NovelToon NovelToon
Chain Of Love In Rome

Chain Of Love In Rome

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:938
Nilai: 5
Nama Author: De Veronica

Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.

Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.

Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dua Dunia Bertemu

Udara dingin Italia merayapi kulit saat Taeri dan Yuna memasuki kantin kampus yang ramai. Aroma spaghetti dan pizza berpadu, menggugah selera. Usai kelas, keduanya memang selalu menyempatkan diri untuk mengisi perut yang keroncongan. Taeri duduk, jemarinya lincah menari di atas layar ponsel. Berita utama tentang kekejaman yang terjadi beberapa waktu lalu kembali menarik perhatiannya.

"Kejam sekali," bisiknya dalam hati, bulu kuduknya meremang. "Apa mereka tidak punya perasaan? Membunuh orang lain seperti itu..."

Yuna, yang duduk di sampingnya, mengerutkan kening. Matanya menyipit, berusaha membaca ekspresi sahabatnya. "Hei, ngelamun aja? Mikirin apaan sih?" Godanya, menyenggol lengan Taeri. "Lagi stalking cogan, ya? Ngakuuu!"

Taeri memicingkan mata, menyembunyikan rasa terkejutnya. "Kepo banget," balasnya, berusaha terdengar santai. "Emang pernah aku cerita soal cowok di Italia ini?" Alisnya terangkat, menantang. "Lagian, prioritasku kuliah, jadi sarjana seni rupa. Pacar? Skip dulu."

Yuna tersenyum kecil, tidak percaya. Ia mendekatkan wajahnya, menatap Taeri dengan tatapan menggoda. "Ah, masa sih tahan? Nanti kalau ketemu yang ganteng, tajir, perhatian, baru nyesel!"

Taeri mendengus, jengah dengan godaan temannya. Ia menjauhkan wajah Yuna dengan telapak tangannya. "Bodo lah," ujarnya, melipat kedua tangan di dada. "Intinya, sukses dulu baru cinta." Ia tersenyum sinis. "Aku nggak kayak kamu, asal ada yang sreg langsung gebet. Nona Kim Taeri ini levelnya tinggi."

Mata Yuna membelalak. "Enak aja! Siapa juga yang asal gebet!" Protesnya, menoleh ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang mendengar. "Lagian, Pak Marcelo itu emang charming dan baik hati," bisiknya pelan, rona merah menjalar di pipinya. "Ya wajar dong kalau aku suka!"

"Terserah deh," sahut Taeri malas. Ia menyandarkan dagunya di telapak tangan, pandangannya menerawang. "Terus, habis ini kita mau ngapain, Yun? Bosen," ujarnya cemberut. Ia kembali membuka ponselnya, mencari ide di Google Maps. "Eh, ada mall baru buka di Roma nih. Kita ke sana aja, yuk?"

"Nggak ah, itu mah udah biasa," tolak Yuna cepat. Sebuah ide brilian muncul di benaknya. "Gimana kalau malam ini kita clubbing? Kamu kan belum pernah?" Matanya mengerling genit. "Sekali-sekali rasain dunia malam, Tae!" Ia mengulurkan ponselnya, menampilkan sebuah nama. "Freni e Frizioni di Trastevere. Ini club paling happening."

"Oke deh, terserah kamu aja," sahut Taeri pasrah. Percuma aja debat sama Yuna. Ia menghela napas, merasa lelah sebelum malam tiba. "Tapi inget, kalau ada apa-apa, kamu yang tanggung jawab!" Taeri memejamkan mata, meletakkan wajahnya di meja. "Lama-lama aku bisa ketularan sintingnya kamu, Yun."

"Hahaha, jangan gitu dong!" Yuna tertawa lepas, merangkul Taeri dari samping. Ia menepuk-nepuk bahu sahabatnya, berusaha menenangkan. "Santai aja, club itu tempat seru. Nggak bakal ada apa-apa kok. Jangan mikir yang aneh-aneh!"

