Nalea, putri bungsu keluarga Hersa, ternyata tertukar. Ia dibesarkan di lingkungan yang keras dan kelam. Setelah 20 tahun, Nalea bersumpah untuk meninggalkan kehidupan lamanya dan berniat menjadi putri keluarga yang baik.
Namun, kepulangan Nalea nyatanya disambut dingin. Di bawah pengaruh sang putri palsu. Keluarga Hersa terus memandang Nalea sebagai anak liar yang tidak berpendidikan. Hingga akhirnya, ia tewas di tangan keluarganya sendiri.
Namun, Tuhan berbelas kasih. Nalea terlahir kembali tepat di hari saat dia menginjakkan kakinya di keluarga Hersa.Suara hatinya mengubah takdir dan membantunya merebut satu persatu yang seharusnya menjadi miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
“Ampun, Kak. Ampun! Jangan pukul Lea lagi, Lea mengaku salah, Kak!”
Malam di gudang itu terasa dingin dan panjang. Nalea meringkuk di sudut, rasa nyeri di betisnya berdenyut hebat, mengalahkan rasa lapar yang seharusnya sudah merobek perutnya. Ia tidak menangis lagi, air matanya sudah habis bersamaan dengan harapan terakhirnya pada keluarga Hersa. Ia hanya terdiam, pandangannya kosong menatap dinding lembap.
Tiba-tiba, Nalea merasakan sentuhan dingin di dahinya. Sensasi yang asing, namun begitu akrab dengan naluri bertahan hidupnya. Matanya yang gelap terbuka lebar, langsung terpancar kewaspadaan seorang ketua gangster yang selalu siap menghadapi bahaya.
Siluet tinggi seorang pria berdiri di kegelapan, hanya diterangi seberkas cahaya rembulan yang masuk dari lubang ventilasi kecil.
"Siapa kau?" desis Nalea, suaranya rendah dan tajam, berbeda dengan suara 'gadis lemah lembut' yang ia tunjukkan pada keluarga Hersa.
Pria itu tidak menjawab. Hanya ada dengusan pelan dari arahnya.
Tanpa membuang waktu, tangan Nalea bergerak cepat. Dari tempat tersembunyi di balik pergelangan tangannya, sebilah pisau lipat kecil yang selalu ia sembunyikan keluar. Ia melompat maju dengan kaki yang sakit, namun nalurinya mengalahkan rasa nyeri.
SRING!
Pisau itu diarahkan ke tenggorokan pria asing tersebut. Gerakan yang mematikan, cepat, dan tanpa keraguan.
"Kau pikir, hanya karena aku di gudang, aku jadi bodoh, hah?" Nalea menggeram. "Kau pasti suruhan Sisilia atau… atau tikus bau dari Krayrock."
Pria itu tertawa pelan, tawa yang dalam dan familier. "Ratu Black Rat? Hebat. Sudah kuduga kau menyimpan mainan itu.”
Dengan gerakan yang mudah dan meremehkan, Kayzo Renand menepis pisau Nalea hingga terpental ke tumpukan kardus. Nalea tersentak, rasa sakit dari pergerakan mendadak itu langsung menyerang kakinya, membuatnya nyaris terjatuh. Kayzo dengan sigap menahan lengan Nalea, mencegahnya ambruk.
Nalea menepis tangan Kayzo kasar. Barulah ia mengenali bau kulit, parfum mahal yang khas, dan seringai di wajah pria itu.
"Kayzo Renand!" Nalea meludah. "Apa maumu, Tikus Bau? Bagaimana kau menyusup masuk ke sini?"
Kayzo menyandarkan tubuhnya di dinding, menyilangkan tangan di dada, matanya yang tajam menelusuri Nalea dari ujung kepala hingga kaki. Pakaian Nalea yang kotor dan wajahnya yang pucat.
"Dua bulan, Nalea. Dua bulan aku mengamati. Rasanya hampa tanpa dirimu. Kau menghilang, Ratu Black Rat berubah menjadi tikus kecil yang meringkuk di gudang dan mirisnya kamar pembantu jauh lebih mewah. Menyedihkan." Kayzo menyindir dengan nada datar.
Nalea mengepalkan tangannya, amarah membakar tenggorokannya. "Itu bukan urusanmu. Aku sedang mencoba hidup baru."
"Hidup baru? Di mana kau dipukuli oleh kakakmu sendiri, dan dicampakkan seperti sampah?" Kayzo mendengus sinis. Ia menjentikkan jarinya ke arah kaki Nalea yang bengkak. "Lihat dirimu. Kau bahkan tidak bisa berdiri tegak. Kau sudah lemah, Nalea."
Kayzo melangkah mendekat, auranya yang dominan memenuhi ruangan sempit itu. "Kau tidak pantas lagi menjadi Ratu Gangster. Aku akan menyerang Black Rat minggu depan dan merebut semua kekuasaanmu. Aku akan tunjukkan pada anak buahmu siapa bos sejati."
Wajah Nalea memucat, namun matanya memancarkan api. Ancaman itu menyentuh harga dirinya yang paling mendasar.
"Coba saja kalau berani, Kayzo," ancam Nalea, suaranya tercekat menahan nyeri di kakinya dan amarah di dadanya. "Kau akan tahu apa akibatnya berani menyentuh milikku. Black Rat tetap kuat meski tanpa sang Ratu. Jangan banyak berkhayal, Tikus Bau!"
