“Sakitnya masih kerasa?”
“Sedikit. Tapi bisa ditahan.”
“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa.”
“Kamu terlalu kasar tadi pagi,” batin Nadhifa.
***
Renzo Alverio dan Nadhifa Azzahra saling mencintai, tapi cinta mereka dibatasi banyak hal.
Renzo, CMO Alvera Corp yang setia pada gereja.
Nadhifa, CFO yang selalu membawa sajadah dan mukena ke mushola kantornya.
Hubungan mereka tak hanya ditolak karena beda keyakinan, tapi juga karena Nadhifa adalah anak simpanan kakek Renzo.
Nadhifa meski merasa itu salah, dia sangat menginginkan Renzo meski selalu berdoa agar dijauhkan dari pria itu jika bukan jodohnya
Sampai akhirnya suatu hari Renzo mualaf.
Apakah ada jalan agar mereka bisa bersatu?
*
*
*
SEKUEL BILLIORAIRE’S DEAL : ALUNALA, BISA DIBACA TERPISAH
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02. ANAK HARAM SANG KAKEK
Aroma kopi robusta menggantung di udara pantry yang lapang. Nadhifa menikmati secangkir kopi susunya di bar stool tinggi, mencoba menyegarkan pikiran di tengah jam istirahat yang singkat. Pikirannya masih berkutat pada laporan pemasaran ketika pintu pantry terbuka.
Sosok Renzo Alverio masuk dengan langkah santai. Mata mereka berpapasan.
“Siang,” sapa Renzo dengan senyum yang sama ramahnya seperti saat perkenalan pertamanya.
“Siang, Mas,” balas Nadhifa cepat.
Renzo mendekat, mengulurkan tangannya. “Renzo. Kita belum sempat berkenalan lebih dekat.”
Nadhifa melihat tangan yang terulur itu. Dalam sekejap, semua norma yang diyakininya berteriak. Dengan malu yang sopan, dia hanya mengangguk halus dan merapatkan kedua tangannya di pangkuan.
“Saya Nadhifa. Maaf, nggak apa-apa kalau cukup dengan anggukan saja?” ujarnya lembut.
Renzo menarik tangannya, tidak terlihat tersinggung. Malah, matanya berkedip penuh pengertian. “Oh, tentu aja. Nggak masalah. Jangan terlalu formal sama gue.”
Rasanya lega. Berbeda dengan Alaric yang aura jaga jaraknya begitu kuat, Renzo justru memancarkan energi yang hangat dan mudah didekati.
Dia lalu berpindah ke mesin kopi di sebelah tempat duduk Nadhifa, mulai menyeduh kopi untuk dirinya sendiri.
“Gue kuliah di Los Angeles,” ujarnya tiba-tiba, memecah keheningan. “Baru lulus, langsung disuruh pulang dan terjun ke sini. Jalur orang dalam, typical.” Renzo menambahkan dengan sedikit senyum kecut, seolah mengakui privilege-nya tanpa mau menyembunyikannya.
Nadhifa pun tak bisa menahan senyum kecil. Kejujurannya disampaikan dengan cara yang charming. “Itu bukan hal aneh lagi di sini. Banyak kok,” godanya ringan.
Renzo tertawa. “Benar. Tapi tetap aja, tekanan untuk langsung ‘bisa’ itu besar.” Dia kemudian menoleh kepada Nadhifa. “Kalo lo? Udah berapa lama di Alvera?”
“Aku? Baru tiga bulan. Tapi dulu pernah magang di Divisi Keuangan,” balasnya mulai terdengar lebih santai.
Renzo mengangkat alis, tertarik. “Oh? Kenapa sekarang malah pindah haluan ke Pemasaran? Biasanya orang Keuangan bakal bertahan di zona nyamannya.”
Nadhifa mendadak merasa didengarkan dengan sungguh-sungguh. “Aku suka tantangan. Di Pemasaran, kita nggak cuma berurusan sama angka, tapi juga dengan orang, tren, dan cerita. Rasanya lebih ... dinamis.”
“Alasan yang bagus.” Renzo mengangguk, mengangkat cangkir kopinya. “Selamat datang di dunia dinamis yang kadang bikin pusing tujuh keliling,” candanya.
Sambil tersenyum membalas candaan itu, di dalam hati Nadhifa, sebuah bayangan gelap muncul.
Dia memperhatikan profil Renzo yang ramah, tawanya yang hangat, dan caranya membuat orang lain merasa nyaman.
Dalam diam, pikirannya berteriak. Tidak bisa dibayangkan, pria yang tampak begitu normal, hangat, dan baik ini ... menyukai sesama jenis, bahkan dengan saudara sedarahnya sendiri.
Rasa penasaran yang lama dipendam bercampur dengan sedikit rasa kecewa dan kebingungan. Dia buru-buru menepis pikiran itu, merasa tidak pantas menghakimi.
“Terima kasih,” ucap Nadhifa akhirnya, lalu meneguk habis kopinya. “Maaf, aku ada laporan yang harus diselesaikan.”
