NovelToon NovelToon
KEHUDUPAN KEDUA

KEHUDUPAN KEDUA

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Junot Slengean Scd

Seorang kultivator legendaris berjuluk pendekar suci, penguasa puncak dunia kultivasi, tewas di usia senja karena dikhianati oleh dunia yang dulu ia selamatkan. Di masa lalunya, ia menemukan Kitab Kuno Sembilan Surga, kitab tertinggi yang berisi teknik, jurus, dan sembilan artefak dewa yang mampu mengguncang dunia kultivasi.
Ketika ia dihabisi oleh gabungan para sekte dan klan besar, ia menghancurkan kitab itu agar tak jatuh ke tangan siapapun. Namun kesadarannya tidak lenyap ,ia terlahir kembali di tubuh bocah 16 tahun bernama Xiau Chen, yang cacat karena dantian dan akar rohnya dihancurkan oleh keluarganya sendiri..
Kini, Xiau Chen bukan hanya membawa seluruh ingatan dan teknik kehidupan sebelumnya, tapi juga rahasia Kitab Kuno Sembilan Surga yang kini terukir di dalam ingatannya..
Dunia telah berubah, sekte-sekte baru bangkit, dan rahasia masa lalunya mulai menguak satu per satu...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB.11 BAYANGAN YANG TERBANGUN

Angin utara menggulung debu di kaki gunung Ardent.

Langit tampak kelabu, matahari diselimuti kabut, dan dunia seakan kehilangan warna.

Di tengah sunyi itu, Xiau Chen duduk bersila di atas batu karang, memejamkan mata.

Udara di sekitarnya bergetar halus — gelombang spiritual naik turun, seperti laut yang terombang di bawah badai.

Shi Lin berdiri tak jauh di belakang, wajahnya tegang.

Ia melihat tubuh gurunya kini diselimuti dua lapisan aura — satu berwarna emas pucat, satu lagi hitam seperti arang.

Keduanya saling menolak, tapi juga saling mengikat.

Dari jauh, sosok itu seperti dua roh dalam satu tubuh.

“Guru…”

“Apakah kau benar-benar baik-baik saja?”

Xiau Chen membuka mata perlahan.

Namun mata itu… bukan lagi sepenuhnya milik manusia.

Bagian irisnya berwarna keperakan, tapi di tepinya mengalir garis-garis hitam yang berdenyut seperti nadi.

“Sejak aku menyegel jiwa ketiga, pecahan keempat mulai bergerak,” katanya lirih.

“Aku bisa merasakannya. Dia menatap dari dalam jiwaku… menunggu.”

Shi Lin mengepalkan tangannya. “Apakah itu berarti—”

“Ya,” potong Xiau Chen pelan.

“Mo Tian mulai sadar.”

Malam turun cepat di gunung Ardent.

Hujan turun deras, membasahi bebatuan dan pepohonan yang merunduk diterpa angin.

Xiau Chen masih duduk diam, tapi aura spiritual di sekitarnya kini kacau — kadang memunculkan cahaya suci, kadang berubah menjadi pusaran hitam pekat.

Shi Lin menyiapkan formasi pelindung di sekeliling mereka.

Namun tiba-tiba, tanah bergetar hebat.

Kilatan petir menembus langit, menyambar ke arah batu tempat Xiau Chen duduk.

Tubuh Xiau Chen tersentak.

Dari dadanya keluar semburan aura hitam yang memutar seperti pusaran badai.

Suara berat, bukan suara manusia, terdengar dari dalam tubuhnya.

“Kau pikir bisa menyegelku, Xiau Chen?

Jiwa kita telah menyatu… kau hanya menunda kebangkitanku.”

Shi Lin mundur spontan. “Mo Tian?! Tidak mungkin!”

Xiau Chen menggertakkan giginya, mencoba menahan.

Namun seluruh tubuhnya gemetar hebat.

Retakan hitam menjalar dari leher ke tangan, seolah kulitnya retak dan dari dalamnya keluar cahaya gelap.

“Diam!” seru Xiau Chen. “Aku tidak akan membiarkanmu keluar!”

“Ha…” suara itu tertawa pelan, nyaring dan dingin.

