(Based on True Story)
Lima belas tahun pernikahan yang tampak sempurna berubah menjadi neraka bagi Inara.
Suaminya, Hendra, pria yang dulu bersumpah takkan pernah menyakiti, justru berselingkuh dengan wanita yang berprofesi sebagai pelacur demi cinta murahan mereka.
Dunia Inara runtuh, tapi air matanya kering terlalu cepat. Ia sadar, pernikahan bukan sekadar tentang siapa yang paling cinta, tapi siapa yang paling kuat menanggung luka.
Bertahan atau pergi?
Dua-duanya sama-sama menyakitkan.
Namun di balik semua penderitaan itu, Inara perlahan menemukan satu hal yang bahkan pengkhianatan tak bisa hancurkan: harga dirinya.
Kisah ini bukan tentang siapa yang salah. Tapi siapa yang masih mampu bertahan setelah dihancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ame_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertanda yang Tak Terlihat
"Dik, kamu lihat cahaya itu juga, kan?"
Aku mengangguk atas pertanyaan Mas Hendra. Bola cahaya itu mirip seperti bola petir yang pernah kulihat di medsos---hasil rekaman orang lain, tapi... rasanya berbeda juga.
Bola petir yang ku lihat di medsos terbang dan bergerak sesemaunya lalu menyambar dan membakar benda lain yang mengenainya. Sedangkan bola cahaya yang muncul di kamar kami tadi seolah jatuh dari langit-langit kamar ke atas ranjang, baru tiba-tiba menembak ke foto keluarga. Langit bahkan tidak mendung sama sekali, apalagi hujan. Jadi tidak masuk akal kalau itu adalah bola petir yang sama seperti yang aku tahu.
Mas Hendra menyentuh foto keluarga kami dan memeriksanya. Di foto itu memang hanya ada aku, Mas Hendra, Aldo, dan Gita, karena saat kami ingin mengambil foto untuk ditaruh di undangan khitanan Aldo, Meira tidak mau ikut difoto.
"Gimana, Mas? Ada yang aneh?" Tanyaku.
Mas Hendra menoleh dan menggeleng.
"Enggak, Dik. Fotonya enggak rusak apalagi terbakar, bahkan terasa hangat pun tidak." Katanya.
Jawaban Mas Hendra membuat bola cahaya itu seolah meresap dan menghilang ke dalam foto itu.
Aku menatap foto itu lebih lama dari seharusnya. Entah mengapa, senyum kami di foto itu... kini terasa agak menakutkan.
Astaga, apa-apaan ini?
Sebenarnya itu apa?
Tunggu, jangan-jangan...
[Joko, barusan ada bola cahaya yang tiba-tiba jatuh ke ranjang kami, lalu bola cahaya itu menembak ke foto keluarga yang ada di kamar. Menurutmu itu apa?]
Aku meremas ponsel dengan jantung yang berdebar kencang saat menunggu balasannya. Pekerjaan Dewi memang kotor, tapi... apa mungkin dia berani melakukan hal yang lebih kotor lagi?
Joko menjawab pesanku tak lama kemudian. Jawabannya membuat jantungku seolah berhenti untuk sesaat.
[Waduh, Mbak. Bahaya ini. Dewi itu suka hal-hal yang berbau ilmu hitam. Mbak habis ngapain sampai dia tiba-tiba agresif begitu?]
Aduh...
Ternyata benar.
Kalau Dewi memang suka main ilmu hitam, bola cahaya tadi... apa itu kirimannya?
Aku kembali mengetik jawaban untuk Joko.
[Aku habis ngelabrak dia.]
[Buset, dah. Beranian banget Mbak ngelabrak orang kayak begitu. Pantas dia langsung kirim-kirim begituan.]
Jawabannya membuatku seketika mendengus.
Yah, aku kan tidak tahu kalau Dewi suka hal-hal yang seperti itu. Lagipula bukan salahku jika aku melabraknya. Dia yang mengganggu ketentraman rumah tanggaku lebih dulu.
Malam itu hatiku terus merasa cemas. Aku percaya hal-hal gaib memang ada, tapi aku tidak pernah berurusan dengan mereka. Dan sekarang? Bisa saja kami benar-benar menjadi targetnya.
Aku mencoba untuk tidur, tapi berkali-kali pula aku terbangun. Malam yang seharusnya sepi terasa berbeda. Atmosfirnya terasa lebih dingin dan mencekam, dengan samar-samar terdengar suara ribut dan juga perkelahian.
Ugh, aku harus segera mencari bantuan.
Besoknya aku pergi ke rumah seorang ustadz kenalan yang tinggal satu desa denganku. Kuceritakan fenomena bola cahaya yang kulihat semalam. Ustadz itu mengangguk mengerti setelah mendengar ceritaku, lalu mulai membacakan doa-doa ke sebuah botol berisi air putih.
"Minumkan ini untuk semua anggota keluargamu, ya. Lalu sisanya kamu siramkan ke sekitar rumahmu." Katanya.
Aku menerima botol air itu.
"Tapi ada satu anggota keluarga kami yang tidak ada disini, Meira. Bagaimana cara memberikan ini padanya?"
Ustadz itu menggeleng.
"Tidak perlu, cukup minumkan air ini untuk yang ada di rumahmu saja." Katanya.
Aku mengangguk mengerti. Artinya yang meminum air ini cukup aku, Mas, Hendra, Aldo, Gita, dan juga Ibu.
