Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.
Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.
Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Jalan Yang Paling Aman
“Bukankah Dia…” Sasha terhuyung mundur, suara yang tercekat. Jari telunjuknya yang gemetar menunjuk ke layar yang baru saja menampilkan wajah Elang, Direktur Infrastruktur DigiRaya.
Zega membeku. Matanya tidak memancarkan kejutan, melainkan perhitungan yang dingin. Ia memproses data, menghubungkan titik-titik yang baru terkuak. “Elang,” ulangnya, menguji nama itu seolah nama itu adalah sebuah kerentanan. “Pria yang memegang kunci fisik darurat untuk semua ruang vital DigiRaya. Akses tak terbatas.”
Sasha menggeleng, rasa sakit fisik menyertai penemuan ini. Air mata yang selama ini ia tahan kini terasa panas. “Tidak mungkin. Elang sudah bekerja untuk Bara sejak perusahaan ini masih di garasi. Dia adalah orang kepercayaan Bara. Dia bahkan yang mengurus pemakaman…”
“Victoria, fokus,” potong Zega tajam, suaranya memantul di antara rak-rak server. Ia menarik Sasha kembali ke fakta. “Video tidak berbohong. Enam bulan lalu, Elang masuk ke ruang server ini pada pukul dua pagi, tanpa otorisasi digital. Dia menjatuhkan sebuah *flash drive* yang berisi peringatan terenkripsi. Lalu, enam bulan kemudian, setelah Bara terbunuh, Express Teknologi mengirimkan gambar pengakuan pembunuhan dari kamera yang dipasang di seberang kantor Elang.”
Keheningan kembali menyelimuti ruang server, namun kali ini terasa mendidih, dipenuhi bau ozon dan pengkhianatan. Sasha mundur dari monitor, punggungnya menabrak dinding baja yang dingin. Pengkhianatan ini lebih buruk daripada gugatan warisan; ini adalah kanker yang merembes dari inti fondasi perusahaan yang ia cintai.
“Mengapa?” Sasha mendesis, mencoba mencerna logika yang hancur. “Jika dia adalah mata-mata Express Teknologi atau Paman Hadi, mengapa dia meninggalkan peringatan untuk Bara? Itu tidak masuk akal!”
Zega mematikan monitor, menyisakan hanya cahaya redup dari indikator server yang berkedip tak henti-henti. Dalam kegelapan semi-gelap itu, siluet Zega tampak lebih tegas, lebih berbahaya. “Ada tiga kemungkinan, dan semuanya buruk. Pertama, dia ganda. Bekerja untuk Express, tapi loyalitas lamanya pada Bara membuatnya memberi peringatan. Kedua, dia dipaksa, dan peringatan itu adalah permintaan bantuan diam-diam. Ketiga, dia sengaja menanamkan peringatan itu agar Bara menemukan ‘jejak’ Express, membuat Express terlihat seperti musuh utama, sementara Elang membersihkan tangannya dari kejahatan yang lebih besar. Ia mengorbankan Bara untuk melindungi aktor yang lebih besar.”
“Yang mana yang kau yakini?” tanya Sasha, suaranya lirih. Ia sekarang sepenuhnya bergantung pada analisis dingin pria di depannya ini.
“Aku yakin dia berbahaya,” jawab Zega, berbalik menghadapnya. Langkahnya mendekat, memendekkan jarak. “Siapa pun yang bisa mengakses server *core* dan merusak log CCTV sefleksibel itu bukanlah pion kecil. Dia kunci utama. Dan dia masih berkeliaran di kantor ini, kemungkinan besar di bawah perintah Hadi.”bisik Zega tegas.
