Arkan itu cowok baik—terlalu baik malah. Polos, sopan, dan sering jadi sasaran empuk godaan Elira, si gadis centil dengan energi tak terbatas.
Bagi Elira, membuat Arkan salah tingkah adalah hiburan utama.
Bagi Arkan, Elira adalah sumber stres… sekaligus alasan dia tersenyum tiap hari.
Antara rayuan iseng dan kehebohan yang mereka ciptakan sendiri, siapa sangka hubungan “teman konyol” ini bisa berubah jadi sesuatu yang jauh lebih manis (dan bikin deg-degan)?
Cinta kadang datang bukan karena cocok—tapi karena satu pihak nggak bisa berhenti gangguin yang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QueenBwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu
Paris, Menjelang senja,
"Iya begitu. Tahan sebentar.."
Pria itu sedikit membungkuk, jari telunjuknya menekan rana— klik. Sang model bergerak sedikit, mengganti posisi, dan suara itu terdengar lagi. Suara Shutter kamera mendominasi ruangan itu selama beberapa menit. Lampu-lampu di arahkan ke arah sang model untuk membuat pencahayaan lebih artistik.
"Angkat sedikit dagumu, Elira," Titah sang fotografer kemudian kembali fokus pada kamera di tangannya. Sesekali matanya melirik sang Model yang masih berpose.
"Tahan posisimu," ucapnya lagi kemudian mengambil beberapa gambar dengan angle yang tepat.
Elira Naraya Pradipta, model wanita terkenal yang wajahnya selalu ada diberbagai macam majalah terkenal. Karirnya sudah melejit hingga International. Bahkan ia selalu di undang dalam fashion week setiap tahun.
Wanita berparas manis dengan gigi kelinci itu sedikit menyayukan kedua matanya, menatap tepat kearah lensa kamera dan membuat si fotografer semakin tidak fokus saja. Elira tahu tatapan mata itu— tatapan mata seseorang yang sudah tidak profesional.
Tapi memang dasarnya Elira memiliki jiwa penggoda yang suka iseng. Maka ia tersenyum samar, matanya menatap ke arah lensa nyaris tak terbaca. Memiringkan kepalanya sedikit— cukup membuat cahaya menelusuri garis pipinya dengan lembut. Tangannya terangkat pelan, menyibak helaian rambut yang sengaja di jatuhkan di bahunya. Gerakannya lambat tapi seperti sedang menari. Udara disekitar terasa berubah; suara rana kamera berhenti sejenak sebelum kembali berbunyi— klik.
Elira tahu fotografer itu kehilangan ritmenya, dan itu adalah tujuannya sejak awal.
"Se-selesai.." Kata si fotografernya.
Elira berdiri dan merapikan rambutnya lalu mengucapkan terima kasih beberapa kali kepada staf juga si fotografer dengan senyuman sopan. Wanita itu berjalan mendekati si fotografinya seolah hendak mengecek hasil foto, padahal Elira hanya ingin semakin membuat si fotografer gelisah.
"Bagaimana?"
Deheman gugup terdengar, "Perfect seperti biasa."
"Begitu kah? Baiklah, berarti aku sudah selesai, kan?"
"Iya."
"Okey, Aku ganti baju dulu," Lanjutnya lalu berjalan menuju ruang ganti yang sudah disediakan khusus untuknya.
Saat didalam ruang ganti, Elira tertawa geli sendiri dan tersenyum puas membayangkan raut wajah tersiksa si fotografer. Sebelum berganti pakaian, ia mengambil ponselnya di dalam tas dan menghubungi sebuah nomor.
"Kak, Ini aku."
"......."
"Hanya ingin tahu kabarnya saja. Aman kan, kak?"
"......."
Tawa halus itu terdengar lagi, "Baiklah, kak. Tolong jaga dia sampai aku kembali ke Jakarta."
