya. Di sini semua terasa lebih sederhana. Lebih nyata. Lebih manusiawi.
Alya menarik napas dalam-dalam sebelum memarkirkan sepedanya. Pandangan beberapa siswa sempat tertuju padanya, tapi bukan dengan tatapan menghakimi. melainkan hanya sekilas, penuh rasa penasaran biasa. Lalu mereka kembali berbincang dengan teman mereka masing-masing, seolah kedatangan Alya bukanlah sesuatu yang perlu dijadikan bahan gosip.
Langkah Alya memasuki koridor sekolah terasa berbeda. Tidak lagi penuh beban. Dinding sekolah itu memang sedikit kusam, lantainya tak sekinclong di sekolah lamanya. Tapi di sinilah, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa tidak menjadi. yang berbeda.
Begitu ia masuk ke kelasnya, suara seseorang menyapanya.
“Pagi, Alya.”
Suara itu datang dari kursi sebelahnya. Bagas. pria dengan senyum teduh dan rambut yang selalu tampak berantakan namun entah kenapa justru membuatnya terlihat menarik. Ia mengenakan seragam yang sudah agak lusuh, tetapi rapi dan bersih. Ada ketulusan dalam sorot matanya. sesuatu yang sudah lama tak Alya lihat dari orang lain.
“P-pagi,” jawab Alya sedikit gugup, membenarkan letak tasnya di meja.
Bagas tersenyum lagi, lalu membuka buku catatannya.
“Kamu udah ngerjain PR-nya Bu Nurul belum? Soalnya katanya hari ini dikumpulin.”
Alya mengangguk, meski suaranya masih ragu. “Iya, udah. Tapi… nggak yakin benar semua.”
“Kalau mau, nanti istirahat aku bantu cekin deh,” tawar Bagas ringan.
Alya mengangguk pelan. Tawaran itu sederhana. Tapi buatnya, itu seperti pelampung yang dilemparkan ke laut tempat dia hampir tenggelam.
Selama bertahun-tahun, Alya tak pernah merasakan hangatnya sapaan biasa dari teman sebaya. Di sekolah lamanya, semua orang terlalu sibuk berlomba dalam kemewahan. Tak ada waktu untuk benar-benar ‘peduli’. Tapi di sini... semua terasa lebih jujur.
Saat waktu istirahat tiba, mereka duduk di bangku panjang dekat taman kecil sekolah. Angin semilir membawa aroma tanah yang basah, dan suara tawa siswa lain menjadi latar yang menenangkan.
Alya menyuap roti isi dari kotak bekalnya, masih merasa canggung karena duduk dengan seseorang di jam istirahat. Biasanya, dia makan sendirian. Kadang bahkan pura-pura sibuk dengan buku agar tidak terlihat kesepian.
“Kenapa diem aja?” tanya Bagas, mengangkat alis. “Kamu nggak nyaman duduk bareng aku?”
Alya buru-buru menggeleng. “Bukan. Aku cuma… belum terbiasa aja.”
Bagas menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis. “Kamu pasti pernah disakitin ya? Sama teman-teman di sekolah lama?”
Alya terdiam. Matanya menatap kosong ke arah bunga-bunga kecil yang tumbuh di sisi taman. Ia tak menjawab, tapi Bagas tak menekannya.
“Gapapa,” lanjut Bagas pelan.
“Nggak usah cerita sekarang. Tapi yang pasti, di sini kamu nggak sendirian. Kita semua biasa aja kok, nggak ada yang suka pamer atau ngejatuhin orang lain.”
Alya kembali menatapnya, ada rasa hangat yang menjalari dadanya. Ia tersenyum kecil, meski matanya sedikit berkaca.
“Terima kasih, Bagas.”
Hari-hari berikutnya berjalan seperti mimpi yang sederhana namun menyenangkan. Untuk pertama kalinya, Alya ikut dalam kegiatan kelompok tanpa merasa dihindari. Ia diundang untuk duduk bersama saat jam kosong, ikut bercanda, bahkan dimintai pendapat saat diskusi kelas.
Setiap kali Bagas menawarkan untuk mengantar pulang saat hujan turun dan Alya tak membawa jas hujan, Alya selalu merasa canggung, tapi ia perlahan mulai menerima kebaikan itu.
Malam-malamnya tak lagi diisi dengan tangis dan pertanyaan,
“Kenapa aku berbeda?”. Kini, ia mulai bisa tidur dengan tenang, memikirkan hari esok tanpa rasa takut.
Namun jauh di dalam hatinya, masih tersisa keraguan kecil. apakah ketenangan ini akan bertahan lama? Ataukah ini hanya jeda sebelum badai berikutnya datang?
Alya belum tahu jawabannya. Tapi satu hal pasti. untuk pertama kalinya, ia merasa layak diterima.
Dan itu cukup untuk membuatnya bertahan satu hari lagi.
...
Di sudut lain kota...
Saat ini Reihan tengah dilanda kegusaran. Sejak perdebatan terakhirnya dengan Alya, pikirannya kacau. Ia tak lagi mampu mengendalikan emosinya. Setiap kali mencoba fokus pada pekerjaannya, wajah gadis itu kembali membayangi benaknya.
Reihan terduduk di balik meja kerjanya, tapi tatapannya kosong. Berkas-berkas di hadapannya hanya numpang lewat. Ia tak membaca satu pun. Ia hanya memikirkan satu hal,
Alya.
Gadis yang dulu ia hina, yang ia rendahkan habis-habisan. Gadis yang dulu ia anggap tak selevel dengannya, kini justru mengacaukan seluruh dunia miliknya.
"Sial!" desisnya, tangannya terangkat, mengacak-acak rambut dengan kasar.
Dadanya sesak. Kepalanya panas. Ia benci mengakui ini, tapi tak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia marah. Marah karena Alya pergi. Marah karena ia... merindukannya.
Ia berdiri mendadak, menyambar kunci mobil mewahnya yang tergeletak di atas meja.
Brakk!
Pintu ruangannya terbuka kasar saat ia keluar. Langkahnya cepat, tajam, penuh tekanan. Suasana di lorong sekolah berubah hening ketika Reihan melintas. Para guru dan siswa langsung menyibak memberi jalan. Tatapan mereka tertuju pada raut wajah Reihan yang gelap, penuh hawa mencekam.
Wajahnya dingin. Matanya menatap lurus ke depan seperti hendak membunuh siapa pun yang mencoba menyapanya. Bahkan penjaga sekolah yang biasanya ramah pun hanya bisa menunduk tanpa berani berkata sepatah kata pun.
Reihan berjalan melewati deretan loker siswa, melewati ruang guru, hingga ke area parkiran. Deru napasnya tak beraturan. Ia merasa dirinya hampir meledak. Begitu masuk ke mobil, ia banting pintu, lalu menyalakan mesin dengan hentakan kasar.
Mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan kota tanpa arah pasti. Tangannya menggenggam erat kemudi, rahangnya mengeras. Dalam diamnya, pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tak ia temukan jawabannya.
Kenapa aku seperti ini?
Kenapa aku harus memikirkan dia?
Kenapa gadis itu, yang dulu hanya ku tertawakan... kini justru mendominasi seluruh isi kepalaku?
Hatinya tak bisa lagi dibohongi. Ia sadar perasaannya tumbuh. Tapi, ia tidak tau apakah Alya mau menerima nya kembali atau tidak ?