Dia melompat dari bar stoolnya, memberikan senyum singkat sebelum berbalik pergi sambil membenarkan hijabnya. Jantungnya berdebar tidak karuan.
Percakapan yang sebenarnya menyenangkan itu berakhir dengan pelariannya sendiri, karena dia tahu, semakin dekat dia dengan Renzo, semakin besar godaan untuk mengulik rahasia yang tidak seharusnya ia ketahui.
...***...
Cahaya lampu neon di langit-langit menerangi sepinya lantai 11. Hanya suara keyboard Nadhifa yang masih berdetak, memecah kesunyian. Dia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan pikiran yang kusut karena laporan akhir yang tak kunjung rampung.
Suara pintu terbuka membuatnya terjaga. Dari balik layar laptop, ia melihat Renzo keluar dari ruangannya, wajahnya terlihat lelah namun tetap tenang. Tanpa diduga, pria itu bukannya menuju lift, malah berjalan mendekati mejanya.
Nadhifa langsung tegang. Jantungnya berdebar kencang, tidak karuan.
Ada apa?
Kenapa dia mendekat?
Apa dia tahu kalau Nadhifa melihat sesuatu yang tidak seharusnya?
Renzo dengan santai menarik kursi dari meja sebelah dan mendudukkannya persis di seberang Nadhifa, menghadap ke jendela yang sudah gelap. Dia duduk, dan tatapannya yang jernih namun tajam tertuju padanya.
“Masih bertahan?” tanya Renzo, suaranya serak karena kelelahan.
“I-Iya. Laporan ini harus selesai malam ini,” jawab Nadhifa, berusaha terdengar normal sambil jarinya masih mengetik cepat.
Renzo mengangguk. “Gue perhatiin lo keliatan panik. Biasanya, kalo ada anggota tim gue yang kerja sampai larut, gue cuma pengin nemenin. Supaya mereka nggak merasa sendirian.” Ia tersenyum kecil. “Lagi pula, gue selalu yang terakhir pulang.”
Nadhifa merasa dadanya sedikit lega. Ternyata, itu alasannya. Bukan karena hal lain. “Terima kasih, Mas,” bisiknya.
Diam sejenak, sebelum Renzo memulai percakapan lagi. “Gue perhatiin, lo suka menyendiri. Bahkan saat istirahat, lo lebih sering di sini atau di pantry kecil, bukan di kafetaria. Boleh tau alasannya?”
Nadhifa menunduk. Dia tidak menyangka diperhatikan sedetail itu. “Aku ... biasa bawa bekal. Dan kadang tatapan mereka terasa nggak nyaman bahas soal hijabku,” akunya pelan, merujuk pada beberapa rekan yang kerap menyorotkan pandangan aneh pada hijabnya dan sikapnya yang pendiam.
Renzo malah terkekeh. Suara tawanya hangat di tengah kesunyian malam. “Nadhifa, itu bukan karena hijab lo.”
Nadhifa mengangkat kepala, bingung.
“Mereka kaya gitu karena lo yang terbaik di tim ini. Data-analis lo tajam, presentasi lo bersih, dan ide-ide lo segar. Mereka bukan nggak suka, mereka takut. Mereka pengin mojokin lo karena lo bikin mereka terancam. Mereka pengin lo ‘tumbang’.”
Kata-kata itu seperti siraman air segar. Nadhifa merasa dadanya yang sesak tiba-tiba menjadi lapang. Rasanya, selama ini dia salah membaca situasi.
Ada perasaan hangat dan haru yang menyelimutinya. Di balik senyum ramahnya, Renzo ternyata adalah seorang pemimpin yang sangat peduli.
Mungkin karena rasa lega dan kehangatan yang tiba-tiba itulah, atau mungkin karena beban yang terlalu lama dipendam, kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Nadhifa, tanpa filter.
“Kalau begitu, mereka akan semakin ingin menjatuhkanku jika tahu ... bahwa aku adalah anak simpanan Tuan Ravenshire Alverio."
BRAK!
Kursi yang diduduki Renzo terpelanting ke belakang begitu ia berdiri secara reflek. Wajahnya yang biasanya tenang dan ramah kini pucat pasi, matanya terbelalak seperti melihat hantu.
“Apa?!” ujarnya terdengar parau, penuh dengan keterkejutan yang tak terbendung. “Tuan Ravenshire ... kakek gue? Lo ... Lo berarti ... Tan-te?”
Dia berdiri terpaku, memandangi Nadhifa yang kini menggigit bibirnya, menyesali ucapannya yang terlanjur meluncur. Ruangan yang tadinya dipenuhi kehangatan, kini berubah menjadi sunyi yang mencekam, dipenuhi oleh beratnya sebuah rahasia yang akhirnya terkuak.
“Diam-diam, lo adalah bagian dari keluarga kami?” gumam Renzo, masih tak percaya. “Tapi ... itu berarti…”
Pikirannya langsung melayang pada konsekuensi yang jauh lebih besar, pada posisi Nadhifa, dan pada rahasia keluarganya yang ternyata lebih dalam dan gelap dari yang ia duga.