Kirana, seorang siswi SMA dengan kemampuan indigo, hidup seperti remaja pada umumnya—suka cokelat panas, benci PR Matematika, dan punya dua sahabat konyol yang selalu ikut terlibat dalam urusannya: Nila si skeptis dan Diriya si penakut akut. Namun hidup Kirana tidak pernah benar-benar normal sejak kecil, karena ia bisa melihat dan berkomunikasi dengan arwah yang tak terlihat oleh orang lain.
Saat sebuah arwah guru musik muncul di ruang seni, meminta bantuan agar suaranya didengar, Kirana terlibat dalam misi pertamanya: membantu roh yang terjebak. Namun kejadian itu hanyalah awal dari segalanya.
Setiap malam, Kirana menerima isyarat gaib. Tangga utara, lorong belakang, hingga ruang bawah tanah menyimpan misteri dan kisah tragis para arwah yang belum tenang. Dengan bantuan sahabat-sahabatnya yang kadang justru menambah kekacauan, Kirana harus menyelesaikan satu demi satu teka-teki, bertemu roh baik dan jahat, bahkan melawan makhluk penjaga batas dunia yang menyeramkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Tengah malam menjelang. Angin berdesir pelan menyusuri sela-sela papan tua toko antik yang kini seolah hidup. Langit mendung menggantung rendah, mengintai seperti mata-mata dari langit.
Kirana berdiri di depan pintu belakang toko. Di tangannya tergenggam kunci tua yang tadi siang ia temukan. Jari-jarinya gemetar ringan, bukan karena takut… tapi karena sesuatu dalam dirinya berkata: “Ini tak akan mudah.”
Ia menoleh ke belakang, memastikan tak ada yang mengikutinya. Sesuai pesan, ia datang sendirian.
“Kalau aku tak kembali sampai pagi, bakar rumah ini,” gumamnya lirih, separuh bercanda pada udara malam.
Nafasnya mengepul saat ia memutar kunci perlahan.
Klek.
Pintu tua berderit. Di baliknya, tangga sempit menuju loteng bawah—ruangan yang bahkan tidak tercatat dalam denah toko. Bau kayu lembap dan tanah lama menyergap begitu ia menuruni anak tangga perlahan.
Di ujung tangga, cahaya lampu minyak berpendar redup. Sosok Pak Adrian berdiri membelakanginya. Rambutnya tampak lebih kusut dari biasanya. Di tangannya ada bingkai foto tua yang ia tatap lama.
“Kenapa saya disuruh datang ke sini?” tanya Kirana tenang, namun dalam hatinya berdegup waspada.
Pak Adrian menoleh perlahan, lalu meletakkan lukisan itu di lantai. Di baliknya terdapat peti kecil. Ia membukanya, mengeluarkan sebuah map kuning tua berisi potret tiga gadis SMA: Mira, Anindya, dan Liana—masih hidup dalam gambar, tertawa riang.
“Siapa mereka menurutmu, Kirana?”
“Korban. Yang dikatakan bunuh diri. Tapi aku tahu itu tidak benar.”
Adrian mengangguk.
“Mereka memang tidak bunuh diri. Mereka... korban dari kutukan yang terpendam di toko ini. Mereka mencoba menyegel sesuatu yang jauh lebih tua... dan berbahaya.”
Ia menarik napas, menatap Kirana dalam-dalam.
“Dan kamu, Kirana... bukan keturunan mereka, tapi kamu adalah penerus penglihatan. Indigo yang sama seperti Liana.”
---
Kirana tertegun.
“Jadi... aku ini reinkarnasi?”
“Bukan. Kau berbeda. Tapi jiwamu punya resonansi yang sama. Sejak kecil, kau sudah bisa melihat dan merasakan kejanggalan. Mereka bertiga... meninggalkan jejak energi agar saat waktunya tiba, seseorang yang mampu akan membongkar semuanya.”
Kirana mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan arwah di toko. Semuanya terasa seperti déjà vu. Seperti bukan pertemuan pertama.
Tapi kemudian... suara kecil terdengar.
“Teet... teet...”
Itu suara mainan kecil dari dalam sakunya—boneka Jepang dari kejadian sebelumnya. Tanpa sebab, ia menyala dan mengeluarkan suara seperti tertawa.
