NovelToon NovelToon
Harga Diri Seorang Istri

Harga Diri Seorang Istri

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Wanita Karir / Penyesalan Suami / Selingkuh / Romansa
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Bunda SB

Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.

Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.

Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.

Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.

Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Permintaan yang Mengejutkan

Bandara Soekarno-Hatta dipenuhi oleh hiruk pikuk pagi hari, penumpang yang bergegas, pengumuman penerbangan yang bergema, dan suara koper yang berderak di lantai marmer. Rangga berdiri di area kedatangan Terminal 3, matanya tertuju pada pintu keluar penumpang internasional.

Ia terlihat lelah, kantung mata yang menghitam dan kemeja yang sedikit kusut. Dua hari terakhir adalah mimpi buruk yang belum berakhir. Rapat marathon dengan dewan direksi. Panggilan telepon dengan klien yang mulai ragu. Email-email penolakan dari calon investor. Dan yang paling menyiksa, ketidaktahuan tentang siapa sebenarnya yang menghancurkan perusahaannya.

Tapi pagi ini, ia harus menghadapi masalah lain, Ayunda.

Pintu otomatis terbuka, dan Ayunda muncul dengan koper besar di sampingnya. Ia mengenakan dress casual berwarna pink, rambut diikat ekor kuda tinggi, kacamata hitam bertengger di hidungnya. Wajahnya terlihat lelah dan kesal, bibir yang mengerucut, dagu yang terangkat tinggi, ekspresi seorang wanita yang sangat tidak senang.

Rangga melangkah mendekat. "Ayunda."

Ayunda berhenti, menatap suaminya dari balik kacamata hitamnya. Tidak ada senyuman. Tidak ada pelukan hangat seperti yang biasa ia berikan.

"Halo," sapanya datar.

"Ayo, aku bantu kopernya," Rangga meraih gagang koper, tapi Ayunda menariknya kembali.

"Aku bisa sendiri."

"Sayang, jangan seperti ini..."

"Seperti apa?" Ayunda melepas kacamatanya, menatap Rangga dengan mata yang sedikit memerah, tanda ia menangis di pesawat. "Seperti istri yang ditinggalkan sendirian di hari kedua pernikahan? Oh maaf, aku memang seperti itu sekarang."

Rangga menghela napas panjang. "Ayo kita bicara di mobil. Di sini terlalu ramai."

Ayunda menatapnya sejenak, lalu mengangguk kaku. Mereka berjalan menuju parkiran dalam keheningan yang tidak nyaman, keheningan yang tidak seharusnya ada antara pasangan pengantin baru.

Mobil Rangga terparkir di lantai tiga area parkir. Begitu masuk, Rangga menyalakan AC dan duduk diam sejenak sebelum berbicara.

"Ayunda," ia mulai dengan nada lembut, "aku minta maaf."

Ayunda menatap ke depan, tidak menatap suaminya. "Untuk yang mana? Untuk meninggalkan aku? Untuk membentakku di telepon? Atau untuk membuatku merasa bodoh karena percaya pernikahan kita akan berbeda?"

"Untuk semuanya," jawab Rangga tulus. "Aku tahu aku salah. Aku tahu aku mengecewakan kamu. Tapi kamu harus mengerti, perusahaan ku sedang dalam krisis besar. Aku..."

"Aku tahu," potong Ayunda, kali ini menoleh menatap Rangga. "Aku tahu tentang pembatalan proyek. Aku tahu tentang kerugian miliaran. Aku baca beritanya."

"Kalau kamu tahu, kenapa kamu masih marah?"

"Karena kamu tidak jujur padaku!" Ayunda mulai meninggi suaranya. "Kamu bilang 'ada urusan mendadak' dan langsung pergi. Kamu tidak jelaskan apa-apa. Kamu tidak bilang seberapa serius masalahnya. Kamu hanya... pergi. Seperti aku tidak penting."

Rangga menatap setir mobilnya, tidak tahu harus berkata apa. Karena memang itulah yang ia rasakan saat itu, Ayunda tidak sepenting krisis perusahaan.