 

Di ruang kerja yang luas dan sunyi, Azey membenamkan diri di kulit kursi mewahnya. Tatapannya kosong, terpaku pada lukisan mahal di dinding kekayaan yang terasa hampa di dunia yang penuh bahaya dan kesunyian.

"Sebenarnya, apa yang kucari?" gumamnya lirih, lebih pada dirinya sendiri. Tangannya terangkat, menggantung di udara seolah mencari sesuatu yang tak terlihat. Gelas wiski di tangan kirinya berputar perlahan. "Apa aku harus mencari seorang istri?" Pikirannya mencemooh. "Wanita-wanita di sini... murahan. Lintah darat yang haus popularitas," desisnya jijik.

Ketukan di pintu memecah lamunannya. Azey menoleh, tatapannya setajam belati. Leonardo masuk dengan ragu.

"Kau sudah bosan hidup, Leo?" Azey menegakkan tubuhnya, suaranya dingin menusuk. "Masuk ke ruanganku tanpa izin... Kau tahu betul konsekuensinya. Sebaiknya kau punya alasan yang sangat bagus agar aku tidak membuatmu menyesal dilahirkan." Ancamannya halus, namun mematikan.

Wajah Leonardo memucat. Tubuhnya membeku, berusaha menyembunyikan ketakutan yang mencengkeramnya. "Ma-maafkan kelancangan saya, Tuan. Tapi saya memiliki informasi penting." Ia menelan ludah. "Chloe baru saja menghubungi saya. Putra Tuan Beliti sudah kembali dari Milan. Nanti malam dia akan melakukan pencucian uang di bar biasa."

Senyum licik merekah di wajah Azey. "Ah, akhirnya." Ia meletakkan sikunya di meja, kedua tangannya bertaut di depan bibir, menyembunyikan seringai puasnya. "Segera lakukan penangkapan. Temukan dokumen itu, tentu saja... dan habisi putra Beliti." Perintahnya dingin, tanpa emosi. Tawa pelan menyusul, mengerikan. "Dia telah membuat kita menunggu terlalu lama. Buat kematiannya menjadi pelajaran yang tak terlupakan. Biarkan dia merasakan setiap detik penyesalan."

"Siap, Tuan," bisik Leonardo hampir tak terdengar. Ia berbalik, meninggalkan ruangan dengan langkah limbung. Sial, apa yang membuatnya begitu mengerikan hari ini? Tuan tidak seperti biasanya, batinnya bergidik ngeri.

Malam mencuri cahaya senja. Taeri menyerahkan kunci mobil pada penjaga bar, lalu melangkah masuk, jari-jarinya bertautan erat dengan Yuna. "Waw, lumayan ramai," bisiknya, mata Taeri berbinar penasaran, "Semoga saja nggak bikin kita kecewa."

"Seru, kan?" Yuna menyahut dengan semangat membara. Ia merangkul bahu Taeri posesif. "Makanya aku bilang, nggak usah parno. Tempat ini jaminan mutu." Yuna menariknya menuju meja kosong di sudut ruangan. "Wine ya, Tae? Biar rileks."

"Eh, jangan, deh!" Taeri menolak cepat, kedua matanya melebar. "Jangan aneh-aneh, Yuna!" Gadis itu mundur selangkah, menggeleng. "Aku belum pernah nyoba yang begituan," bisiknya gugup, namun ada nada ingin tahu yang tersembunyi.

Tawa geli Yuna menyambut pengakuan itu. "Hahaha, sumpah? Masih polos banget ternyata. Belum kenal nikmatnya dunia, ya?" Yuna menyenggol lengan Taeri. "Sekali-sekali bandel nggak dosa, Tae. Biar hidup ada bumbu," godanya, lalu terkekeh.

"Ih, apaan, sih? Nggak lucu tau!" Wajah Taeri merona. Ia menatap Yuna jengkel. "Lagian, bodo amat aku mau jadi anak baik atau anak kucing, nggak akan nyentuh minuman haram!" ucapnya ketus, memalingkan wajah dengan dagu terangkat. "Emang salah kalau aku nggak minum alkohol?"

