Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.
Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Story Rendra di WhatsApp
“Mbak udah lihat story-nya si Rendra di WhatsApp?” tanya Kevin begitu masuk rumah.
Ia langsung meletakkan tas kerjanya di sofa sambil menghela napas panjang, wajahnya terlihat agak kesal dan emosi.
“Enggak. Kamu sendiri kan tau, Mbak gak begitu suka pegang handphone. Bahkan hari ini aja belum Mbak sentuh,” jawabku sambil tetap fokus menyuapi Keenan yang duduk manis di kursi makannya.
Kevin terdiam sejenak, lalu menghela napas berat. “Syukurlah kalau Mbak belum lihat,” ujarnya lirih. Ia segera mengambil kembali tasnya dan berlalu menuju kamar tanpa menjelaskan apa-apa lagi.
Aku mengerutkan kening, sedikit heran dengan ekspresi adikku itu. “Ada apa sih sebenarnya?” gumamku pelan. Tapi rasa penasaran itu kutahan dulu. Sekarang bukan waktunya untuk aku mikirin bang Rendra, karena Keenan masih belum habis makannya.
Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki dari arah teras. Ibuk baru pulang, membawa kantong kresek cukup besar di tangannya.
“Apa itu, Nek?” tanya Keenan yang langsung berdiri dan berlari menghampiri neneknya dengan mata berbinar.
“Ini dari Om Arsya,” jawab ibuk sambil tersenyum dan mulai membuka isi kantong tersebut.
“Wah, ada buah!” seru Keenan girang begitu melihat apel, pir, dan anggur dikeluarkan satu per satu.
“Nanti makan buahnya ya, habisin dulu nasinya,” kata ibuk lembut sambil menepuk kepala cucunya.
Keenan pun mengangguk patuh, meski matanya masih menatap buah-buahan itu dengan penuh semangat.
“Banyak kali buahnya, Buk?” tanyaku heran melihat jumlahnya yang tak sedikit.
“Iya, nih. Nak Arsya ada-ada aja. Mana banyak kali buahnya. Udah ibuk tolak tadi,segan ibuk. Tapi katanya ini buat Keenan jadi ibuk gak boleh nolak!"ujar ibuk menjelaskan.
“Oh…” hanya itu yang keluar dari mulutku. Mungkin sosok Arsya ini Memnag suka anak-anak,makanya dia ngasih buah sebanyak ini. Apalagi waktu pertama aku ketemu dia,dia juga bayarin jajan Keena waktu itu.
“Eh, Buk,” aku bergeser mendekati ibuk.
“Besok-besok jangan terlalu banyak cerita soal Aini sama Tante Ratna, ya. Aini jadi malu, Buk. Bagaimanapun juga ini kan aib rumah tangga Aini.”
Ibuk terdiam, lalu menghela napas. “Iya, maaf. Ibuk kelepasan tadi. Soalnya pas heboh-hebohnya pagi tadi, Buk Ratna juga sempat lihat dari rumahnya. Makanya dia nanya-nanya, ibuk cuma jawab seadanya. Eh malah jadi panjang lebar ceritanya.”
Aku tersenyum kecil, mencoba meredakan rasa bersalah ibuk. “Gak apa-apa, Buk. Cuma mulai sekarang, biar Aini aja yang hadapi semuanya. Gak usah repot-repot mikirin omongan orang.”
Ibuk mengangguk pelan, lalu menatapku dengan penuh kasih. “Iya, Nak. Yang sabar, ya. Nanti juga semua ini berlalu.”
"Kamu juga jangan terlalu sedihin si Rendra. Air mata kamu tak pantas untuk laki-laki sejahat dia."
Aku mengangguk dan tersenyum mendengar ucapan ibuk. Jujur saja,tak semurah itu melupakan laki-laki yang sudah bersama ku selama empat tahun. Rasa cinta itupun tentu masih ada,dan tak mungkin secepat itu aku melupakannya. Meski luka yang ditorehkan bang Rendra cukup dalam dan buat aku sakit.
***
Setelah Keenan tertidur pulas, aku pun berbaring di tempat tidur. Tapi mataku enggan terpejam. Entah kenapa, kalimat Kevin tadi terus terngiang di kepalaku.
“Mbak udah lihat story-nya si Rendra?”
Aku menghela napas panjang, lalu meraih ponsel di atas nakas. Layar menyala, menampilkan beberapa notifikasi pesan dan beberapa panggilan tak terjawab dan semuanya dari Bang Rendra.
Tanganku sempat ragu untuk membuka aplikasi WhatsApp. Tapi rasa penasaran akhirnya mengalahkan segalanya. Begitu kubuka, jantungku langsung berdetak lebih cepat.
Story-nya.
Satu foto yang membuat dadaku sesak. Rendra berdiri tersenyum lebar di depan cermin kamar, kamar yang sangat aku kenali. Kamar yang dulu jadi tempat aku tidur bersamanya.
Di belakangnya, terlihat jelas sosok Della, mengenakan piyama yang cukup seksi dan memeluknya dari belakang. Mereka tampak akrab, terlalu akrab dan tersenyum sumringah menatap kamera ponsel.
Tanganku bergetar. Napasku tersengal. Baru pagi tadi dia memohon agar aku mau memaafkannya, bahkan bersumpah akan berubah dan meminta aku untuk kembali. Tapi sekarang?
Dia justru memamerkan kemesraannya dengan perempuan lain.Perempuan yang merupakan cinta pertamanya dan sekarang menjadi istri sirinya.
Air mataku menetes tanpa sadar. Rasanya seperti disayat perlahan. Luka apalagi yang ingin dia berikan padaku? Apakah dia gak habis fikir,bahwa kamar itu,ranjang itu adalah tempat kita memadu kasih dulu?
