NovelToon NovelToon
Pendekar Naga Bintang

Pendekar Naga Bintang

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Misteri / Action / Fantasi / Budidaya dan Peningkatan / Anak Genius
Popularitas:45.4k
Nilai: 5
Nama Author: Boqin Changing

Di barat laut Kekaisaran Zhou berdiri Sekte Bukit Bintang, sekte besar aliran putih yang dikenal karena langit malamnya yang berhiaskan ribuan bintang. Di antara ribuan muridnya, ada seorang anak yatim bernama Gao Rui, murid mendiang Tetua Ciang Mu. Meski lemah dan sering dihina, hatinya jernih dan penuh kebaikan.

Namun kebaikan itu justru menjadi awal penderitaannya. Dikhianati oleh teman sendiri dan dijebak oleh kakak seperguruannya, Gao Rui hampir kehilangan nyawa setelah dilempar ke sungai. Di ambang kematian, ia diselamatkan oleh seorang pendekar misterius yang mengubah arah hidupnya.

Sejak hari itu, perjalanan Gao Rui menuju jalan sejati seorang pendekar pun dimulai. Jalan yang akan menuntunnya menembus batas antara langit dan bintang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Boqin Changing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Namaku Boqin Changing

Pemuda itu menatap Gao Rui yang masih terbaring dengan mata setengah terbuka. Senyumnya tipis, hampir tak terlihat, namun di baliknya tersimpan ketenangan yang aneh, dingin tapi lembut.

“Apa itu kalimat yang pantas ditanyakan pertama kali setelah ditolong..?” ucapnya pelan, suaranya tenang namun memiliki tekanan yang membuat udara di sekitarnya seolah menegang.

Gao Rui langsung tersadar. Wajah pucatnya memerah malu, dan ia menunduk dalam-dalam.

“M-maaf… Aku tidak tahu harus berkata apa, Senior. Terima kasih,” ucapnya lirih, mencoba bangkit tapi tubuhnya masih terlalu lemah.

Pemuda itu menatapnya sesaat, lalu menghela napas ringan.

“Sudah. Jangan memaksakan diri,” katanya, kemudian menepukkan telapak tangan ke udara.

Dalam sekejap, secercah cahaya biru muncul, membentuk semacam jaring tipis yang melingkupi tubuh Gao Rui. Luka-luka di tubuhnya perlahan berhenti berdarah, dan rasa sakit yang menusuk pun sedikit menghilang.

Gao Rui menatap dengan takjub.

“I-ini… teknik penyembuhan apa?”

Pemuda itu tidak menjawab. Ia justru menatap permukaan sungai yang beriak perlahan.

“Air ini dingin sekali,” katanya datar. “Dan di tempat seperti ini, seharusnya tidak ada yang bisa bertahan hidup setelah dilempar ke sungai. Kau cukup beruntung… atau mungkin, sesuatu masih ingin kau tetap hidup.”

Ia menatap Gao Rui lagi, kali ini lebih dalam, hingga tatapan itu membuat jantung bocah itu berdebar aneh.

“Siapa yang melakukan ini padamu?” tanyanya akhirnya.

Gao Rui menggigit bibirnya. Ia ingin menjawab, tapi bayangan Yai Feng dan semua murid yang ikut menyerangnya membuat tenggorokannya tercekat.

“Aku… hanya terjatuh,” katanya pelan, suaranya bergetar.

Pemuda itu menatapnya lama. Sekilas senyumnya muncul lagi, tipis, tapi kali ini ada nada getir di dalamnya.

“Kau terlalu baik untuk dunia seperti ini,” katanya pelan. “Tapi jangan khawatir. Aku tidak akan memaksamu bicara. Siapa namamu Bocah?"

"Namaku Gao Rui, Senior," ucap Gao Rui pelan.

Tak lama setelah ia berkata begitu, langit mendadak bergemuruh. Suara petir mengguncang lembah, dan angin dingin berembus kencang membawa aroma hujan. Dalam sekejap, butiran air sebesar kacang mulai turun deras dari langit.

Pemuda itu mendongak sedikit, membiarkan beberapa tetes hujan jatuh di wajahnya, sebelum ia kembali menunduk menatap Gao Rui yang mulai menggigil.

“Kalau terus di sini, kau bisa mati kedinginan,” ucapnya datar.