Candaan mereka terhenti saat keheningan tiba-tiba mencengkeram. Suara bising bar seolah lenyap ditelan bumi. Tiga sosok pemuda yang sangat dikenal di Roma baru saja memasuki bar, menebarkan aura yang mengancam.

Azey memasuki bar dengan langkah tenang namun angkuh. Dua orang bawahannya mengikuti di belakang, setiap gerak-gerik mereka memancarkan aura otoritas yang tak terbantahkan.

Matanya menyapu seisi ruangan, tatapan tajamnya menguliti setiap orang yang berani menatapnya. "Jangan buang waktuku," bisiknya pada Leo dengan nada rendah yang berbahaya. "Pastikan semua berjalan cepat, Leo. Aku tidak punya waktu untuk permainan."

Seorang penjaga mendekat dengan hati-hati, menundukkan kepala dalam-dalam sebagai tanda hormat. "Tuan, target ada di lantai atas. Dia berada di kamar nomor delapan belas." Wajahnya tegang, matanya bergerak gelisah, mencari celah untuk melarikan diri. "Semua jalur sudah kami tutup. Dia tidak akan bisa pergi kemana pun," ujarnya sambil menelan ludah dengan susah payah.

"Ikut aku." Azey berjalan santai menuju tangga. Namun, tatapannya tiba-tiba menyipit, menjadi lebih tajam saat bertemu dengan mata seorang gadis asing. Langkahnya sedikit melambat, dahinya berkerut tipis. "Berani sekali wanita itu menatapku seperti itu. Sepertinya dia bukan berasal dari negara ini... Menarik," batinnya ambigu, ada rasa penasaran yang terselip di balik kekejamannya.

Taeri merasakan tatapan itu membakar kulitnya. Jantungnya berdegup kencang, memompa darah lebih cepat ke seluruh tubuhnya. Pipinya merona merah, campuran antara khawatir dan ketertarikan yang membingungkan. "Kenapa dia melihatku seperti singa yang sedang kelaparan?" batinnya berbisik ngeri. Ia segera mengalihkan pandangannya, berpura-pura sibuk dengan ponselnya. "Yuna, apa kamu tahu itu siapa? Kenapa semua orang diam saat dia datang?" tanyanya penasaran, dengan nada berbisik yang tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya.

Di saat yang sama, Yuna masih terpaku menatap Azey. Matanya berbinar penuh kekaguman, seolah melihat dewa yang turun dari Olympus. "Dia itu CEO Denizer Group, Tae! Masak kamu nggak kenal?" Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Taeri, berbisik dengan nada bersemangat. "Kamu tahu nggak, dia itu orang paling kaya di Roma! Terus dia masih single dan... ugh, lihat saja tadi, dia benar-benar tampan! Rasanya jadi pengen dielus, tahu!" bisiknya antusias.

"Dasar gila," Taeri menggeleng-gelengkan kepalanya, bibirnya tersenyum geli. "Nggak usah lebay, deh, Yun," katanya bercanda, sedikit jengah dengan sikap temannya. "CEO itu juga manusia kali! Lagian, naksir cowok kok cuma dari kaya doang. Giliran dimainin nanti nangis terus bunuh diri."

Sementara itu, pria yang menjadi pusat pembicaraan sudah jauh berada di depan sebuah kamar, sebuah pistol hitam tersembunyi di balik punggungnya.

Leonardo mengambil ancang-ancang, otot-ototnya menegang. "Sepertinya pintu ini akan bernasib buruk," bisiknya, nada suaranya rendah dan berbahaya. "Saatnya bermain." Dengan gerakan eksplosif, kakinya menyambar udara, menghantam pintu dengan kekuatan penuh.

BRAK!