“Hi hi hi hi… jangan takut… kita belum selesai…”
Kirana menatap boneka itu… lalu tersenyum tipis.
“Kalau begitu, ayo kita selesaikan.” ujar Kirana
Tiba-tiba, suara berat muncul dari belakang tumpukan lemari tua.
Sosok tinggi berjubah gelap keluar, wajahnya tertutup topeng retak. Suara parau keluar dari balik topeng.
“Kamu sudah terlalu dalam, Kirana... kunci seharusnya tidak sampai padamu.”
Pak Adrian mundur, wajahnya menegang.
“Itu dia,” bisiknya. “Dalang sebenarnya... pewaris kegelapan toko ini.”
Pria bertopeng itu tertawa pelan.
“Dan sekarang... waktunya membuka segel terakhir.”
---
Simbol-simbol di lantai menyala merah.
Portal arwah kembali terbuka di lantai kayu. Udara berubah pekat. Tangan-tangan hitam merangkak dari bawah lantai, menggapai Kirana.
Tapi kali ini... Kirana berdiri tegak. Ia mengangkat kalung “M.A.L.” dan membisikkan mantra yang ia pelajari dari bisikan arwah.
“Jiwa yang tertahan, pergilah dalam damai.”
---
Tiga sosok arwah muncul dalam cahaya biru—Mira, Anindya, dan Liana. Mereka menatap Kirana penuh haru.
“Kami tidak bisa kembali... tapi kamu bisa menyelesaikan yang kami mulai,” ucap Mira.
“Gunakan penglihatanmu... untuk menutup segel terakhir,” tambah Liana.
Kirana mengangguk, lalu menatap pria bertopeng.
“Ini bukan waktuku yang berakhir... ini waktumu.”
Dengan satu hentakan, Kirana melempar kalung itu ke pusat simbol. Cahaya meledak. Topeng pria itu pecah. Ia melolong saat tubuhnya ditarik oleh bayangan sendiri, menghilang dalam jeritan.
---
Hening.
Portal menutup. Segel kuno menghilang.
“Kami... bebas...”
“Kau telah menulis akhir yang benar...”
“Terima kasih, Kirana... adik kami...”
Ketiga arwah tersenyum... lalu memudar pelan, meninggalkan Kirana sendirian di loteng. Tapi kali ini, hatinya ringan.
---
Kirana berjalan turun dari loteng sambil memegang kembali foto tiga sahabat itu.
Ia tersenyum kecil.
“Bukan adik... bukan kerabat... tapi kita terikat karena pilihan. Kalian memilih menutup kegelapan. Sekarang tugasku menjaga cahaya.”
...----------------...
Pagi hari di sekolah kembali cerah, seolah dunia tidak tahu bahwa malam tadi Kirana hampir mengorbankan dirinya demi menutup portal arwah.
Namun, bukan Kirana namanya kalau langsung kembali normal. Ia masuk kelas sambil memijat pelipis, menyembunyikan bekas luka tipis di lengan yang diperoleh dari kayu tajam di loteng.
“Kamu kenapa?” bisik Diriya, sahabatnya yang duduk di sebelah.
“Habis naik roller coaster... spiritual,” jawab Kirana datar.
Nila yang duduk di belakang menyodorkan susu kotak ke punggung Kirana. “Minum dulu. Biar arwahnya gak masuk lewat tengkuk.”
Kezia langsung terkekeh. “Kamu pikir arwah tuh kayak masuk angin?”
Mereka tertawa. Untuk sesaat, dunia terasa ringan. Tapi Kirana tahu, ini baru permulaan.
---
Saat jam istirahat, Kezia mendekat sambil menenteng koran sekolah. Ia membuka halaman belakang dan menunjuk satu artikel kecil.
“Ada kejadian aneh di ruang bawah panggung aula. Siswa bilang mendengar suara tawa perempuan tengah malam, padahal gedung dikunci.”
“Lagi-lagi tawa?” tanya Nila. “Jangan-jangan boneka Jepang-mu itu mulai jalan-jalan?”
Kirana menyipitkan mata. “Kalau begitu… kita selidiki malam ini.”
---
Malam pun tiba.
Keempat sahabat itu Kirana, Diriya, Kezia, dan Nila berdiri di depan gedung aula yang terkunci. Jalu dan Radit, dua murid cowok yang kini sudah gabung dalam kelompok mereka, muncul dengan senter dan cemilan.