Dengan satu gerakan ringan, ia mengangkat tubuh Gao Rui tanpa kesulitan, seolah bocah itu tak memiliki bobot sama sekali. Hujan semakin deras, membasahi rambut dan pakaian mereka. Dalam sekejap, pemuda itu menyipitkan mata, memandang ke arah tebing batu di sisi utara sungai.

“Ke sana,” gumamnya.

Beberapa langkah kemudian, di antara rerimbunan akar dan batu besar, tampak sebuah lubang gelap di kaki tebing. Di sana ada mulut gua kecil yang nyaris tertutup semak basah. Pemuda itu menyingkap ranting yang menghalangi, lalu melangkah masuk sambil tetap membawa Gao Rui di lengannya.

Begitu mereka berada di dalam, ia mengibaskan jubahnya perlahan. Seketika hawa panas mengalir dari telapak tangannya, menguapkan air yang menetes dari ujung rambut hingga ujung pakaian. Api biru kecil muncul di udara, melayang tanpa bahan bakar, menerangi gua yang sempit namun cukup kering.

Pemuda itu menurunkan Gao Rui di atas batu datar yang agak bersih, lalu duduk bersila di hadapannya.

“Beristirahatlah di sini. Aku akan menjagamu sampai kau bisa berdiri sendiri,” ucapnya tenang.

Suara hujan di luar gua terdengar semakin deras, menciptakan ritme berat yang menenangkan sekaligus menggetarkan. Dalam cahaya kebiruan itu, wajah pemuda itu tampak samar, antara manusia dan bayangan. Matanya menatap jauh ke kegelapan di luar gua, seolah ingin segera pergi.

Gao Rui menggigit bibirnya.

“S-senior … bolehkah aku tahu siapa sebenarnya engkau?”

Pemuda itu tak langsung menjawab. Ia memejamkan mata sejenak, lalu membuka matanya perlahan, menatap bocah itu dengan senyum samar yang sulit diartikan.

“Namaku… bukan sesuatu yang perlu kau tahu saat ini,” katanya pelan. “Yang penting, kau bertahan hidup malam ini.”

Pemuda itu kemudian mengulurkan tangannya. Dari dalam cincin ruang di jarinya, keluar beberapa kayu bakar kering dan sebuah kantong kecil berisi beberapa potong daging ayam mentah dan berbagai bumbunya. Ia menata kayu itu dengan rapi di tengah gua, lalu menjentikkan jari. Api biru muncul dari ujung jarinya dan segera menyala lembut di antara potongan kayu, menciptakan cahaya hangat yang menari di dinding batu.

Aroma kayu terbakar perlahan memenuhi udara. Ia lalu mengambil wadah kecil dari cincin yang sama, menuang sedikit air, dan meletakkan potongan ayam ke dalamnya. Tak lama, suara desisan halus terdengar. Asap tipis mengepul di atas api biru, membawa aroma gurih yang menggoda meski sederhana.

Gao Rui, yang sedari tadi memperhatikan, menatapnya dengan heran bercampur bingung.

“Senior… kau… membawa semua itu di dalam cincin ruang?” tanyanya perlahan, suaranya masih lemah.

Pemuda itu menoleh sedikit, alisnya terangkat seolah heran dengan pertanyaan itu.

“Lalu… cincin ruang menurutmu untuk apa?”

“U-um… biasanya para murid-murid kaya menggunakannya untuk menyimpan batu roh, pil obat, atau senjata langka,” jawab Gao Rui terbata-bata.

Pemuda itu terkekeh pelan, suaranya terdengar seperti ironi yang tenang.

“Itu sebabnya dunia ini penuh orang bodoh yang kelaparan di tengah kekayaan mereka sendiri.”

Ia mengaduk daging yang mulai matang, lalu menambahkan sejumput rempah dari kantong lain. Selanjutnya daging ayam itu dibakarnya di atas kayu bakar yang sudah disiapkannya sebelumnya.

“Ketika kau mengembara di dunia ini, benda paling berharga bukanlah senjata atau pil. Tapi makanan hangat saat hujan, dan tempat kering untuk tidur. Kau tenang saja, aku punya banyak cincin ruang. Semuanya kuisi dengan barang-barang yang kubutuhkan.”

Gao Rui terdiam. Kata-kata itu terasa sederhana, tapi entah mengapa seperti menancap dalam di hatinya. Ia menatap pemuda itu yang wajahnya tampak temaram di balik nyala api. Tenang, namun ada sesuatu yang begitu jauh dari dunia ini, seperti orang yang sudah terlalu lama berjalan sendirian.