Mata David membelalak, wajahnya sepucat tembok. Tiga sosok yang sangat dikenalnya berdiri di ambang pintu, menebarkan aura kematian. "Apa...apa ini? Di mana para penjaga?" gumamnya gemetar, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, tak peduli pada gadis di sampingnya. "Tu...Tuan, dengarkan saya! Saya tidak kabur, saya hanya... Saya bisa jelaskan!"

DOR!

Tanpa ampun, Azey melepaskan tembakan. Ekspresinya datar, tatapannya sedingin es. "Kenapa baru sekarang kau memohon, brengsek? Ke mana saja kau selama dua bulan ini? Bersenang-senang dengan uangku, hah?!" Dengan gerakan kasar, ia mencengkeram leher David, menyeretnya ke bawah ranjang. "Jangan berteriak, atau kubunuh kau sekarang," desisnya penuh ancaman. Kakinya menekan dada pria itu, membuatnya sulit bernapas. "Katakan, di mana kau sembunyikan dokumen itu?"

"Akrrr... Tuan, ampuni saya!" erang David, wajahnya memerah padam. Matanya memohon, penuh rasa sakit. "Do...dokumen itu di Sisilia, Tuan. Tuan Giovani sudah mengambilnya saat saya di Milan, tapi hanya saya yang tahu cara membuka brankasnya."

Rahang Azey mengeras. Amarahnya meledak, menghantam David tanpa ampun. "Bajingan tak tahu diri! Aku benar-benar akan membunuhmu sekarang!" Dengan brutal, ia mengeluarkan pisau, mencongkel bola mata David. "Ini belum seberapa, sialan! Kau pantas mendapatkan yang lebih!"

Leonardo duduk santai di sisi ranjang, menggenggam tangan kedua gadis telanjang itu. "Tenanglah, manis. Tidak perlu takut, ini akan segera berakhir," ucapnya tenang, seolah ini hanyalah kegiatan rutin. Tanpa ampun, ia mengambil celana dalam merah muda yang tergeletak di lantai, menyumpalkannya ke mulut salah satu gadis. "Tetap diam, dan jangan berteriak jika ingin selamat, sayang," bisiknya datar, menikmati ketakutan yang terpancar dari mata gadis itu.

Azey menggorok leher David dengan kejam, darah menyembur membasahi lantai. "Inilah konsekuensi bagi mereka yang berani berurusan dengan Blood Eagle." Saat mengangkat wajahnya, tatapannya bertemu dengan seorang gadis yang membeku di ambang pintu, sebelum akhirnya berbalik dan lari ketakutan. "Sialan!" umpatnya keras. "Antonio, cepat bereskan ini! Ada kucing kecil yang mencoba mengganggu. Pastikan dia tidak menceritakan apa pun pada siapa pun!" Ia melemparkan mayat David ke lantai.

Antonio melangkah pelan, mencengkeram pergelangan tangan David, memotong jari-jarinya untuk mengambil sidik jari.

Taeri berlari secepat yang ia bisa, menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Kakinya hampir tersandung beberapa kali, wajahnya pucat pasi. "Dia...dia bukan manusia! Dia memotong leher orang lain tanpa berkedip!" serunya histeris. Sampai di hadapan Yuna, ia meraih tangannya, mencengkeramnya erat. "Yuna, kita harus segera pergi dari sini! Tempat ini sangat berbahaya!" desaknya panik.

"Kamu kenapa sih, Tae? Sudah seperti dikejar hantu saja," alis Yuna berkerut, bibirnya mengerucut kesal. "Aku baru saja ingin menikmati malam, tiba-tiba sudah diajak pulang."

"Tidak ada waktu untuk menjelaskan di sini! Sebaiknya kita pergi sekarang!" Taeri menarik Yuna dengan paksa, berusaha membawanya pergi secepat mungkin.

Yuna hanya mengikuti dengan pasrah, kebingungan memenuhi benaknya.

1
Syafa Tazkia
good
Zamasu
Penuh emosi deh!
Shinn Asuka
Wow! 😲
Yori
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!