“Kau sudah setengah jalan, Pendekar Suci.

Semakin kau melawan, semakin cepat aku bangkit.”

Tiba-tiba, bayangan hitam keluar dari punggung Xiau Chen — membentuk sosok tinggi, berwajah mirip dirinya, namun bermata merah menyala.

Sosok itu melangkah ke depan, menatap Shi Lin dengan senyum kejam.

“Satu tubuh, dua jiwa.

Dunia akan segera melihat kebenaran —

bahwa yang disebut Pendekar Suci hanyalah wadah iblis abadi.”

Shi Lin menatapnya tajam. “Kau bukan dia!”

Bayangan itu terkekeh.

“Benarkah? Tapi lihat siapa yang kau bela, gadis kecil… tubuh yang kau sebut gurumu kini menjadi milikku.”

Ia mengangkat tangannya, dan dalam sekejap tanah di sekitar mereka retak, membentuk lingkaran hitam besar.

Dari dalamnya, ratusan tangan bayangan keluar, mencoba menarik Xiau Chen ke dalam jurang.

Xiau Chen menggigit bibir hingga berdarah.

“Shi Lin… jangan ikut campur.”

“Tapi Guru—!”

“Jangan!”

Suara itu bergema keras.

Tubuh Xiau Chen bergetar, dan cahaya emas keluar dari dadanya, melawan bayangan hitam yang hendak menelannya.

“Kau pikir bisa menahanku selamanya?” suara Mo Tian berdesis di telinganya.

“Tanpa aku, kau tidak akan pernah bisa menyegel sisa dua jiwa lainnya.

Karena kekuatan itu… adalah bagianku.”

Xiau Chen menutup matanya.

Hujan turun semakin deras.

Dalam pikirannya, dua suara bergema saling tumpang tindih — suaranya sendiri, dan suara Mo Tian yang gelap dan dingin.

“Kau menyebut dirimu cahaya, tapi bukankah kau juga telah membunuh tanpa ampun?”

“Berapa banyak darah yang mengalir di tanganmu, Pendekar Suci?”

“Aku hanya bayangan yang kau buang.”

Tubuh Xiau Chen goyah.

Satu kilatan kilat menyambar, dan dunia spiritual di sekitarnya runtuh.

Ketika ia membuka mata, dunia berubah.

Ia berdiri di padang putih tanpa batas, langit gelap tanpa bintang.

Di depan, sosok yang sama — dirinya sendiri, tapi berbalut jubah hitam.

“Ini… dunia dalam jiwaku,” bisik Xiau Chen.

Bayangan itu tersenyum.

“Benar. Dan di sini, aku lebih nyata dari apa pun.”

Xiau Chen menatapnya. “Jika aku harus melawanmu di sini, maka biarlah.”

Ia mengangkat tangannya, membentuk pedang spiritual dari cahaya.

Bayangan itu menirunya — tapi pedangnya hitam pekat, memancarkan aura maut.

“Kau tahu bedanya kita?”

“Kau berjuang untuk menjaga dunia tetap seimbang… tapi aku berjuang agar dunia berhenti menyakiti.”

Keduanya melangkah maju bersamaan, dan pedang mereka bertemu.

Ledakan cahaya memecah langit putih.

Gelombang energi menghantam, membelah tanah spiritual menjadi dua.

Cahaya dan bayangan bertarung, tapi setiap kali saling tebas, luka yang muncul ada di tubuh yang sama — di tubuh Xiau Chen.

Ia terhuyung, darah keluar dari mulutnya.

Namun ia tetap menatap sosok itu tanpa gentar.

“Kau… hanyalah sisa masa laluku,” katanya.

“Aku telah belajar menerima kesalahan, tapi tidak untuk tunduk pada kegelapan.”

Bayangan itu tertawa kecil.

“Kesalahan? Kau memanggil pembunuhan itu kesalahan?

Kau membakar sekte-sekte yang tak bersalah hanya untuk menghancurkan kitab terlarang.

Kau memutus nasib ribuan jiwa, demi satu dunia yang tak pernah memahamimu.

Dan kini, kau ingin disebut suci?”