Beberapa saat kemudian, aroma ayam panggang memenuhi gua. Pemuda itu memotong sepotong kecil dan menyodorkannya pada Gao Rui.

“Makanlah. Kau butuh tenaga.”

“T-tapi… ini untukmu, Senior.”

Pemuda itu menghela napas, nadanya lembut tapi tegas.

“Kalau aku lapar, aku masih bisa berburu. Kalau kau lapar, mungkin kau mati. Makanlah.”

Gao Rui menerima potongan itu dengan tangan gemetar, lalu menggigitnya perlahan. Rasa hangat langsung menjalar di tenggorokannya. Entah karena bumbu sederhana atau karena rasa lapar yang luar biasa, daging itu terasa luar biasa nikmat.

Pemuda itu kembali menatap ke arah api, membiarkan kesunyian mengisi gua. Hujan di luar masih deras, namun di dalam gua itu, udara terasa tenang  seolah waktu berhenti sesaat.

Namun, di balik ketenangan itu, mata pemuda itu sesekali memantulkan cahaya tajam. Ia seperti sedang mendengarkan sesuatu di luar sana.

Tanpa menoleh, ia berucap pelan.

“Jangan takut. Jika kau mendengar suara dari luar… jangan bergerak, jangan bersuara.”

Nada suaranya berubah. Bukan lagi lembut, tapi dingin dan tajam, seperti bilah pedang yang baru diasah. Gao Rui menatapnya, jantungnya kembali berdebar. Ia belum tahu siapa pemuda itu… tapi ia yakin, orang di hadapannya bukanlah pengembara biasa.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Hujan di luar masih mengguyur deras, menimpa dedaunan dan batu, menciptakan gema lembut yang berulang-ulang di dalam gua. Gao Rui sudah mulai merasa hangat, meski tubuhnya masih lemah. Api unggun di tengah gua terus menari lembut, memantulkan bayangan samar di dinding batu.

Namun tiba-tiba, terdengar suara berat dari sesuatu yang besar di luar. Tanah di sekitar pintu gua bergetar pelan. Gao Rui spontan menegang, matanya melebar.

Suara itu semakin dekat. Sebuah geraman rendah menggema, berat dan dalam, seperti suara binatang buas. Dalam sekejap, bayangan besar melintas di mulut gua, sepasang mata kekuningan bersinar tajam dalam gelap, diikuti bau amis yang menusuk.

“B-beruang,” bisik Gao Rui nyaris tanpa suara. Napasnya tercekat. Ia mencoba mundur, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak.

Beruang itu masuk perlahan, tubuhnya besar dan gelap, bulu basahnya meneteskan air ke tanah, kuku tajamnya mencakar lantai batu, menimbulkan suara yang membuat bulu kuduk merinding. Binatang itu menundukkan kepalanya, mengendus udara, dan matanya segera tertuju pada ayam panggang yang masih mengepul di depan api.

Gao Rui memucat. Tangannya refleks hendak menutupi mulut agar tak bersuara. Ia menatap pemuda di sampingnya, namun pemuda itu tetap tenang, sama sekali tidak bergerak.

Beruang itu mendekat dua langkah, lalu menggeram keras, suara geramannya memantul di seluruh gua seperti guntur.

Tapi pemuda itu hanya memandangnya perlahan. Pandangannya tenang, bahkan terlalu tenang untuk situasi yang mengancam nyawa. Dalam sorot matanya, cahaya biru samar berkilat sesaat.

Wuuusss…

Udara di gua tiba-tiba berubah dingin, begitu dingin hingga napas Gao Rui membeku di tenggorokan.

Mata beruang itu langsung membesar. Tubuh besarnya bergetar keras seperti terkena sambaran petir. Ia mengeluarkan suara melengking pendek, bukan geraman, melainkan jeritan ketakutan. Dengan satu lompatan panik, beruang itu berbalik dan berlari terbirit-birit keluar dari gua, menabrak semak, menghilang ke dalam hujan dan kegelapan.

Keheningan kembali menyelimuti gua. Hanya suara hujan yang tersisa. Gao Rui menatap pemuda itu tanpa berkedip, matanya penuh campuran antara kagum dan ngeri.

“Se… senior… apa yang barusan…?”

Pemuda itu tidak segera menjawab. Ia menutup matanya kembali, seolah tak terjadi apa pun.

“Hanya mengingatkannya siapa yang ada di hadapannya.”

Nada suaranya begitu datar, tapi justru karena itulah membuat bulu kuduk Gao Rui berdiri.