"Maafkan aku," ulang Rangga. "Aku janji akan lebih baik. Aku janji akan lebih komunikatif. Aku janji..."

"Cukup dengan janji," potong Ayunda lelah. "Aku tidak mau dengar janji lagi, Rangga. Aku mau tindakan nyata."

"Oke," Rangga mengangguk cepat. "Apapun yang kamu mau. Aku akan buktikan."

Ayunda diam sejenak, seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu ia berbicara pelan tapi tegas.

"Aku mau tinggal di rumahmu."

Rangga mengernyit. "Rumah ku? Kamu sudah tinggal di..."

"Rumah yang kamu tinggali dengan Indira," klarifikasi Ayunda.

Warna dari wajah Rangga menghilang. "Apa?"

"Kamu dengar aku," Ayunda menatapnya dengan tatapan yang menantang. "Aku mau tinggal di sana. Bersama kamu. Dan Indira."

"Ayunda, itu tidak mungkin..."

"Kenapa tidak mungkin?" Ayunda memotong. "Kamu sudah menikah denganku. Kamu sudah sah jadi suamiku. Kenapa aku harus sembunyi-sembunyi di apartemen sementara istri pertamamu masih nyaman di rumah besar yang seharusnya juga jadi hakku?"

"Karena itu tidak sopan!" Rangga mulai panik. "Karena itu akan menyakiti Indira! Karena..."

"Menyakiti Indira?" Ayunda tertawa sarkastik. "Rangga, kamu sudah menikah dengan wanita lain sementara masih punya istri sah. Kamu sudah menyakitinya dengan cara terburuk. Apa bedanya kalau aku tinggal di sana?"

"Beda!" Rangga bersikeras. "Sangat beda! Satu hal adalah perselingkuhan yang dia mungkin bisa maafkan suatu hari, tapi membawa selingkuhan tinggal di rumahnya sendiri? Itu penghinaan yang tidak bisa dimaafkan!"

"Tapi Indira sudah tahu tentang pernikahan kita," Ayunda berargumen. "Dia bahkan datang ke resepsi kita. Dia lihat kita menikah. Dan kamu lihat dia tenang waktu itu, kan? Tidak marah. Tidak mengamuk. Dia bahkan memberikan ucapan selamat dengan sopan."

Rangga terdiam, mengingat momen itu. Memang benar, Indira terlihat sangat tenang. Terlalu tenang, sekarang ia pikir-pikir. Seperti seseorang yang sudah tidak peduli lagi.

"Kalau dia tidak mempermasalahkan pernikahan kita," lanjut Ayunda, "kenapa dia akan mempermasalahkan aku tinggal di sana? Toh dia sudah tahu semuanya. Malah lebih baik seperti ini, terbuka, jujur, tidak ada yang sembunyi-sembunyi."

"Ayunda, kamu tidak mengerti..."

"Aku mengerti dengan sempurna," potong Ayunda. Matanya mulai berkaca-kaca. "Aku mengerti kalau kamu masih peduli dengan perasaan Indira lebih dari perasaanku. Aku mengerti kalau aku masih nomor dua. Aku mengerti kalau aku harus puas dengan apartemen kecil sementara istri pertamamu tinggal dengan nyaman di rumah mewah."

"Bukan seperti itu..."

"Lalu seperti apa?" Ayunda mulai menangis. "Rangga, aku sudah korbankan segalanya untukmu. Aku terima dicap sebagai perebut suami orang. Aku terima dihina di depan semua tamu di resepsi kita. Aku terima ditinggalkan sendirian di Bali. Dan sekarang kamu tidak mau mengabulkan satu permintaan sederhana ini?"

"Ini bukan permintaan sederhana, Ayunda..."

"Bagi ku ini sederhana!" Ayunda menatap Rangga dengan mata penuh air mata. "Ini tentang kamu memilih. Aku atau dia. Kalau kamu benar-benar mencintaiku, kalau kamu benar-benar mau berkomitmen dengan pernikahan kita, kamu akan bawa aku pulang ke rumahmu. Rumah yang seharusnya juga jadi rumahku sekarang."