“Sebegitu besarnya cinta kamu sama perempuan itu, bahkan kamu rela membawa wanita itu masuk ke dalam kamar yang kita huni selama ini. ” bisikku lirih, berusaha menahan isak.
Aku menatap layar ponsel itu lama, seolah berharap apa yang kulihat barusan hanyalah salah paham atau editan. Tapi tidak karena semua terlalu nyata. Bahkan seprai di kasur itu masih seprai yang aku beli sendiri, dengan motif bunga yang aku pilih karena katanya Rendra suka warna biru. Dan sprei itu masih seperti terkahir kali aku meninggalkan kamar itu.
“Cepat kali dia membawa wanita itu… bahkan kamar itu pun belum seminggu kutinggalkan,” gumamku pelan, senyum getir merekah di bibirku.
Aku menutup ponsel dan menarik selimut, mencoba memejamkan mata. Tapi bayangan foto itu terus berputar di kepala, membuatku semakin sadar bahwa rumah tanggaku benar-benar sudah berakhir.
***
Semalam aku benar-benar tidak bisa tidur. Pikiranku kacau, campur aduk antara sedih, kecewa, dan takut. Masalah rumah tanggaku terus berputar di kepala, membuat dada terasa sesak. Aku memang tipe orang yang selalu berusaha terlihat riang di depan orang lain, padahal di dalam hati sedang berantakan. Kadang aku sendiri heran, kenapa masih bisa tersenyum ketika hati terasa seolah remuk.
Menjelang subuh, aku menyerah pada rasa gelisah itu. Aku bangun dan menuju dapur, menyalakan kompor, mulai memasak nasi, menyiapkan telur dadar, sambal, dan beberapa lauk sederhana yang masih tersisa di kulkas. Entah kenapa, kegiatan di dapur sedikit menenangkan pikiranku. Setidaknya, tanganku sibuk, dan aku tak perlu terlalu lama memikirkan luka yang belum kering.
Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki. Ibuk keluar dari kamar dengan mukena di tangan, matanya masih agak sembab karena baru bangun tidur.
“Aini, pagi sekali kamu bangun?” tanyanya sambil menguap kecil, menatapku heran karena biasanya aku baru bangun setelah azan subuh.
Aku tersenyum tipis. “Iya, Buk. Aini gak bisa tidur dari tadi malam.”
Ibuk mengangguk pelan, menatapku sebentar sebelum berucap, “Ya sudah, ibuk sholat dulu ya.” Beliau kemudian berjalan menuju kamar mandi untuk berwudhu.
Setelah semuanya selesai, aku duduk di kursi makan, menatap meja yang sudah penuh dengan makanan. Entah siapa yang akan menikmatinya selain kami bertiga. Mungkin nanti Kevin sebelum berangkat kerja.
Aku mengambil ponselku, membuka daftar kontak, lalu mulai mengetik pesan ke beberapa teman lama. Aku menanyakan apakah ada lowongan pekerjaan untukku. Sekarang aku harus mulai mandiri, harus menghasilkan uang sendiri demi aku dan Keenan. Aku gak mungkin terus menumpang hidup pada ibuk dan Kevin.
Beberapa menit berlalu tanpa balasan. Aku menghela napas, sedikit pasrah. Tapi tak lama kemudian, layar ponselku menyala. Satu pesan masuk dari Rina , teman lamaku waktu sekolah dan dia teman paling akrab denganku.
“Kebetulan banget nih Aini, di tempat aku kerja lagi buka lowongan. Kalau kamu mau, aku bantuin ya. Posisi cleaning service, tapi kantornya bagus kok, dan orang-orangnya juga ramah.”
Aku menatap layar itu lama, tak percaya. Rasanya seperti ada sedikit cahaya di tengah gelapnya pikiranku.
“Ya Allah… ternyata Engkau masih kasih jalan buat aku,” gumamku pelan, senyum tipis mulai muncul di wajahku. Di saat aku merasa hidupku jatuh, Tuhan malah kasih aku harapan baru.
“Senang amat wajahnya,” komentar ibuk dari ruang tengah, sambil menenteng mukena dan menatapku dengan tatapan penasaran.
Aku refleks tersenyum lebar. “Iya, Buk. Teman Aini bilang dia bisa bantu masukin kerja di tempat dia. Dia juga udah kasih alamat kantornya. Jadi nanti Aini mau ke sana ngajuin lamaran.”
Ibuk tersenyum hangat, wajahnya tampak ikut lega. “Alhamdulillah, kalau gitu. Emang kerja apa, Nak?”
“Cleaning service, Buk,” jawabku jujur sambil tersenyum.
“Tapi gak masalah, yang penting halal, kan Buk?”
Ibuk mengangguk setuju. “Iya, gak masalah. Yang penting halal, Aini. Gak usah malu. Rezeki itu datang dari mana aja. Kalau kamu kerja sungguh-sungguh, insyaAllah ada jalannya.”
Aku menatap ibuk, mataku sedikit berkaca. Betapa beruntungnya aku masih punya beliau. Di saat semua orang memandang rendah, hanya ibuk yang tetap menatapku dengan kasih.
“Terima kasih ya, Buk,” ucapku lirih.
Ibuk tersenyum, menepuk lembut bahuku.
“Sekarang kamu fokus aja ke Keenan sama kerja. Biar urusan rumah tangga yang kemarin itu, Allah sendiri yang urus. Percaya aja, Nak, semua ada waktunya.”
Aku mengangguk pelan. Dalam hati aku berjanji dan bertekad, apapun yang terjadi, aku akan mulai lagi dari nol. Demi anakku, dan demi diriku sendiri.