Jika ada yang meniru cerita dan penggambaran dalam novel ini, maka dia plagiat!
Kali ini Author mengangkat ilmu hitam dari Suku Melayu, kita akan berkeliling nusantara, Yuk, kepoin semua karya Author...
"Jangan makan dan minum sembarangan, jika kau tak ingin mati secara mengenaskan. Dia menyusup dalam diam, membunuh secara perlahan."
Kisah delapan mahasiswa yang melakukan KKN didesa Pahang. Bahkan desa itu belum pernah mereka dengar sebelumnya.
Beberapa warga mengingatkan, agar mereka jangan makan suguhan sembarangan, jika tak ingin mati.mengenaskan...
Apa yang menjadi misteri dari desa tersebut?
Apakah kedelapan Mahasiswa itu dapat selamat?
ikuti kisah selanjutnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Pertama
Bus yang mengangkut para mahasiswa KKN berhenti didesa Pahang. Ketujuh mahasiwa yang mendapatkan penempatan dilokasi itu turun dengan barang bawaan mereka.
Kemudian bus kembali berjalan, untuk mengantarkan mahasiswa lainnya, yang menuju desa selanjutnya.
Terlihat rumah-rumah penduduk cukup ramai. Sepertinya ini pusat desa, dimana banyak toko dan kedai yang berjejer. Jalanan belum beraspal, hanya sudah tahap pengerasan, menggunakan tanah merah dan kerikil.
Disepanjang desa, mereka melihat hamparan pohon kelapa yang berada dibelakang rumah-rumah penduduk. Sepertinya masyarakat desa berpenghasilan dari kelapa, atau disebut kopra.
Banyak ibu-ibu berkumpul pada beberapa titik lokasi. Mereka bukan hanya sekedar berkumpul, tetapi bekerja sebagai pengupas kulit luar pada daging kelapa, yang mana nantinya akan diambil oleh agen, untuk dijadikan santan instan.
Sekilas penggambaran tentang desa Pahang, ini nama desa Karangan Author, agar tidak menyinggung sebuah desa yang dimaksudkan.
Namun, desa ini nyata, hanya disamarkan saja namanya..
"Kemana Bang Darmadi? Kenapa dia gak ikut sama rombongan? Udah jadi ketua, tapi gak bertanggung jawab banget," ucap Emy ketus. Ia mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencari sosok Darmadi yang akan memimpin mereka untuk pelaksanaan KKN.
"Iya, mana kita gak mengenal desa ini," celetuk Yayuk, dengan wajah mepas, sebab kelelahan karena jauhnya perjalanan.
"Kita cari saja Pak Kades, kita minta informasi dari beliau," Andana mengambil tindakan, sebab Darmadi tak juga memperlihatkan dirinya.
"Iya. Ayo, kita gerak. Lagian desanya gak seseram.yang diceritakan oleh Bang Darmadi," sahut Kiky, yang menggunakan kerudung hitam.
"Iya, kalau cuma begini, biasa aja, kalleee." Yuli menyahut. Lalu menenteng tas kopernya yang cukup sedang, sembari membungkuk sedikit, dengan melempar senyum ramah pada para ibu-ibu yang menatapnya dan juga rekan-rekannya..
Kemudian mereka akan bergerak, mencari rumah pak kades, yang akan memberikan informasi kepada mereka, mengenai desa ini, serta mencari rumah kos untuk tempat mereka tinggal.
Saat bersamaan, dosen pendamping tiba dengan mobilnya. Seorang pria berpakaian koko, berwajah bersih, dan penuh kharisma itu turun dari mobil.
"Assalammualaikum, Buya," ucap mereka serentak.
"Waalaikum salam,, Warahmatullahi wabarakatu." sahutnya dengan nada yang sangat menyejukkan.
"Apa kabar, Kalian?"
"Baik Buya," jawab mereka serentak.
Pria itu mengeluarkan sesuatu. Sebuah kertas yang sudah ditulis dengan tulisan tangan yang cukup rapih.
"Kalian akan ditempatkan dilokasi yang ini." tunjuknya pada sebuah peta yang memperlihatkan tentang penggambaran denah.
Andana melihat sebuah sungai yang panjang dan sangat lebar dalam denah lokasi tersebut. "Ini sungai, Pak?" tanyanya dengan rasa penasaran.
Dan pertanyaannya itu, menjadi perhatian bagi mahasiswa yang lainnya.
"Ya, ini sungai Asahan, sungai terpanjang di Sumatera Utara, dengan panjang 147 kilo meter," jelas sang dosen.
Sontak saja, hal itu membuat para mahasiswa merasa kaget. Bukankah tandanya, jika mereka tidak KKN didesa yang saat ini tempat mereka diturunkan dari bus?
"Kenapa harus disana, Buya? Bukan disini?" tanya Emy mulai was-was. Bayangan toilet dipinggir kali, yang seperti dikatakan oleh Darmadi mulai menghantuinya.
"Ya, karena disini sudah banyak para ulama, para cendikiawan. Jadi untuk apa kalian melakukan penyuluhan agama? Ilmu kalian tidak akan berguna ditempat terang, maka pergilah ketempat yang gelap, meskipun cahayamu hanya sebatang lilin, tetapi setudaknya dapat menjadi penerang," pria itu mencoba memberikan semangat kepada para mahasiswanya.