Rangga merasakan kepala nya berdenyut. Ini tidak masuk akal. Ini akan jadi bencana. Indira tidak mungkin menerima ini dengan tenang. Wanita secerdas apapun, setenang apapun, pasti akan murka kalau suaminya membawa selingkuhan tinggal di rumahnya.

Tapi di sisi lain, Ayunda benar. Indira sudah tahu segalanya. Dia tidak marah atau setidaknya tidak menunjukkan amarah di depan umum.

"Dira itu wanita yang pengertian," Rangga berbicara, lebih ke dirinya sendiri daripada ke Ayunda. "Selama pernikahan, dia tidak pernah marah besar. Tidak pernah membuat drama. Dia selalu sabar, selalu mengerti, selalu... mengalah."

"Nah, itu!" Ayunda mengusap air matanya. "Kalau dia memang seperti itu, pasti dia tidak akan mempermasalahkan ini. Malah mungkin dia sudah siap untuk pisah. Tinggal kita formalkan saja."

Rangga memikirkan kata-kata Ayunda. Mungkin memang benar. Mungkin ini cara terbaik untuk membuat Indira benar-benar menerima pernikahan keduanya dengan Ayunda.

"Aku tidak mau tinggal sendiri lagi, Sayang," Ayunda melanjutkan dengan suara yang lebih lembut, lebih memohon. "Aku baru menikah. Aku mau tinggal dengan suamiku. Aku mau bangun tidur di sampingmu. Aku mau sarapan bersama. Aku mau merasakan jadi istri yang sebenarnya, bukan istri yang harus sembunyi di apartemen seperti selingkuhan."

Kata-kata itu menohok Rangga. Karena memang itulah yang terjadi, Ayunda masih diperlakukan seperti selingkuhan, bukan istri sah. Dan itu tidak adil untuknya.

"Baiklah," akhirnya Rangga menyerah. "Baiklah. Kamu bisa tinggal di sana."

Wajah Ayunda langsung cerah. "Serius?"

"Serius," Rangga mengangguk, meski hatinya tidak yakin. "Tapi dengan satu syarat. Kita harus jelaskan situasinya ke Indira dengan baik-baik. Kita tidak bisa tiba-tiba masuk dengan kopermu dan bilang kamu akan tinggal di sana."

"Tentu," Ayunda mengangguk cepat. "Aku akan sopan. Aku janji. Aku tidak akan buat masalah."

Rangga tidak terlalu yakin dengan janji itu, tapi ia sudah terlalu lelah untuk berdebat lagi. Ia menyalakan mesin mobil, mengeluarkannya dari area parkir.

Dalam perjalanan pulang, Ayunda mulai ceria, bercerita tentang penerbangan, mengeluh tentang makanan pesawat, merencanakan bagaimana ia akan atur kamar mereka. Rangga mendengar setengah hati, pikirannya melayang ke Indira.

Bagaimana reaksinya nanti? Apakah dia akan tetap tenang seperti di resepsi? Atau ini akan jadi pemicu yang membuat amarahnya meledak?

Entah kenapa, Rangga merasa ada yang tidak beres. Indira yang datang ke Bali itu terlalu tenang, terlalu terkontrol, terlalu... berbeda. Itu bukan Indira yang ia kenal. Itu seperti orang lain dengan wajah Indira.

Tapi mungkin memang itulah yang terjadi ketika seseorang sudah tidak peduli lagi. Mereka jadi tenang karena tidak ada lagi yang bisa melukai mereka.

"Rangga? Kamu dengar aku?" suara Ayunda menariknya kembali ke realitas.

"Hmm? Maaf, apa tadi?"

"Aku bilang, aku mau kamar yang menghadap taman. Kamarmu dengan Indira kan yang itu?"

"Iya," jawab Rangga.

"Bagus," Ayunda tersenyum puas. "Aku suka pemandangan taman."

Rangga tidak menjawab. Ia hanya fokus menyetir, mencoba mengabaikan perasaan tidak enak yang terus menggerogoti perutnya.

