"Meski kau adalah satu-satunya lelaki di dunia ini, aku tetap tidak akan mau denganmu!" Britney menolak tegas cowok yang menyatakan cinta padanya.
Tapi bagaimana kalau di hari Britney mengatakan itu, terjadi invasi virus zombie? Seketika satu per satu manusia berubah menjadi zombie. Keadaan Zayden High School jadi kacau balau. Pertumpahan darah terjadi dimana-mana.
Untungnya Britney mampu bertahan hidup dengan bersembunyi. Setelah keadaan aman, dia mulai mencari teman. Dari semua orang, satu-satunya orang yang berhasil ditemukan Britney hanyalah Clay. Lelaki yang sudah dirinya tolak cintanya.
Bagaimana perjalanan survival Britney dan Clay di hari kiamat? Apakah ada orang lain yang masih hidup selain mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter ¹¹ - grief
Clay menatap nanar ke arah Britney. Sorot matanya sendu, seolah ikut menanggung duka yang sedang dirasakan gadis itu. Ia tak sanggup berkata banyak, hanya diam mematung dengan jemari yang perlahan mengepal di sisi tubuhnya. Wajah Britney penuh air mata, pipinya basah, dan bibirnya bergetar menahan isak. Melihat gadis yang dicintainya dalam keadaan seperti itu membuat dada Clay terasa sesak.
“Kau yakin dengan keputusanmu?” tanya Clay pelan, suaranya bergetar karena ragu.
Britney mengusap air matanya kasar. “Lalu aku harus melakukan apa kalau kedua orang tuaku sudah jadi zombie? Apa aku harus memelihara mereka?” suaranya terdengar lirih namun tegas di antara isak tangis yang masih tersisa.
Clay terdiam sejenak. Ia menarik napas panjang, lalu mengangguk perlahan. “Baiklah, kalau itu memang maumu.”
Begitu kata itu keluar dari bibir Clay, dia pun mulai bersiap. Ia menegakkan tubuhnya, menggenggam kuat pedang yang selalu dibawanya sejak awal bencana ini terjadi. Dengan langkah berat namun pasti, Clay membuka perlahan pintu menuju ruang makan. Engsel pintu berderit nyaring, dan dalam sekejap, aroma busuk yang menusuk hidung langsung menyeruak keluar.
Tak butuh waktu lama, tiga sosok zombie yang berada di dalam langsung menyerang dengan teriakan serak dan gerakan liar. Dua di antaranya langsung dikenali Clay, mereka adalah ayah dan ibu tiri Britney. Tubuh mereka membusuk, pakaian yang dulu rapi kini penuh noda darah dan sobekan.
Britney spontan menjerit tertahan. Suara tangisnya pecah lagi. Ia jatuh berlutut di lantai, menutupi wajah dengan kedua tangannya. Hatinya benar-benar hancur saat menyadari bahwa orang-orang yang selama ini dicintainya telah berubah menjadi makhluk tanpa jiwa.
Clay tak punya pilihan lain. Dengan keahliannya sebagai atlet anggar berprestasi, dia bergerak cepat. Gerakan tangannya lincah, menusuk dan menebas kepala para zombie tanpa ragu. Setiap ayunan pedang menghasilkan bunyi daging yang robek dan tulang yang patah. Darah hitam mengucur deras, mengotori lantai ruang makan.
Dalam beberapa detik, semuanya berakhir. Ketiga zombie itu tergeletak tak bernyawa di lantai. Clay menatap hasil perbuatannya dengan tatapan kosong. Pedangnya berlumuran darah, napasnya tersengal. Ia menoleh ke arah Britney yang masih menangis di sudut ruangan, lalu berjalan pelan menghampirinya.
Tanpa berkata-kata, Clay menarik Britney ke dalam pelukannya. Gadis itu menempelkan wajahnya di dada Clay, menangis sejadi-jadinya. Clay mengelus kepala Britney lembut. “Aku turut prihatin, Britney...” lirihnya. Air mata menetes di pipi Clay. Ia tidak bisa menahan emosi yang ikut menyeruak dari hatinya.
Karena Britney sedang berduka, Clay memutuskan untuk tidak pergi malam itu. Hari sudah terlalu sore, bahkan matahari mulai meredup di balik langit jingga. Ia tahu, perjalanan menuju rumah sakit di pusat kota terlalu berisiko jika dilakukan malam-malam. Mereka butuh waktu untuk beristirahat dan memulihkan tenaga, juga hati.
Maka Clay memutuskan menggali kuburan bagi ayah, ibu tiri, dan satu pelayan yang juga menjadi zombie. Ia membuka baju atasannya, hanya mengenakan celana pendek. Tubuhnya berkeringat deras, setiap gerak sekopnya menghantam tanah menghasilkan suara berat yang berulang-ulang.
Britney memperhatikannya dari jendela ruang tamu. Ia duduk bersandar di lantai, di samping jasad kedua orang tuanya yang kini telah ditutupi kain seadanya. Sesekali ia berbisik pelan, meminta maaf, menyesali banyak hal yang belum sempat dilakukannya. Ia merasa menjadi anak yang gagal, merasa belum pernah benar-benar membuat mereka bahagia.
Air mata kembali menetes. Britney sadar, tak akan ada lagi kesempatan untuk memperbaiki hubungan, untuk berkata cinta, atau sekadar memeluk mereka. Semua sudah berakhir. Dunia sudah berubah menjadi neraka.