Setelah memberikan penjelasan, sang dosen berpamitan, meninggalkan mereka yang masih dalam kebimbangan.
Setelah dosen pendamping mereka pergi. Kini tinggal mereka bertujuh yang masih dalam kekalutan. "Sebaiknya kita tanya warga desa, dimana desa ini, kita akan berjalan kaki menuju kesana," Andan mencoba menenangkan para rekannya.
Ia harus dapat bersikap mengayomi. Sebab, jika ia kalut, maka rekan-rekannya akan kehilangan harapan.
Gadis itu menghampiri perkumpulan ibu-ibu yang sedang mengupas kulit ari dari daging kelapa. Ia mencoba bertanya, dimana letak desa itu.
Terlihat keramahan warga desa, yang menyambut mereka bagaikan tamu. Setelah mendapatkan informasi, Andana mengajak para rekan mahasiswanya untuk menuju ke lokasi, dengan diiringi tatapan penuh kekhawatiran dari para ibu-ibu.
"Beneran, nih? Tujuh kilometer bukan dekat, loh?" keluh kiky, yang terlihat keberatan menyeret kopernya. Entah apa saja yang dibawanya.
"Kalau dari petunjuk, sih, udah bener," sahut Andana.
"Kalian tunggu disini. Aku coba cari ojek untuk mengantarkan kita," Yudi angkat bicara. Kemudian pergi menemui warga, dan meminta mereka untuk mengantarkan ke desa tersebut.
Ia berjalan menghampiri seorang bapak-bapak yang sedang berada diwarung kopi. Ia meminta diantarkan ke desa yang dimaksud.
Setelah bernegosiasi, akhirnya hanya mendapatkan 3 ojek saja, itu tandanya, mereka harus berbonceng tiga.
Pemuda itu kembali kepada rekan-rekannya. Lalu menginformasikan hal tersebut, beserta tarif yang akan mereka keluarkan.
"Kita harus mencari satu ojek lagi, karena tidak mungkin bonceng empat," Andana terlihat berfikir keras. Ditambah hari sudah mulai menunjukkan pukul sebelas siang.
Sedangkan dangan rekan-rekan yang lainnya, mereka sudah naik keojek masing-masing, dengan cara bertukaran. Dimana kang ojek berbonceng tiga, sedangkan Yudi membonceng Kiky dan Emy. Lalu Yuli, Fitry, dan Yayuk berbonceng bersama. Andana tertinggal, tidak ada ojek yang dapat mengantrkannya.
Saat bersamaan, sebuah sepeda motor menghampiri mereka. Ketika jarak sudah semakin dekat, mereka tercengang melihat siapa yang datang. "Dasar, ketua tak berguna!" omel Andana dengan geram.
"Jangan ngomel, aku akan berguna pada waktu yang tepat!" jawabnya dengan santai. Lalu berhenti tepat disisi sang gadis yang memasang wajah masam.
Andana masih ngambek, bercampur kesal. Ia enggan untuk naik keboncengan. "Mau naik, gak? Kalau gak mau alu tinggal." pemuda itu akan menarik gas motornya, dan membuat Andana terpaksa naik ke boncengan.
****
Perjalanan mereka disuguhi oleh pohon kelapa yang tumbuh disepanjang desa. Parit-parit selebar tiga meter yang digali dari hulu hingga kehilir, menjadi sarana bagi warga desa untuk berangkat kedesa sebelah.
Para warga menggunakan sampan tradisional dan juga sampan mesin, untuk berangkat bekerja, dan juga bersekolah.
Bagi para Mahasiswa yang tinggal diperkotaan, tentu saja hal ini merupakan pemandangan yang sangat asing bagi mereka.
Disisi lain, terdapat rimbunan pohon sagu, yang tumbuh subur, dan juga merupakan tanaman bermanfaat bagi mereka.
Andana yang tadinya berwajah masam, mulai memperhatikan lingkungan sekitar. Rumah-rumah warga menggunakan tungkai yang cukup tinggi. Halaman mereka selalu basah, dan bahkan disepanjang halaman hingga kejalan, disediakan titian yanga terbuat dari papan. Hal itu bertujuan, agar kaki mereka tidak lengket saat menginjak tanah.
Gadis itu berfikir, bagaimana mereka dapat hidup dalam kondisi yang seperti itu? Tanah mereka tidak pernah kering, bahkan terdapat banyak siput bercangkang hitam yang memenuhi halaman rumah.
Sesaat ia merasa penasaran tentang sang pemuda. Sikapnya sedikit misterius, yang membuatnya ingin mencari tahu lebih banyak. "Kenapa abang tidak ikut dalam rombongan bus?" tanyanya dengan nada penasaran, serta ingin mencairkan suasana.
"Karena aku gak mau jalan kaki," jawabnya santai. Andana mendenguskan nafasnya dengan kesal, lalu memilih bungkam, ketimbang bertanya lebih jauh.
Saat bersamaan, terlihat seseorang dibalik pohon sagu, menatap rombongan para mahasiswa yang sedang melintasi jalanan dusun.
knp bisa seoerti itu sih ya kk siti
ada penjelasnya ga yaaa
hiiiiii
tambahin lagi dong ka interaksi darmadi sama andana entah kenapa jiwa mak comblang ku meronta saat mereka bersama
ada apa ini knp bisa jd begitu
hemmm ... beneran nih ya... kebangetan...