Sasha merasakan kepalanya mulai berdenyut. Trauma, kelelahan, dan penemuan kebenaran pahit ini memaksanya mencapai batasnya. “Kita harus menguncinya. Sekarang. Hubungi Kepala Keamanan…”
“Tidak,” Zega menggeleng cepat. Ia kini berdiri hanya beberapa inci dari Sasha. “Kau tidak mengerti. Jika Elang adalah kaki tangan Hadi dan Express, seluruh struktur keamanan internalmu sudah dirusak. Tim Rama, tim Guruh—semuanya mungkin sudah di bawah kendalinya. Kita tidak bisa mempercayai siapa pun. Kita tidak bisa menggunakan jaringan komunikasi DigiRaya. Setiap pesan yang kau kirim mungkin saja langsung sampai di telinga Paman Hadi. Atau express teknologi."
Ia mengulurkan tangan, meraih pergelangan tangan Sasha. Sentuhan Zega selalu terasa sengatan listrik, tetapi kali ini, sentuhan itu adalah jangkar yang keras dan nyata. “Kita baru saja memberitahunya, melalui serangan balik kita, bahwa kita sudah melihat kartu permainannya. Kita menemukan pembunuhan itu. Sekarang, mereka akan bergerak cepat untuk membungkam kita. Sangat cepat.”
Sasha menatap mata Zega, yang memancarkan intensitas yang membakar dalam kegelapan. Ia menyadari bahwa ia baru saja kehilangan kendali penuh atas perusahaannya sendiri. Kantor yang seharusnya menjadi bentengnya kini adalah sangkar yang mematikan.
“Kita harus keluar dari sini,” bisik Sasha.
“Tepat,” Zega membalas. “Tapi bukan untuk melapor. Kita buronan sekarang, Victoria. Begitu mereka tahu kita memiliki bukti keterlibatan Elang, mereka akan membalikkan narasi. Kau akan dituduh merusak log perusahaan, menuduh karyawan senior, bahkan dituduh mengarang cerita pembunuhan Bara demi saham warisan. Mereka akan menjadikanmu monster di mata publik.”
Zega melepaskan pergelangan tangannya, tetapi hanya untuk meletakkan kedua tangannya di bahu Sasha. Panas tubuhnya merambat melalui kain blus sutra yang dingin. Keintiman yang dipaksakan oleh krisis ini membuat napas Sasha tertahan. Jarak fisik mereka menghilang, digantikan oleh kesadaran yang sangat kuat bahwa mereka hanya memiliki satu sama lain melawan dunia yang sudah berbalik memusuhi mereka.
“Aku lelah,” bisik Sasha, rasa sakit dan ketakutan bercampur dalam nada suaranya. Ia bersandar sedikit ke depan, mencari kehangatan yang tidak ia sadari ia butuhkan. Kepalanya bersandar di dada Zega, tempat ia bisa mendengar detak jantung pria itu yang tenang dan stabil, sebuah ritme yang anehnya menenangkan di tengah badai digital yang baru saja ia ciptakan.
Zega tidak mendorongnya menjauh. Sebaliknya, tangannya terangkat perlahan, membelai punggung Sasha. Sentuhan itu tidak sensual, tetapi sangat intim—sebuah pengakuan diam-diam atas ikatan yang telah mereka tempa di bawah tekanan tinggi dan ancaman kematian. Tubuh Sasha merespons dengan kehangatan yang mendesak.
“Aku tahu,” suara Zega melembut, sebuah resonansi langka dari sisi manusianya. “Kau sudah bertarung selama dua hari tanpa henti. Tapi istirahat harus ditunda.”
Ia memiringkan dagunya, memaksa Sasha menatap matanya lagi. Matanya gelap, penuh pertanyaan, tetapi juga penuh tekad. “Kita akan pergi. Kita harus menghilang sebelum matahari terbit. Begitu mereka melihat *Final Code* yang kita kirimkan, mereka akan mengunci semua pintu keluar.”
“Ke mana?” Sasha bertanya, suaranya hampir tidak terdengar.
“Ke tempat yang tidak akan pernah mereka cari. Ke ‘alam liar’ digital. Kita akan membawa semua data ini, dan kita akan menggunakannya untuk menjatuhkan mereka dari luar. Kita akan menjadi hantu yang menghantui DigiRaya.”