1
rian Away
awokawok Rangga
Ariany Sudjana
itu hukum tabur tuai Rangga, terima saja konsekuensinya. Indira kamu sia-siakan demi batu kerikil
yuni ati
Menarik/Good/
Ma Em
Alhamdulillah Indira sdh bisa keluar dari rumahnya, Rani emang sahabat terbaik , pasti Rangga kaget pas buka kamar Indira sdh pergi .
Wulan Sari
ceritanya semakin kesini semakin menarik lho bacanya, seorang istri yg di selingkuhi suami,bacanya bikin greget banget semoga yg di aelingkuhi lepas dan cerita akhirnya happy end semangat 💪 Thor salam sukses selalu ya ❤️👍🙂🙏
Wulan Sari
suka deh salut mb Indira semangat 💪
Ma Em
Makanya Rangga jgn sok mau poligami yg akhirnya akan membawamu pada penyesalan , kamu berbuat sesuka hati membawa istri keduamu tinggal bersama Indira istri pertamamu dan mengusirnya dari kamarnya dan malah tinggal dikamar tamu kan kamu gila Rangga , emang Indira wanita hebat dimadu sama suami tdk menangis tdk mengeluh berani melawan berani bertindak 👍👍💪💪
Nany Susilowati
ini novel tahun berapakah kok masih pake SMS
Ariany Sudjana
Rangga bodoh, apa dengan mengunci Indira di kamar tamu, maka Indira akan berubah pikiran? justru akan membuat Indira semakin membenci Rangga
Ma Em
Semoga Indira berjodoh dgn Adrian setelah cerai dgn Rangga .
Ariany Sudjana
Indira harus bercerai dari Rangga, ngapain juga punya suami mokondo, dan juga kan Rangga sudah punya Ayunda. lebih baik Indira kejar kebahagiaan kamu sendiri, apalagi kamu perempuan yang mandiri. masih ada Adrian, yang lebih pantas jadi suami kamu, dan yang pasti lebih berkelas dan bertanggung jawab
Dew666
🥰🥰🥰
Mundri Astuti
mending kamu pisah dulu Dira sama si kutil, biar ga jadi masalah ntar klo sidang cerai
Wulan Sari: iya cerai saja buat apa RT yang sudah ada perselingkuhan sudah tidak kondusif di teruskan juga ga baik mana ada seorang wanita di selingkuhi mau bersama heee lanjut Thor semangat 💪
total 1 replies
Ariany Sudjana
Rani benar Indira, jangan terus terpuruk dengan masalah rumah tangga kamu. kamu perlu keluar dari rumah toxic itu, perlu waktu untuk menyenangkan diri kamu sendiri. kamu tunjukkan kamu perempuan yang tegar, kuat dan mandiri
Ma Em
Rangga lelaki yg banyak tingkah punya usaha baru melek saja sdh poligami , Indira saja sang istri pertama tdk pernah dikasih nafkah eh malah mendatangkan madu yg banyak maunya yg ingin menguasai segalanya , Ayunda kira nikah dgn Rangga bakal terjamin hidupnya ga taunya malah zonk
Ariany Sudjana
bagus Indira, kamu harus tegas sama itu pelakor. urusan rumah tangga dan cari pembantu bukan urusan kamu lagi, tapi urusan Ayunda, yang katanya ingin diakui jadi nyonya rumah 🤭🤣
Ma Em
Indira hebat kamu sdh benar kamu hrs berani melawan ketidak Adilan dan mundur itu lbh baik serta cari kebahagiaanmu sendiri Indira daripada hidupmu tersiksa 💪💪💪
Ariany Sudjana
bagus Indira, kamu harus tegas dan tetap berdiri tegak, di tengah keluarga yang mengagungkan nama baik, tapi tingkah laku keluarga itu yang menghancurkan nama baik itu sendiri. sudah Indira, tinggalkan saja Rangga, masih banyak pria mapan yang lebih bertanggung jawab di luar sana dan tidak sekedar menghakimi kamu
Ariany Sudjana
itulah hukum tabur tuai, Rangga sudah memilih Ayunda jadi istrinya, ya terima semua kelebihan dan kekurangannya, jangan mengeluh dan jangan berharap Indira akan berubah pendirian
Dew666
😍😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!