“Aku bawa roti sobek buat ngusir arwah kelaparan,” kata Radit santai.
Jalu melirik tajam. “Roti itu buat kamu, bukan buat arwah.”
“Bisa jadi arwahnya manusia dulunya suka ngemil. Siapa tahu mereka cuma lapar.”
Kirana menahan tawa. “Oke, pasukan senter siap?”
---
Mereka menyelinap masuk lewat jendela kecil. Aula sunyi. Lantai panggung berdebu dan dingin. Mereka menyusuri sisi panggung ke ruangan bawah.
Begitu mereka membuka pintu bawah panggung, hawa dingin menyergap.
Hiiii... hiiii... hiiii...
Senter Jalu bergetar.
“Dengar itu?!” bisik Nila.
“Suara ketawa… tapi kayak... teredam.”
Saat mereka turun, tiba-tiba lampu senter Radit padam. Ruangan gelap gulita.
Cklek… cklek…
Senter Kirana juga mati satu-satu.
“Mampus... kenapa gelap semua?!”
Tiba-tiba, di tengah kegelapan…
“Main... sama... aku...”
Semua membeku.
Nila buru-buru menarik tangan Kezia. “Kalau aku kencing di sini, itu bukan beser ya! Itu efek ketakutan!”
Lampu tiba-tiba menyala sendiri—lampu kuning dari atas. Di tengah ruangan, sebuah boneka kayu duduk, tersenyum dengan mulut dijahit.
Kirana mendekat perlahan, lalu berjongkok.
“Tahu namamu... Kamila?” tanyanya pelan.
Boneka itu tidak menjawab. Tapi bayangannya di dinding... mengangguk.
---
Tiba-tiba, Nila terhuyung ke belakang.
Diriya menangkapnya, tapi mereka berdua terseret ke sisi ruangan. Sebuah simbol kuno memancar dari lantai, menampakkan tulisan Latin: “Dolorem parvulum, et perpetuum.”
Kirana menerjemahkan cepat: “Penderitaan kecil, tapi abadi.”
“Tunggu... bukankah itu kutukan?” tanya Kezia.
“Bukan,” jawab Kirana sambil menatap boneka. “Itu... pesan. Ada yang mengalami penderitaan kecil di sini, tapi membekas sepanjang hidupnya.”
---
Cahaya ruangan mulai berkedip.
Bayangan seseorang muncul. Kali ini... sosok perempuan muda berambut sangat panjang, mengenakan baju seragam sekolah tahun 90-an. Matanya kosong. Tapi bukan marah.
Dia... menangis.
“Jangan main... jangan main... aku hanya ingin bermain... sekali saja…”
Kirana mengangkat tangan, menatap sosok itu dengan empati.
“Kamu bukan arwah jahat, ya?”
Arwah itu menunduk. Suaranya lirih.
“Mereka mengunci aku di sini... karena aku... suka sendiri... suka tertawa sendiri... mereka bilang aku aneh…”
Kirana mendekat. “Kamu bukan aneh. Kamu hanya belum ketemu teman yang cocok.”
---
Mata arwah itu menatapnya.
Lalu... tersenyum.
Dalam sekejap, ia berbalik, masuk ke dalam boneka... dan menghilang. Tulisan di lantai pudar. Cahaya kembali normal.
Semua berdiri membeku.
Radit angkat bicara pelan, “Itu... serem... sekaligus sedih.”
Kirana tersenyum tipis. “Kadang yang menakutkan bukan hantu, tapi perasaan yang dikurung terlalu lama.”
---
mereka keluar dari aula dan duduk di tangga halaman.
Diriya berkata, “Kalau tiap malam kita begini, kita bisa bikin konten YouTube lho... ‘Ghost Club Ceria’.”
Nila mengangkat tangan, “Tapi tolong, jangan ada lagi yang nyamar jadi boneka ya. Kalau nggak, aku beneran pensiun!”
Semua tertawa. Bahkan Kirana.
Namun dalam diam, ia tahu... sesuatu yang lebih besar sedang mengintai.
Dan itu... belum selesai.
Bersambung
semangat Thor berkarya itu tidak mudah salam sehat selalu ya Thor 💪👍❤️🙂🙏
lanjutkan Thor semangat 💪 salam sehat selalu 👍❤️🙂🙏