Beberapa saat kemudian, Britney berdiri. Ia menatap Clay dari balik kaca jendela. Melihat Clay bekerja keras menggali tiga lubang membuatnya merasa iba. Tanpa pikir panjang, ia menyiapkan sesuatu. Britney mengambil sebotol air dingin dan sebungkus kue dari dapur, lalu menaruhnya di atas nampan. Ia berjalan keluar membawa nampan itu dan menghampiri Clay.
“Sudahlah, kau bisa melanjutkannya besok. Ini sudah senja,” ucap Britney pelan, meletakkan nampan itu di dekat Clay.
Clay menyeka keringat di dahinya, menggeleng pelan. “Tinggal sedikit lagi. Kita harus menyelesaikannya hari ini, agar besok kita bisa langsung berangkat pagi-pagi.”
Britney menatapnya, lalu menghela napas. “Kalau begitu, biarkan aku membantu.”
“Tapi aku--” Clay tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Britney sudah mengambil sekop cadangan dan mulai menggali tanah di sebelahnya. Clay hanya bisa terdiam, menatap punggung gadis itu yang tampak begitu teguh. Ia tahu, tak mungkin menghentikan Britney sekarang.
Kerja keras mereka akhirnya mulai menunjukkan hasil. Dua tangan yang bekerja bersama membuat pekerjaan jadi lebih cepat selesai. Tanah demi tanah terangkat dari lubang, udara sore mulai dingin, dan warna langit berubah menjadi keunguan.
Keringat mengalir membasahi wajah Britney. Rambutnya yang panjang menempel di pipi, napasnya tersengal. Ia mulai merasa kepanasan. Tanpa pikir panjang, Britney menanggalkan jaket dan kaus luarnya.
“Britney! Apa kau gila?!” Clay hampir menjatuhkan sekopnya saat melihat itu.
Britney melirik sekilas, kemudian menatapnya dengan nada datar. “Apa kau pikir aku tidak memakai apa pun di balik bajuku?” katanya santai. Ia hanya mengenakan tank top hitam yang menempel di tubuhnya, cukup sopan tapi jelas membuat Clay salah tingkah.
Clay segera memalingkan wajahnya, pipinya memerah. “Maaf...” gumamnya, menunduk dalam-dalam.
Mereka melanjutkan pekerjaan tanpa bicara banyak. Satu jam kemudian, lubang pertama selesai. Disusul lubang kedua dan ketiga. Saat matahari benar-benar tenggelam dan malam mulai turun, ketiganya sudah siap. Clay dan Britney kini berdiri di sisi lubang, menatap jasad yang akan mereka makamkan.
Dengan hati-hati, Clay mengangkat satu per satu tubuh itu ke dalam tanah. Ia melakukan semuanya dengan perlahan, seolah ingin memberi penghormatan terakhir. Britney ikut membantu menurunkan jasad orang tuanya. Ia menggigit bibir menahan tangis.
Saat tanah pertama dijatuhkan, suara gumpalan itu terasa berat di hati Britney. Setiap sekop tanah yang dilempar Clay seperti menutup bab kehidupan lamanya. Ia tahu, setelah ini, tidak ada lagi rumah, tidak ada lagi keluarga. Hanya Clay yang tersisa di dunia gila ini.
Beberapa jam kemudian, semua jasad telah terkubur dengan rapi. Clay dan Britney berdiri di antara tiga gundukan tanah. Mereka menaruh batu besar sebagai penanda di setiap kuburan, lalu Britney memetik bunga dari taman rumahnya, bunga mawar merah yang masih segar, mungkin satu-satunya yang tersisa di halaman yang hancur itu.
Ia menaburkan bunga-bunga itu di atas kuburan ayah dan ibu tirinya, juga satu kuburan pelayan yang telah setia bekerja di rumah ini selama bertahun-tahun.
“Selamat tinggal... dan maaf,” bisik Britney lirih.
Clay berdiri di belakangnya, diam saja. Ia tahu kata-kata apa pun tidak akan mampu menghibur gadis itu malam ini.
Langit sudah gelap sepenuhnya. Angin malam berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga yang layu. Clay memandang ke arah rumah yang kini sepi dan gelap, lalu menatap Britney yang masih berlutut di depan kuburan orang tuanya. Dalam hatinya, Clay bersumpah akan menjaga gadis itu sekuat tenaga, apa pun yang terjadi nanti.
Malam itu, mereka tidak berbicara banyak. Britney masih duduk diam hingga lama, sementara Clay menjaga di dekatnya dengan pedang di tangan, mengawasi sekeliling dari kemungkinan munculnya zombie lain. Dunia terasa begitu sunyi. Hanya desiran angin dan suara jangkrik yang menemani kesedihan mereka.
SELAMAT DATANG peradaban baru.
Itulah kalimat yang layak diucapkan saat ini.
Manusia ditakdirkan menjadi khalifah, pembawa perubahan dan pembentuk peradaban di muka bumi.
Mengubahnya dan memicu lahirnya peradaban baru bagi umat manusia.
Virus zombie yang mewabah di hampir semua daerah ini telah mengubah hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat bahkan sangat tidak siap dengan kehadiran wabah yang mematikan ini.
Manusia hadir untuk bertindak melakukan perubahan dan membangun peradaban yang diamanatkan oleh Allah SWT.
Dimana semua orang bisa hidup damai, membuat sebuah daerah mampu bangkit dan berkontribusi dalam peta peradaban...🤩🥰