Zega menariknya sedikit, melepaskan pelukan itu dengan keengganan yang jelas. Ia menyalakan sebuah *flash drive* kecil, memindai ruang server sekali lagi, menghapus semua jejak mereka. “Aku sudah membersihkan semua jejakku. Kau harus bertindak seolah-olah kau hanya seorang CEO yang baru saja selamat dari serangan siber. Elang tidak boleh tahu kita sudah tahu tentang dia.”
Ia bergerak cepat, mengambil ransel hitam ramping yang tersembunyi di bawah konsol. Ia mengeluarkan dua pasang pakaian sederhana, beberapa perangkat komunikasi yang disamarkan, dan dua paspor palsu dengan nama samaran. “Ganti pakaianmu. Kita keluar melalui terowongan pemeliharaan. Cepat.”
Sasha mengangguk, adrenalin memompa melalui pembuluh darahnya. Ia mengenakan celana jeans gelap dan jaket kulit yang diberikan Zega, merasakan perubahan identitas dari CEO yang berkuasa menjadi buronan yang gesit. Ketika ia kembali, Zega sudah siap, berdiri di depan pintu baja.
“Ingat,” Zega mengingatkan, matanya mengunci mata Sasha. “Jangan pernah gunakan ponsel atau kartu kreditmu. Jangan bicara kepada siapa pun di kantor. Kita pergi sendirian.”
Sasha mengangguk. Ia meraih tangan Zega, dan kali ini, genggaman itu adalah pilihan. Sebuah aliansi yang dimeteraikan oleh darah, pengkhianatan, dan janji balas dendam. Mereka berjalan menuju pintu darurat, menuju koridor belakang yang gelap, pintu baja itu berdesis terbuka.
Mereka melangkah keluar, bayangan mereka memanjang di lantai marmer yang dingin, bergerak secepat mungkin menuju tangga darurat. Udara terasa berat, penuh dengan ancaman yang tidak terlihat.
Tepat ketika mereka mencapai pintu keluar layanan di lantai dasar, Zega tiba-tiba berhenti. Ia menarik Sasha kembali ke balik pilar beton tebal, menekan tubuhnya ke dinding. Sasha merasakan getaran tegang dari tubuh Zega. Ia tidak perlu bertanya.
Di lobi utama, tiga mobil sedan hitam mewah baru saja tiba, melanggar keheningan dini hari. Pintu belakang mobil terbuka. Keluar dari mobil pertama, bukan Paman Hadi, melainkan Elang, Direktur Infrastruktur, dengan wajah tegang dan tergesa-gesa. Di belakangnya, muncul dua pria bertubuh besar dengan setelan jas mahal dan tatapan mata yang dingin, bukan petugas keamanan DigiRaya, melainkan agen yang sangat terlatih.
“Mereka tahu kita ada di sini,” bisik Sasha, napasnya tertahan.
“Tidak,” Zega membalas, suaranya sangat rendah. “Mereka hanya mengantisipasi. Tapi kita kehabisan waktu.”
Elang berbicara dengan cepat kepada kedua pria itu, lalu menunjuk langsung ke arah koridor yang menuju ruang server—koridor yang baru saja mereka tinggalkan.
“Sial,” desis Zega. Ia menggenggam tangan Sasha lebih erat. “Rencana berubah. Kita harus melewati lobi utama.”
“Melewati mereka?” Sasha membelalakkan matanya. Jarak antara mereka dan pintu keluar lobi hanyalah seratus meter, tetapi dipenuhi oleh musuh yang baru datang. “Itu gila.”
“Tidak segila tetap berada di sini,” Zega menarik napas dalam-dalam, pandangannya tertuju pada pintu putar kaca di ujung lobi. “Tunggu aba-aba. Ketika mereka semua masuk ke koridor server, kita lari. Jangan menoleh ke belakang.”
Mereka menunggu dalam ketegangan yang menyiksa. Ketiga pria itu, dipimpin oleh Elang, menghilang ke dalam koridor yang gelap. Ini adalah kesempatan mereka.
