SISTEM BLACK HOLE

Sebuah rintihan parau, lebih menyerupai gesekan pasir daripada suara manusia, memecah keheningan total. Suara itu terasa asing, namun berasal dari dirinya sendiri. "Ahhh... di mana aku ini?"

​Adnan mencoba mengenali sumber suara itu. Tenggorokannya terasa kaku dan kering, seolah telah berabad-abad tak mengenal air. Tubuhnya hanya tinggal sehelai bayangan; bobotnya menghilang, menyisakan sensasi melayang yang ringkih dan tak berdaya, seperti layang-layang putus yang diterbangkan badai.

​Perlahan, kelopak matanya yang terasa berat terangkat. Di sekelilingnya, hanya ada kegelapan mutlak, bukan kegelapan malam, melainkan ketiadaan yang mencekik. Ruang itu hampa, tanpa batas, tanpa udara, tanpa dinding, seakan ia berada di ruang tunggu terakhir alam semesta. Rasa takut yang mencekam merayapi jiwanya, namun tubuhnya terlalu lelah untuk bergidik.

​Ia hanya bisa pasrah, membiarkan kebingungan dingin menyelimutinya. Adnan teringat masa lalunya, dan perlahan, matanya mulai berkaca-kaca. Adnan selalu memegang erat kenangan akan hari kelulusannya dari SMA, bukan karena perayaan, melainkan karena bisikan lembut neneknya yang menjadi jimat hidupnya.

​"Nak, ingatlah ini baik-baik," kata Neneknya sambil menggenggam tangan Adnan yang hangat. "Bagaimanapun situasi yang kita hadapi, harus tetap tenang." Pesan itu adalah fondasi yang diikuti tiga pilar utama: "Berusaha, bertahan, dan berjuang."

​Nenek menggarisbawahi bahwa nasib harus diperjuangkan dengan segenap jiwa, mencerminkan semangat tidak pantang menyerah yang harus Adnan tanamkan. Namun, Nenek yang bijaksana tahu batas kemampuan manusia. "Tapi," suara nenek melunak, "jika sudah berjuang habis-habisan dan tetap juga tidak bisa kita hadapi, maka saatnya pasrahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa."

​Itu adalah ajaran tentang kepasrahan sejati, bukan menyerah tak berdaya, melainkan menerima takdir setelah segala ikhtiar dikerahkan. Tragedi datang empat tahun kemudian, tepat pada umur 21 tahun. Jantung Adnan serasa direnggut saat neneknya, satu-satunya penjaga jiwanya, dipanggil Sang Pencipta.

​Adnan terpuruk dalam kesedihan yang tak terperi; rasa keputusasaan hampir merenggutnya. Sejak bayi, Neneklah yang merawatnya, dan cinta serta kasih sayang yang ia terima adalah penyelamat dari masa lalu yang menyakitkan. Kehadiran Nenek adalah mukjizat, dan nama Adnan adalah kisahnya.

​Ketika Adnan remaja bertanya dari mana ia berasal, Nenek tidak menyembunyikan kebenaran, betapapun pahitnya. "Nak, kau ditemukan di samping bak sampah yang bau, dikerumuni penduduk desa," jelas Nenek suatu kali, "Nenek tidak tahu siapa orang tuamu, tapi Nenek tahu kau anugerah."

​Maka, Nenek memberinya nama yang penuh makna: Adnan Bintang Pratama. "Adnan artinya penduduk," jelas Nenek, "karena kau ditemukan di tengah-tengah penduduk." "Kau ditemukan di malam hari, yang disinari bintang bercahaya; Kau adalah cahaya di kegelapan Nenek."

​"Dan untuk kata pratama, artinya pertama, karena kau adalah cucu pertama Nenek, cinta pertama Nenek yang datang tak terduga." "Jadi," simpul Nenek dengan mata berbinar, "kau adalah penduduk bintang pertama." Sebuah nama yang lahir dari bau busuk dan cahaya bintang, sebuah nama yang mewakili takdir.

​Runtuhnya dunia Adnan pasca kepergian Nenek terasa fatal. Ia bisa saja menyerah pada rasa putus asa, tetapi di saat tergelap itulah datang secercah kebahagiaan dan harapan dari orang lain. Sahabat-sahabatnya, yang mengerti betapa dalamnya luka yang ia rasakan, berdatangan dan menghiburnya. Mereka mengingatkan Adnan tentang kekuatan dan janji yang diwariskan Neneknya.

​Mengingat kembali nasihat lama, Adnan memaksa diri untuk menarik napas dalam-dalam, mencari kembali ketenangan yang diperintahkan Nenek. Tetapi semakin lama, udara makin menipis, dan paru-parunya mulai sesak. "Apakah ini... akhir?" bisik Adnan, suaranya kini hanya desahan pilu.

​Di tengah keputusasaan yang sunyi, sebuah anomali muncul. Jauh di kejauhan, sebuah cahaya mulai menari. Bukan cahaya kunang-kunang yang ramah, melainkan percikan eter yang melayang dalam kehampaan, memancarkan spektrum warna putih yang sangat dingin.

​Itu adalah satu-satunya janji, satu-satunya penanda keberadaan di lembah ketiadaan. Adnan, yang telah kehilangan segalanya kecuali insting dasar untuk mencari makna, mulai merangkak—jika itu bisa disebut merangkak. Dengan sisa-sisa tenaga yang entah dari mana asalnya, ia mengulurkan tangannya yang pucat ke arah cahaya asing tersebut.

​Ketika ujung jarinya yang rapuh menyentuh cahaya itu, tidak ada kehangatan, tidak ada kebahagiaan. Hanya teriakan yang tak terhindarkan dan mutlak. Dalam sepersekian detik, kehampaan di sekelilingnya runtuh.

​​Adnan tidak lagi tersedot; dia dirobek dari keberadaannya, ditarik menuju pusaran putih yang menjanjikan takdir baru, entah itu surga yang sepi atau neraka yang tak bertepi. Rintihan terakhirnya tercekat di udara hampa, menjadi senandung kesedihan yang tak pernah terdengar, sebelum ia sepenuhnya lenyap ditelan cahaya.