Aku tidak mendapatkan banyak informasi karena sang ustadz tidak menjelaskan apapun lagi kepadaku. Bahkan, sekedar mengiyakan bahwa itu benar-benar kiriman jahat dari wanita itu pun tidak. Dia hanya memintaku meminum air itu dan banyak-banyak berdzikir saat sehabis sholat, lalu sudah. Tidak ada lagi.
Aku pun mengucapkan banyak terimakasih, terutama karena dia tidak bersedia menerima uang atas pembayaran jasanya. Dia hanya memintaku untuk segera pulang agar air itu bisa segera diminumkan.
Dan aku pun menuruti perkataannya.
Aku segera pulang. Meski tampak bertanya-tanya dengan apa yang kuminta mereka lakukan, mereka akhirnya menurut pada apa yang kuperintahkan.
Satu botol air pemberian ustadz itu akhirnya tandas, dengan sisa-sisa air itu yang kusiram disekitar rumah. Hatiku merasa sedikit lebih lega. Semoga saja... semuanya benar-benar aman terkendali.
Karena ini pertama kalinya kami mengalami hal-hal seperti ini, aku menjadi gatal untuk menceritakan hal ini pada orang lain. Dan dalam hal ini, pada Meira.
Jadi sekitar pukul 8 malam, aku meneleponnya dan menceritakan hal-hal aneh yang terjadi di rumah ini kemarin malam.
[Kamu tahu, Mei... Semalam ada hal aneh. Tiba-tiba muncul sebuah bola cahaya yang jatuh ke atas ranjang kamar Bunda, lalu... Bushhh! Bola cahaya itu tiba-tiba terbang cepat dan menembak ke arah foto keluarga yang di kamar itu. Kamu tahu, kan?]
Aku bercerita dengan semangat. Meira pun mendengarkan ceritaku dengan baik setiap detilnya. Sesekali, dia juga ikut memberi tanggapan.
[Pokoknya hati-hati aja kedepannya, Bun. Dan jangan pernah dekat-dekat dengan wanita itu. Bahaya.] Katanya setelah mendengar ceritaku yang panjang kali lebar itu.
Aku mengangguk.
[Iya, tapi ibu masih agak khawatir karena kamu enggak minum airnya juga. Apa itu enggak apa-apa?]
[Insyaa Allah enggak apa-apa. Si Ustadz kan sudah bilang juga kalau Mei enggak akan kenapa-napa karena Mei enggak ada di rumah. Lagipula Bukan Mei targetnya. Jadi jangan khawatirkan Mei, cukup khawatirkan diri kalian saja disana dan jaga diri dengan baik.] Katanya lagi, terdengar santai seperti biasa.
Aku mengangguk lagi. Yah, Ustadz itu memang berkata begitu. Jadi... mari percaya saja padanya.
[Pasti, Mei. Pasti. Kamu juga jangan lupa untuk tetap jaga diri, ya.]
Kami berbincang cukup lama, sampai akhirnya panggilan telepon itu berakhir juga. Meira sebenarnya sedang ada diluar kos. Sedang beli sempol untuk jajanan malam, katanya. Jadi akhirnya dia meminta izin untuk mematikan telepon karena harus mengendarai motornya kembali ke kosan.
Dan akupun akhirnya bisa tidur dengan nyenyak malam itu.
Berkat bantuan ustadz kenalan kami tersebut, suasana rumah memang menjadi aman terkendali seperti sebelumnya. Tidak ada suara-suara aneh, tidak ada pula suasana malam yang dingin dan mencekam. Semuanya terasa kembali baik-baik saja, hingga seminggu kemudian...
Suara ledakan terdengar dari dalam rumah. Tepatnya, dari samping lemari TV kami.
Awalnya kupikir sesuatu--- misalnya korek api--- yang meledak. Namun setelah mengecek sekitar, tidak ditemukan apapun juga disana. Aldo bahkan memeriksa kolong lemari namun tetap tidak ada tanda apapun.
Seolah... suara ledakan itu muncul tanpa alasan.
"Kok aneh ya, Bun? Padahal suara ledakannya terdengar jelas dari sini tadi, tapi setelah di cek enggak ditemukan apapun disini. Bau aneh juga tidak ada." Kata Aldo.
Iya, Nak.
Memang kita tidak menemukan korek api atau benda apapun yang meledak disini, tapi...
Bagaimana jika sesuatu yang lebih penting yang meledak dan hancur?
Terutama karena mungkin adanya paksaan dari luar yang menuntut secara paksa untuk masuk ke dalam rumah ini?
Misalnya... pertahanan yang Ustadz itu pasang di rumah kita seminggu yang lalu?
Untuk pertama kalinya sejak bola cahaya itu muncul, aku merasa... mungkin kami tak pernah benar-benar aman.
***
Kalian pernah ngalamin hal yang mirip kayak Inara nggak, guys?
Yang awalnya cuma ngira itu kebetulan, tapi makin lama makin ngerasa ada yang nggak beres? 😳
Kalau kalian jadi Inara, apa kalian bakal langsung panggil Ustadz juga, atau malah pura-pura nggak liat biar nggak makin takut? 😅
Btw, menurut kalian... suara ledakan di akhir tadi itu apa, ya?
Tulis pendapat kalian di kolom komentar, ya!
Aku pengin tahu teori kalian sebelum lanjut ke bab berikutnya 😈🔥
Semangat berkarya ya Thor