“Sekarang!”
Zega menarik Sasha, dan mereka berlari. Mereka menyeberangi marmer lobi dengan kecepatan penuh. Pintu putar semakin dekat. Tepat ketika mereka hendak mencapainya, sebuah suara bergema di seluruh lobi, dipicu oleh sensor gerakan mereka.
“Jangan bergerak!”
Sasha menoleh sekilas. Salah satu agen yang bertubuh besar telah berbalik dan melihat mereka. Agen itu mengeluarkan pistol dengan peredam suara, mengarahkannya tepat ke punggung Sasha. Zega tidak ragu. Ia mendorong Sasha ke depan dengan kekuatan luar biasa, sementara ia sendiri melompat ke sisi lain pintu putar, menyebabkan pintu itu berputar cepat, menghalangi pandangan agen itu sesaat.
Terdengar bunyi *thwip* peluru yang memecah udara, menghantam kaca tebal pintu putar, tepat di samping kepala Zega.
Sasha jatuh tersungkur di trotoar luar, napasnya tersengal. Ia mendongak, melihat Zega melompat melewatinya. Tiba-tiba, dari mobil sedan hitam yang ketiga, yang terparkir paling dekat dengan pintu, pintu pengemudi terbuka. Sosok Paman Hadi muncul, wajahnya yang biasanya ramah kini berubah menjadi topeng amarah dingin.
Paman Hadi mengangkat teleponnya, matanya terpaku pada Sasha dan Zega yang berusaha bangkit.
“Ke mana kalian akan pergi, keponakanku?” teriak Paman Hadi, suaranya dipenuhi kemenangan keji. “Kau tidak akan bisa lari dari warisanmu!”
Sasha dan Zega tidak menjawab. Mereka berlari ke jalanan yang masih sepi, meninggalkan gedung DigiRaya yang kini terasa seperti markas musuh. Mereka berhasil lolos dari lobi, tetapi di jalan raya, sepasang lampu depan mobil tiba-tiba menyala terang, memotong jalur mereka. Sebuah mobil sport mewah berwarna gelap melaju cepat, menghadang pelarian mereka.
Di balik kemudi mobil sport itu, Sasha melihat wajah yang lain. Wajah yang seharusnya berada di dalam gedung, mencari mereka. Itu adalah Elang, Direktur Infrastruktur mereka.
Mereka terjebak. Di belakang mereka, Paman Hadi dan agen-agennya keluar, berteriak. Di depan, Elang memblokir jalan, menyeringai seperti predator yang menikmati mangsanya.
“Pilihanmu, Victoria,” desis Zega, menarik Sasha kembali ke bayangan gedung yang menjulang. “Kanan atau kiri?”
Sasha melihat ke kiri. Sebuah gang sempit gelap, penuh sampah dan kemungkinan jebakan. Ia melihat ke kanan. Jalan raya utama yang ramai, tetapi terlalu terbuka untuk dikejar mobil. Ia melihat Elang yang kini keluar dari mobil, memegang sebuah pistol yang berkilauan di bawah lampu jalan.
“Kiri,” putus Sasha, suaranya mantap. Ia tidak akan memilih yang mudah. “Ke tempat yang paling kotor.”
Zega mengangguk, lalu meraih tangan Sasha. Mereka menerobos ke dalam gang sempit itu, meninggalkan gemerlap lobi DigiRaya, dan masuk ke dalam perut gelap Jakarta, menghilang dalam bayangan. Di belakang mereka, tawa Paman Hadi bergema penuh kemenangan.
“Lari sepuasmu!” teriak Paman Hadi. “Karena kota ini adalah milikku, dan kau tidak akan pernah bisa menyembunyikan kebenaran itu!”
Zega dan Sasha tidak peduli lagi dengan ocehan Hadi. Mereka terus berlari mencari celah untuk mempertahankan diri dan menyembunyikan diri mereka untuk sementara waktu.
Langit kota mulai terang....