Xiau Chen terdiam lama.

Di matanya tampak bayangan masa lalu — perang besar, darah mengalir, tangisan para murid yang gugur.

Semuanya nyata. Dan menyakitkan.

“Ya,” katanya pelan.

“Aku pernah jahat. Aku pernah salah. Tapi aku tidak akan berhenti menebusnya.”

Ia memejamkan mata, dan pedang spiritualnya mulai berubah warna — dari emas menjadi perak bening, tanpa bias cahaya atau bayangan.

Bayangan Mo Tian memicingkan mata. “Apa itu?”

“Kekuatan dari jalan ketiga,” jawab Xiau Chen.

“Jalan tanpa cahaya, tanpa kegelapan — jalan kesadaran sejati.”

Ia menebas sekali.

Pedang perak itu menembus tubuh bayangan, tapi tidak memotong.

Sebaliknya, cahaya itu menyerapnya, menarik bayangan itu kembali ke dalam tubuh Xiau Chen.

“Aku tidak akan menghancurkanmu,” bisik Xiau Chen.

“Karena tanpa bayangan, aku tidak akan pernah tahu arti cahaya.”

Bayangan itu menatapnya terakhir kali sebelum menghilang.

“Kau akan menyesal… karena tanpa aku, kau tidak akan pernah cukup kuat melawan langit.”

Cahaya memudar.

Xiau Chen membuka matanya — dan ia kembali di dunia nyata.

Shi Lin menatapnya, wajahnya cemas dan penuh air mata.

“Guru! Kau… kau berhasil?”

Xiau Chen berdiri perlahan.

Tatapannya tenang, tapi ada sesuatu yang berubah — aura di sekitarnya kini stabil, tapi misterius.

Tidak ada lagi perbedaan antara suci dan gelap.

Ia seperti matahari yang juga menyimpan malam di dalamnya.

“Dia tidak lagi melawan,” katanya lirih.

“Bayangan itu kini bagian dari diriku.”

Shi Lin menghela napas lega, tapi wajahnya masih khawatir.

“Kalau begitu… apa yang akan kita lakukan sekarang?”

Xiau Chen menatap langit yang gelap.

“Mencari pecahan keempat — yang sesungguhnya.”

Shi Lin terkejut.

“Apa maksudmu? Bukankah pecahan keempat ada di dalam tubuhmu?”

“Tidak,” jawab Xiau Chen pelan.

“Yang di dalamku hanyalah gema — bayangan jiwa yang meniru bentuk aslinya.

Jiwa keempat sejati masih tersegel di bawah Lautan Kabut Tua.”

Ia menatap ke utara, ke arah laut yang tak terlihat di balik kabut gunung.

“Dan untuk menuju ke sana,” katanya dengan nada berat,

“kita harus melewati tempat yang bahkan para dewa pun takut memijak — Gerbang Roh Tanpa Akhir.”

Malam itu, api unggun kecil menyala di antara mereka.

Shi Lin duduk diam, memandangi wajah gurunya yang diterangi cahaya oranye.

Ada ketenangan aneh dalam sorot matanya sekarang — bukan lagi manusia biasa, tapi juga bukan dewa.

“Guru,” katanya pelan.

“Kalau suatu hari… kau benar-benar kehilangan kendali, apa yang harus kulakukan?”

Xiau Chen tersenyum tipis, menatap api.

“Jika hari itu datang, Shi Lin… bunuh aku sebelum aku membunuh langit.”

Angin bertiup, membawa suara petir jauh di kejauhan.

Dan di langit barat, bulan tampak terbelah dua — satu sisi putih, satu sisi hitam.

1
Nanik S
Lanjutkan Tor
Nanik S
Bagus... walau dulu sektemu hancurkan saja kalau menyembah Iblis
Nanik S
Xiau Chen... hancurkan Mo Tian si Iblis pemanen Jiwa
Nanik S
Lebih baik berlatih mulai Nol lagi dan tidak usah kembali ke Klan
Nanik S
Hadir 🙏🙏
Girindradana
tingkatan kultivasinya,,,,,,,
Rendy Budiyanto
menarik ceritanya min lnjutin kelanjutanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!