“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 11
Hujan gerimis perlahan turun saat pintu gerbang kayu besar itu berderit terbuka.
Di ambang pintu berdiri seorang perempuan muda dengan pakaian sederhana, namun auranya menggetarkan udara sekitar. Langkahnya tenang, tapi suara gesekan sandal anyamnya dengan lantai batu membangunkan rasa takut yang tak bisa dijelaskan.
Setelah lebih dari seminggu menghilang, Arum akhirnya kembali ke rumah Juragan Karta.
Seorang pelayan muda yang membuka pintu, matanya tampak terbelalak. “N-nona Arum?”
Tanpa dipersilahkan, Arum melangkah masuk. Kulitnya terlihat lebih cerah dari sebelumnya, nyaris pucat—dan mulus bak porselen.
Pelayan itu melangkah mundur, berbalik badan kemudian berlari kencang—bak dikejar setan.
Ia menelusuri lorong-lorong temaram, dan berhenti di ambang pintu dapur, lalu tersungkur sambil memekik—
“Nyai!”
Nyai Lastri yang tengah duduk memeriksa daftar persediaan jamu pun langsung menoleh, keningnya mengernyit saat melihat sang pelayan bercucuran keringat.
“Ono opo? Mukamu itu udah kayak ngelihat demit.” Manik Nyai kembali menatap buku kecil ditangannya. Kembali mencatat persediaan jamu yang tersisa.
“Arum, Nyai. Nona Arum telah kembali,” gumam sang pelayan cemas.
Buku kecil dalam genggaman Nyai Lastri sontak terlepas, terhempas ke lantai kayu. “A-rum?!”
Nyai Lastri langsung berjalan cepat, meninggalkan area dapur. Suara langkah terburu-buru pun terdengar dari arah lorong timur.
Wanita paruh baya itu membuka pintu ruang utama dengan panik, hampir menabrak pelayan yang sedang membungkuk. Napasnya memburu, tangannya juga gemetar. Ia sempat berpikir pelayan itu berhalusinasi. Tapi, ternyata tidak.
Di sana, di tengah ruangan luas dengan lampu gantung yang menggoyang pelan, berdirilah Arum. Mengenakan kebaya berwarna gading, rambutnya disanggul rapi dengan hiasan kecil dari bunga melati yang segar.
Wajahnya ... sangat cantik. Tapi bukan sekadar cantik—ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Aura yang menusuk dan membuat Nyai Lastri merinding tanpa sebab.
Dan yang membuat jantungnya nyaris berhenti adalah—Juragan Karta berdiri terpaku di hadapan Sekar Arum.
Lelaki tua itu menatap Arum seolah baru melihat bidadari turun dari langit. Bibirnya terkatup, matanya membelalak, lalu perlahan berjalan mendekat dan mendekap.
“Arum ...,” suara Juragan lirih, hampir seperti gumaman. “Ke mana saja kau selama ini? Satu minggu lebih kau menghilang tanpa jejak. Aku—aku sempat berpikir hal buruk menimpamu, sampai-sampai aku jadi tak bisa tidur karena memikirkan mu.”
Pria tak sadar usia itu membual, padahal selama Arum menghilang—dia sibuk menyuruh Wagiman untuk mencari gadis baru yang akan dijadikan gundik selanjutnya.
Arum hanya tersenyum. Senyum manis yang lembut, namun menyimpan bayangan gelap di baliknya. Ia membalas pelukan Juragan Karta, lalu memberi jarak—kemudian bergelayut manja di lengan pria berkumis klimis, membiarkan wangi kenanga dari tubuhnya menyelimuti pria tua itu.
“Maafkan saya, Juragan ...,” ujarnya pelan. “Sesuatu yang buruk telah menimpa saya.”
Nyai Lastri seketika meneguk ludah, kakinya terasa lemas. Apalagi, Arum melirik nya sambil melempar senyuman penuh maksud. Nyai buru-buru menghampiri, takut Arum mengadu. Padahal tanpa Arum mengadu pun, sudah sejak lama Juragan tau aksi keji istri sahnya, hanya saja Juragan Karta sedikitpun tak berniat bertindak.
“Waktu Juragan pergi ke luar kota, saya benar-benar merasa kesepian.” Ujung telunjuk Arum menggerayangi lengan Juragan Karta. Suaranya amat mendayu-dayu. “Saya memutuskan untuk berkunjung ke rumah orang tua saya, tanpa pengawalan. Namun, hujan mendadak turun di saat saya tengah di perjalanan.”
Nyai Lastri mendadak menghentikan langkah, ia ikut menyimak cerita karangan yang Arum berikan.
Arum kembali melanjutkan ucapannya sambil menyunggingkan senyuman remeh ke arah Nyai Lastri. “Dan ketika saya mencari tempat berteduh, saya tergelincir. Lalu, entah bagaimana, saya pingsan. Dan saat saya sadar, saya sudah berada di rumah seorang perempuan tua yang tinggal di pinggiran hutan bambu.”
Juragan mengerutkan dahi. “Pinggiran hutan?”
Arum mengangguk. “Namanya Mbah Warsi. Ia merawat saya, memberi makan, bahkan membantu menenangkan pikiran saya. Beliau bilang tubuh saya sangat lemah ... mungkin karena saya sedang kedatangan tamu bulanan. Maafkan saya ... saya sungguh malu kembali dalam keadaan begini.”
Arum menunduk, menggigit bibir pelan seolah merasa bersalah.
Juragan memeluknya dengan satu lengan. “Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Yang penting kau kembali ... dalam keadaan sehat ... dan bahkan, semakin cantik.” Juragan menatap wajah Arum dengan takjub. “Kau seperti ... seperti bukan manusia. Seperti bidadari dari kayangan.”
Arum terkekeh pelan, ia menepuk keras lengan juragan. Nyaris pria beraroma minyak urut itu tersungkur.
Juragan Karta memilin kumisnya, lalu menatap Arum seperti serigala kelaparan. “Kau sudah selesai datang bulan?”
“Tentu sudah, Juragan.” Arum mengedip nakal. “Nanti malam, saya akan melayani Juragan dengan sangaaaaaat ... baik.”
Di sudut ruangan, Nyai Lastri mengepal erat kedua jemarinya. Rahangnya mengeras, dan sorot matanya tajam menusuk ke arah Arum. Tapi perempuan muda itu hanya membalas dengan senyum tipis yang tak menunjukkan rasa gentar.
Justru Arum melangkah perlahan ke arah meja tempat Nyai biasanya duduk. Ia menatap tempat itu beberapa detik—lalu ia duduk di sana. Di kursi yang tak boleh diduduki oleh orang lain, selain Nyai Lastri.
Seketika, ruang utama menjadi hening. Seorang pelayan yang membawa nampan berisi teh kesukaan Nyai Lastri sempat terpaku, bingung harus meletakkannya di mana. Tapi, Arum menepuk pelan permukaan meja.
“Letakkan di sini saja.”
Dan pelayan itu menurut. Sontak darah Nyai Lastri mendidih. Apalagi, ini pertama kalinya, seseorang menduduki kursi Nyai Lastri tanpa izin.
Dan Juragan ... tidak berkata apa-apa.
*
*
*
ku rasa bokor itu masih di dasae danau deh
atau tusuk konde ya udah nggak ada di dalam bokor lagi...???
ehh kan si juanidin yg kena tusuk keris
klo sate tusuk daging kambing mah nyosss yaa kann 🤣🤣🤣