Beberapa detik kemudian, pemuda itu menambahkan dengan nada pelan, hampir seperti gumaman.

“Binatang liar tahu kapan harus tunduk. Sayangnya, manusia tidak selalu sebijak itu.”

Api di tengah gua bergetar lembut seolah ikut merespons ucapannya. Gao Rui hanya bisa menatap diam-diam dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar yakin, orang di hadapannya bukanlah manusia biasa. Ada sesuatu di balik ketenangannya… sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar kekuatan.

Gao Rui masih terpaku menatap pemuda itu. Rasa takut yang semula menggumpal kini berganti dengan rasa ingin tahu yang semakin kuat. Suara hujan perlahan mulai mereda, hanya tersisa tetes-tetes kecil yang jatuh dari ujung batu gua.

Pemuda itu menatap nyala api yang mulai mengecil, lalu menambahkan beberapa potong kayu bakar. Api kembali menyala, memantulkan cahaya lembut di wajah mereka berdua.

“Sekarang,” ucap pemuda itu datar, tanpa menoleh. “Katakan padaku… dari mana asalmu?”

Nada suaranya tidak mengandung ancaman, tapi ada semacam tekanan lembut di dalamnya yang membuat Gao Rui merasa tidak bisa berbohong.

“A-aku,” Gao Rui menarik napas dalam. “Aku berasal dari Sekte Bukit Bintang, Senior.”

Pemuda itu mengangguk perlahan namun selanjunya ekspresinya begitu kaget.

“Sekte Bukit Bintang…?” gumamnya, seolah mengingat sesuatu yang jauh. “Tunggu jangan bilang, kita ada di wilayah Kekaisaran Zhou?”

Gao Rui tampak kebingungan.

“Benar senior, kita ada di wilayah Kekaisaran Zhou.”

“Sial, sepertinya aku terbang terlalu jauh,” jawab pemuda itu. Ia menatap Gao Rui kembali, kali ini dengan tatapan sedikit lebih hangat. “Kau hampir saja mati. Jika orang tuamu tahu apa yang terjadi padamu, mereka pasti akan sedih. ”

Gao Rui menunduk. Suaranya melemah saat ia berbicara.

“Orang tuaku sudah meninggal sejak aku kecil. Saat aku berusia delapan tahun, guruku datang ke kota kami… Dia yang membawaku masuk ke dalam Sekte Bukit Bintang.”

Pemuda itu tidak memotong, hanya mendengarkan dengan tenang.

“Ia mengajariku banyak hal.” lanjut Gao Rui, matanya tampak menerawang. “Tapi dua tahun yang lalu… saat menjalankan misi sekte, ia meninggal.”

Gao Rui berhenti sejenak. Napasnya berat, suara kecilnya bergetar.

“Sejak saat itu, aku sendirian. Dan sekarang aku hanya menjalani hidup sebaik yang aku bisa,” Ia menggigit bibirnya, menahan emosi namun tetap berusaha tersenyum.

Gao Rui akhirnya juga menceritakan mengapa ia bisa berada di tengah sungai. Ia tidak berusaha menyamarkan apa yang dialaminya karena tekanan pemuda itu begitu besar.

Pemuda itu menatapnya lama, sorot matanya perlahan berubah. Ada sesuatu yang samar , bukan iba, tapi semacam pengakuan dalam diam.

“Apa yang kau pelajari di sektemu?” tanyanya pelan.

“Teknik dasar pendekar dan beberapa jurus pedang, Senior. Tapi… mungkin aku yang terlalu lemah.”

Pemuda itu tersenyum tipis.

“Tidak ada yang lemah di dunia ini, hanya yang belum mengerti cara bertumbuh,” Ia meraih sepotong kayu dari sisi api, menatap ujungnya yang menyala merah. “Kau tahu, api ini panas karena menghanguskan kayu dan udara di sekitarnya. Manusia juga begitu. Hanya yang tahu bagaimana menggunakan penderitaan untuk bisa semakin kuat.”

Gao Rui menatap pemuda itu tanpa berkedip.

“Jadi… kau ingin bilang penderitaan bisa membuat seseorang kuat?”

Pemuda itu memutar kayu itu perlahan, lalu menancapkannya ke tanah di antara mereka.

“Tidak selalu. Tapi mereka yang bertahan setelah terbakar… biasanya menjadi cahaya bagi orang lain.”