Diseberang sana si wanita sudah paham maksud Elira. Artinya hajar siapa saja yang berani mendekati propertynya.
"......."
"Ok kak~" Katanya lalu memutuskan sambungan teleponnya lagi.
Elira kembali menyimpan ponselnya, ia baru saja hendak melepas kemejanya sebelum terkejut dengan suara pintu yang ditutup tiba-tiba. Menoleh dan mengerjap sejenak ketika mendapati si fotografer sudah berdiri tepat didepan pintu menatapnya.
"Oh, ada apa?" tanya Elira, sudut matanya melirik jemari sang fotografer yang menutupi pintu itu perlahan.
Si fotografer itu tersenyum tipis dan berjalan mendekati Elira perlahan.
"Aku hanya ingin membicarakan sesuatu denganmu saja."
"Oh.. Begitukah? Apa tentang konsep berikutnya?"
"um.. Yaa.." Jawabnya dengan tatapan mata yang terpaku pada Elira— tajam, dalam, dan sarat akan sesuatu yang sulit disembunyikan. Ia melangkah mendekati tanpa terburu-buru, hingga jarak di antara mereka nyaris menguap habis.
"Bagaimana kalau konsep selanjutnya tanpa ada penghalang seperti kemeja ini?"
Sebelah alis Elira terangkat, "Tanpa kemeja?"
"Ya, Kurasa kau akan semakin seksi. Kalau ragu, kita bisa mempraktekannya saat ini juga. Bagaimana?" Katanya lagi, kali ini ia dengan berani hendak melepas kancing kemeja Elira tapi wanita itu menahan tangannya cepat.
"Tawaran yang menggiurkan. Tapi aku bukan model majalah Dewasa. Batasku hanya sampai ini saja.." tolak Elira halus dengan senyuman manisnya, ia baru saja akan pergi sebelum tangannya dicekal kuat dan membuatnya meringis.
"Kau tahu maksudku, Elira," Geramnya rendah sembari mengeratkan cengkramannya.
"Singkirkan tanganmu! Aku peringatkan kau!"
Lelaki berusia hampir 30 tahun itu tertawa, menurunkan wajahnya seolah hendak menciumnya. Elira semakin memberontak untuk melepaskan diri.
BRAK!
"DASAR BAJINGAN TENGIK KAU!" Teriak sebuah suara dan langsung menarik kerah baju pria itu lalu membantingnya dilantai. Membuat si fotografer meringis kesakitan disana.
"Nona muda.. Anda baik-baik saja?" tanyanya sambil menatap ke arah Elira.
Elira melirik sejenak, "Lama sekali sih! Sengaja ya membiarkan pria sialan itu menyentuhku?!"
"Maafkan saya."
"Dia tadi hampir menciumku!"
Pria jangkung dengan wajah tampan itu membelalak kaget, bisa dilihat rahangnya yang mengeras sekali dengan tatapan mata tajam.
"Apa?" Ia berbalik menghadap si fotografer yang hendak kabur, menarik kakinya lalu dengan cepat mencengkram leher si fotografer dan menghantamnya ke dinding hingga tubuhnya terangkat.
"Beraninya menyentuh cucu Tuan Hans! Kau cari mati, hah?!" Geram pria itu, membayangkan betapa marahnya sang Tuan besar jika cucu kesayangannya dilecehkan.
"A-ampun.. Ugh..!"
Sementara itu Elira mendengus dan mengambil tissue lalu membersihkan bagian pergelangan tangannya yang tadi dicengkram.
"Menjijikan sekali.." gerutunya sebal kemudian menatap sadis si fotografer yang sedang meregang nyawa ditangan pengawal pribadinya, "Aku minta ganti fotografer! Dan aku tak mau melihat wajahnya lagi!"
Si pengawal atau mari kita panggil Farhan itu mengangguk patuh, "Baik, Nona. Yang diluar masuk dan bawa sisialan ini pergi!" Panggil Farhan.
