Lunara Angelita selalu percaya bahwa pernikahannya dengan Halden Nathaniel—pelukis jenius yang menjadi kebanggaan kota kecil mereka—adalah rumah paling aman yang pernah dimilikinya. Lima tahun bersama, lima tahun bahagia… atau setidaknya begitu yang ia yakini.
Hingga pada malam hujan yang sunyi, saat listrik padam, Luna tanpa sengaja menemukan sebuah kanvas tersembunyi di gudang. Dan di balik kain putihnya terpampang wajah perempuan yang seharusnya telah lama hilang dari hidup mereka—Karina, mantan kekasih Halden. Dilukis dengan detail yang hanya diberikan oleh seorang pria pada seseorang yang masih memenuhi hatinya.
Lukisan itu baru. Sangat baru.
Saat Luna menuntut kebenaran, Halden tidak berbohong—tetapi jawabannya jauh lebih menyakitkan dari pengkhianatan.
Melukis, katanya, bukan tentang siapa yang menemani hari-harinya.
Melainkan tentang siapa yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya.
Seketika dunia Luna runtuh.
Apakah selama ini ia hanya menjadi istri di ata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam yang sadis
Namaku Lunara Angelita, biasa dipanggil Luna.
Aku seorang dokter di kota kecil yang tenang—tempat di mana hidupku selalu terasa aman dan nyaman. Sejak kecil, Ayah dan Ibu menjagaku seperti porselen yang rapuh. Bahkan setelah menikah pun hidupku tidak pernah jauh dari rasa dicintai.
Aku menikah dengan pria pilihan orang tua kami.
Namanya Halden Nathaniel.
Awalnya kami hanya dua orang asing yang disatukan oleh janji keluarga. Tapi seiring waktu, kami saling jatuh cinta—atau begitulah yang selalu kupercaya. Hidup kami berjalan manis, penuh rutinitas hangat yang membuatku yakin pernikahan ini adalah takdir terbaikku.
Sampai malam itu merenggut semuanya.
Halden adalah pelukis yang dicintai banyak orang. Karyanya selalu terjual bahkan sebelum pameran dibuka. Dia bisa menangkap emosi dari setiap bayangan, setiap cahaya, setiap senyum…
Kecuali punyaku, selama ini dia tak pernah melukis wajahku. Jangankan wajahku seakan dia tak sudi memegang kuas hanya untuk melukisku, kukira karena dia memang tak bisa melukis ku karena dia selalu bilang. "Kamu terlalu sempurna untuk dilukis".
Sudah lima tahun kami menikah. Lima tahun aku berdiri di barisan pertama pamerannya. Lima tahun aku tersenyum di depan wartawan, memeluknya, menyebutnya “suamiku yang jenius.”
Namun, ada satu hal yang selalu mengganjal di dadaku:
dia tak pernah melukis wajahku.
Suatu malam, hujan turun deras. Listrik padam. Aku turun ke gudang mencari lilin—dan di sanalah aku melihatnya.
Sebuah kanvas besar, tertutup kain putih.
Aku tak tahu kenapa, tapi tanganku refleks menarik kain itu.
Dan di baliknya… wajah seorang perempuan.
Cantik. Tertawa. Mata yang seakan menyimpan seluruh dunia.
Wajah yang tidak asing.
Karina.
Mantan kekasih suamiku.
Perempuan yang dulu menghancurkan hatinya. Perempuan yang konon, sudah lama pergi dari hidupnya.
Aku membeku. Tanganku dingin.
Tubuhku merasakan kebenaran lebih dulu sebelum otakku mengakuinya.
Ini bukan lukisan lama.
Ini bukan karya masa lalu.
Ini… cinta yang masih ada.
Aku kembali ke ruang tamu dengan lilin di tangan. Tak lama kemudian, pintu kamar berbunyi. Halden keluar, wajahnya lembut seperti biasa.
“Tumben sekali lampu mati,” ujarnya sambil duduk di sampingku. “Kamu ambil lilin di mana, sayang?”
Aku menatapnya.
Mata yang dulu membuatku merasa dicintai kini terasa asing.
“Di gudang,” kataku pelan.
Ia tersenyum kecil. “Kenapa tidak minta aku ambilkan? Aku bisa—”
Aku memotongnya.
“Memangnya kenapa? Kamu takut aku menemukan sesuatu?”
Senyumnya mati.
"Kenapa? selama ini kamu masih mengingatnya? Lukisan itu....lukisan itu bahkan masih tersimpan rapi disana". Ucapku gemetar.
Ketika aku bertanya malam itu, Halden tidak menyangkal.
Ia hanya duduk di sofa, jemarinya saling menggenggam erat seperti seseorang yang sedang menahan sesuatu dari pecah.
Aku mencengkram ujung kemejanya. "jawab!! Apa kamu masih mencintainya? Apa selama ini aku...aku hanya bayangan bagimu? Apa kamu menikahi ku hanya untuk pengganti dirinya? Jawab Halden!!! Jawab!!".
“Aku mencintaimu, Luna,” katanya pelan. “Tapi melukis… adalah tentang apa yang diingat hati. Bukan apa yang seharusnya kuingat.” Menatap ku sendu
Aku diam membeku air mataku perlahan menetes, rasanya seperti beribu-ribu beton menghantamku. Pria yang ku anggap sebagai rumah ternyaman dan paling aman sekarang menghancurkan ku.
Dan saat itu aku sadar…
Aku mungkin istrinya.
Tapi aku bukan inspirasinya.
Mendapat cinta… tidak sama dengan hidup di dalam lukisan hatinya.