Kata-kata itu membuat Gao Rui terdiam lama. Hujan di luar telah berhenti sepenuhnya. Bau tanah basah bercampur dengan sisa asap kayu, menenangkan dan hangat.

“Senior,” ucap Gao Rui perlahan, suaranya nyaris berbisik. “Aku tidak tahu siapa kau sebenarnya, tapi… aku berjanji, kalau suatu hari aku cukup kuat, aku akan membalas kebaikanmu hari ini.”

Pemuda itu menatapnya lama, lalu tertawa pelan, bukan tawa bahagia, melainkan seperti seseorang yang sudah lama lupa bagaimana caranya tersenyum sungguhan.

“Kalau begitu,” katanya pelan, “Pastikan kau hidup cukup lama untuk menepati janji itu.”

Pemuda itu kemudian berdiri perlahan, menepuk jubahnya dari debu batu gua. Api unggun sudah mulai mengecil, hanya menyisakan bara merah yang berkerlap-kerlip lembut. Ia mengulurkan tangannya lagi, dan dari dalam cincin ruangnya, keluarlah dua tikar tebal serta dua kasur tipis yang tampak bersih dan terlipat rapi.

Dengan gerakan ringan, ia menggelar tikar itu di sisi gua yang kering, menata kasur di atasnya seolah tengah menyiapkan tempat istirahat di rumah sendiri. Gao Rui hanya bisa terpaku melihat pemandangan itu.

“Senior… kau bahkan membawa kasur?” tanyanya tanpa sadar, nada suaranya antara kagum dan bingung.

Pemuda itu tersenyum samar tanpa menoleh.

“Kalau kau berkelana sendirian selama bertahun-tahun, kau akan belajar bahwa tidur nyenyak adalah salah satu bentuk kekuatan.”

Ia menepuk tikar dan kasur satunya dan mendorongnya pelan ke arah Gao Rui.

“Tidurlah di sana. Gua ini aman. Aku akan tahu kalau ada sesuatu yang mendekat.”

Gao Rui memandang kasur itu seolah tak percaya.

“Tapi, Senior… aku tak bisa menerima ini. Aku..”..

Pemuda itu memotong dengan nada lembut tapi tegas.

“Jangan banyak bicara. Tubuhmu masih lemah. Kalau aku memberikannya, artinya aku tidak butuh alasan.”

Nada suaranya membuat Gao Rui menelan sisa kalimatnya. Ia perlahan berbaring di atas kasur itu, merasakan kehangatan yang tersisa dari kainnya. Rasanya luar biasa nyaman, terutama setelah hari panjang penuh luka dan ketakutan.

Pemuda itu kemudian tidur di kasurnya. Ia menarik napas panjang, lalu menutup matanya. Sebelum tidur ia nampak menancapkan salah satu pedangnya ke tanah gua. Suasana dalam gua seketika menjadi sunyi, hanya terdengar suara tetesan air dari dinding batu dan napas halus dari dua manusia di dalamnya.

Gao Rui menatap diam-diam, mencoba memahami siapa sebenarnya orang di hadapannya. Setiap gerakan pemuda itu tampak sederhana, tapi di balik kesederhanaan itu ada sesuatu yang berat, seolah setiap gerakannya membawa beban dunia.

Tak lama pemuda itu membuka matanya sedikit, menatap Gao Rui.

“Hei Bocah, tadi kau bertanya namaku kan? Namaku Boqin Changing.”

1
Zainal Arifin
joooooooosssss
opik
mantap
Dewi Kusuma
bagus
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Tooooooops 🍌🍒🍅🍊🍏🍈🍇
Anonymous
makin seruuuu 😍
John Travolta
jangan kendor updatenya thor
hamdan
thanks updatenya thor
Duroh
josssss 💪
Joko
go go go
Wanfaa Budi
😍😍😍😍
Mulan
josssss
y@y@
🌟💥👍🏼💥🌟
Zainal Arifin
mantaaaaaaaappppp
y@y@
👍🏾⭐👍🏻⭐👍🏾
y@y@
👍🏿👍🏼💥👍🏼👍🏿
Rinaldi Sigar
lanjut
opik
terimakasih author
Xiao Han ୧⍤⃝🍌
berjaga
Xiao Han ୧⍤⃝🍌
Dialog tag kan ini? Diakhiri pake koma ya thor (bukan problem besar sih, pembaca lain juga banyaknya pada gak sadar 🤭)
A 170 RI
mereka binafang suci tapi mereka lemah..yg kuat adalah gurumu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!