Kayzo tertawa lagi. Kali ini tawanya terdengar lebih lembut, namun tetap mengandung ejekan. Ia lalu melemparkan sebuah bungkusan kertas cokelat ke pangkuan Nalea. Baunya langsung menyebar, roti gandum segar yang diolesi selai.
"Makan," perintah Kayzo. "Jangan sampai aku menghancurkanmu saat kau berada di titik terlemahmu. Itu tidak adil. Ratu yang kelaparan tidak akan bisa bertarung. Aku ingin kau pulih, lalu aku akan menghancurkanmu dengan tangan kosong."
Nalea menatap bungkusan roti itu dengan tatapan jijik. "Tutup mulutmu, Kayzo. Jangan ikut campur urusanku. Pergi!"
Kayzo menghela napas, ekspresinya sedikit melembut, tetapi Nalea terlalu marah dan sakit untuk menyadarinya.
"Pulang, Nalea. Tempatmu bukan di sini. Keluarga seharusnya menjadi tempat berlindung, bukan tempat penyiksaan," Kayzo berbisik pelan, sebelum melompat kembali ke ventilasi. "Jangan sampai anak buahmu memanggil gadis lain sebagai Madam Black Rat."
Kayzo menghilang secepat ia datang.
Nalea mengepalkan tangan, kuku-kukunya menancap di telapak tangan. Dia tidak mendengarkan ucapan Kayzo. Dia hanya mendengar ancaman dan hinaan.
Ia kembali meringkuk, air mata kembali menggenang. Ia mengabaikan rasa lapar yang melilit. Bahkan saat seekor tikus kecil merayap mendekat dan menggigit sedikit roti pemberian Kayzo, Nalea hanya menatapnya kosong.
"Ini keluargaku," desisnya lirih, menahan rasa sakit di kakinya. "Mereka akan mempercayaiku suatu hari nanti. Aku hanya perlu bersabar hingga waktu itu tiba."
Keyakinan palsu itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya tetap hidup di sini.
...***********...
BYUURRR!
Air dingin membekukan seluruh tubuhnya. Nalea tersentak, terbatuk-batuk, dan terhuyung-huyung di lantai semen yang basah. Rasa dingin itu menembus tulang, menyengat luka bengkak di kakinya.
Di depannya, berdiri Lidya Amira, pembantu keluarga Hersa dan ibu kandung Sisilia, dengan ember kosong di tangan. Wajahnya yang keriput dan penuh keculasan kini tersenyum puas.
"Bangun, Nona Shara. Sudah pagi, dan kamar ini kotor sekali," ujar Lidya, menekankan nama belakang Nalea dengan nada merendahkan.
Nalea bergetar kedinginan, air menetes dari rambutnya. Dia merasakan amarah yang murni, amarah seorang Ratu yang diperlakukan seperti budak. Jika bukan karena ia bertekad menjadi ‘gadis baik’, Lidya sudah pasti mati di tempat.
"Apa yang kau lakukan?" suara Nalea terdengar serak dan dingin, namun tidak lagi lemah. Rasa dingin air membuatnya kembali pada persona lamanya.
Lidya meletakkan ember itu dengan bunyi keras yang memekakkan telinga. Ia berkacak pinggang, menunjukkan kesombongan yang luar biasa.
"Melakukan tugasku, Nona. Membersihkan tempat ini. Tapi sepertinya yang paling harus dibersihkan adalah dirimu." Lidya tertawa remeh. "Seharusnya kamu tidak pernah masuk ke keluarga Hersa, Nalea. Keluarga ini tidak butuh dua putri."
Nalea mengepalkan tinju di samping tubuhnya, menahan diri untuk tidak mencekik wanita di depannya ini.
"Nona muda Hersa hanya milik Sisilia, anakku," Lidya melanjutkan, matanya menyipit penuh ancaman. "Dia dibesarkan dengan didikan terbaik, tahu etika, tahu sopan santun. Kau? Kau hanya membawa kekotoran dari jalanan."
Rasa dingin air yang membasahi tubuhnya beradu dengan panas amarah di dadanya. Nalea hanya menatap Lidya, lidahnya terasa kelu.
Lidya maju selangkah, mencondongkan tubuhnya hingga wajahnya nyaris menyentuh telinga Nalea. Bisikannya kejam dan penuh venom.
"Aku akan membuatmu menyesal telah masuk ke keluarga ini. Jangan merebut apa yang menjadi milik anakku. Sekarang, bersihkan tubuhmu. Ada pekerjaan di dapur yang menunggumu. Jangan sampai Nyonya Mutiara marah karena kau terlambat, atau kakimu akan dipukul lagi."
Lidya tertawa puas, lalu berbalik dan meninggalkan Nalea yang terhuyung-huyung di tengah genangan air dingin.
Nalea berdiri kaku. Wajahnya pucat, air mata bercampur dengan air basahan di pipinya. Kedua kakinya terasa sangat sakit. Ia benar-benar berada di titik terendah dalam hidupnya.
"Sialan!" desis Nalea, menghentakkan kakinya yang sakit ke lantai. Tindakan itu hanya memicu nyeri yang menusuk.
“Ini belum berakhir. Kalian semua akan membayar.”
Nalea menyeret kakinya yang bengkak, mencari kain kering untuk membersihkan diri. Ia harus bertahan. Demi membuktikan dirinya. Demi mendapatkan cinta yang ia yakini ada di hati keluarga kandungnya, demi membuat Kayzo Renand menelan kembali kata-katanya.
mana ada darah manusia lebih rendah derajatnya daripada seekor anjingg🥹🥹🤬🤬🤬