Tak lama masuk 2 orang pria berpakaian serba hitam dan langsung memakaikan karung dikepala pria itu kemudiaan menyeretnya pergi.
Setelah itu Farhan berbalik menatap Elira, melepas kemejanya dan memakaikannya di pundak wanita itu.
"Anda baik-baik saja ?"
"Ya, aku hanya kesal."
Farhan hanya tersenyum tipis lalu mengangkat tubuh yang lebih muda ala bridal dan membawanya keluar dari tempat tersebut. Elira sendiri malah santai menyamankan kepalanya di pundak si pengawal, total mengabaikan tatapan orang-orang yang memandang mereka antara takjub dan kaget. Seperti melihat adegan-adegan romansa di film kerajaan-kerajaan.
***
Di tempat lain,
Arkan berdiri menghadap mesin fotokopy dengan kening berkerut. Sedari 30 menit yang lalu dia pusing sendiri bagaimana cara mengoperasikan benda itu. Sudah diotak-otik kenapa benda itu tidak berfungsi sama sekali?
Apa rusak?
"Arkan? Apa ada masalah?"
Pria tampan itu menoleh, menatap wanita cantik yang berstatus sebagai senior di divisinya, Ayana namanya.
"Um...apa mesin ini rusak, Kak?"
"Rusak? Biar kucoba.." katanya lalu mengambil alih kertas-kertas dari tangan Arkan dan mulai mengoperasikan benda itu. Ajaibnya, ia hanya menekan satu tombol— suara mesin yang menyala langsung terdengar.
"Sepertinya kau tidak menekan tombol On, Arkan.."
Arkan mengerjap sejenak dan tertawa malu sendiri, "Ah.. Pantas saja. Terimakasih, biar aku saja kalau begitu.."
"Yakin?"
Hening sejenak.
"Sebenarnya tidak. Tolong bantuannya, kak," ucapnya sopan sekali. Tidak menyadari interaksi mereka berdua diperhatikan oleh sang kepala divisi sembari ponsel yang menempel ditelinganya.
"Iya, Pak. Saya akan menjaga putera anda dengan baik."
"Tolong jangan beritahu kepada siapapun soal puteraku.."
"Eh.. Boleh saya tahu alasan anda, Pak?"
Dari seberang sana bisa terdengar kekehan khas seorang Ayah, "Aku hanya ingin ia bisa beradaptasi saja dengan baik.."
"Baiklah, pak. Saya mengerti.."
***
Ditempat lain..
Arfan terduduk dihadapan ayahnya dengan kening berkerut.
"Kenapa Ayah membiarkan saja? Bagaimana jika mereka memanfaatkan Arkan?"
"Berarti adikmu itu lemah dan aku takkan membiarkan orang lemah memimpin Perusahaan ini."
Pria berdimple itu menghela nafas pelan, "Ayah.. Ayah Tahu Arkan itu bagaimana.. Dia itu terlalu baik dan polos, sudah pasti mudah dimanfaatkan. Apalagi hanya diberi senyuman yang tidak lebih dari dua detik."
"Itulah yang aku benci darinya.. Dia mengambil semua sifat perempuan itu. Jika saja dia sepertimu, maka aku takkan melakukan ini padanya."
"Tapi Ayah—"
"Fokus saja sama Perusahaan cabang yang Ayah berikan padamu untuk kau urus, Arfan. Arkan biar ayah yang urus."
Pada akhirnya Arfan hanya bisa menghela nafas saja dan pergi dari ruangan sang Ayah. Meratapi nasib adik satu-satunya yang menjadi sasaran kebencian sang Ayah karena kesalahan ibu mereka.
Jika saja ada sedikit keberanian, sudah sejak dulu Arfan membawa kabur Arkan dan mengurusnya sendiri ketimbang anak itu yang hidup mewah namun ia terkekang tanpa sadar.