Gayatri, seorang ibu rumah tangga yang selama 25 tahun terakhir mengabdikan hidupnya untuk melayani keluarga dengan sepenuh hati. Meskipun begitu, apapun yang ia lakukan selalu terasa salah di mata keluarga sang suami.
Di hari ulang tahun pernikahannya yang ke-25 tahun, bukannya mendapatkan hadiah mewah atas semua pengorbanannya, Gayatri justru mendapatkan kenyataan pahit. Suaminya berselingkuh dengan rekan kerjanya yang cantik nan seksi.
Hidup dan keyakinan Gayatri hancur seketika. Semua pengabdian dan pengorbanan selama 25 tahun terasa sia-sia. Namun, Gayatri tahu bahwa ia tidak bisa menyerah pada nasib begitu saja.
Ia mungkin hanya ibu rumah tangga biasa, tetapi bukan berarti ia lemah. Mampukan Gayatri membalas pengkhianatan suaminya dengan setimpal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GAYATRI 01
"Ini kalung siapa, Mas?" tanya Gayatri seraya menunjukkan kotak beludru merah berisi kalung emas yang ia tunjukkan di laci kerja suaminya.
Suaminya, yang tengah sibuk memasang dasi langsung menghampirinya dan merebut kotak beludru itu dengan panik.
"Bagaimana bisa kau menemukannya? Lain kali, jangan pernah sentuh barang-barangku, Gayatri!" sentaknya kesal, karena Gayatri berhasil menemukan hadiah yang susah payah ia sembunyikan.
"Aku cuma bertanya saja, Mas." Gayatri menunduk, ia pikir kalung itu adalah hadiah ulang tahun untuknya.
"Sudah! Jangan mengacau lagi. Pergilah ke dapur dan siapkan sarapan! Sebentar lagi orang tuaku pasti bangun," katanya mengingatkan.
Padahal, tanpa perlu diingatkan pun, Gayatri sudah melakukannya. Ia sudah memasak sarapan dari pukul 5 pagi, hanya tinggal menunggu orang-orang di rumahnya bangun.
"Aku akan membangunkan anak-anak dulu." Dengan hati yang merasa kecewa, Gayatri memilih keluar dari kamarnya untuk membangunkan anak-anak mereka.
Awalnya Gayatri berharap, akan mendapatkan kecupan selamat pagi ataupun sebatas ucapan ulang tahun dari suaminya. Tetapi, sepertinya, Gayatri terlalu banyak bermimpi. Ia lupa bahwa selama 25 tahun terakhir ini, suaminya tidak pernah sekalipun mengingat hari ulang tahunnya.
"Apa yang aku pikirkan sebenarnya?" gumam Gayatri, menepuk keningnya sendiri. "Lupakan saja ulang tahunmu, Tri. Kau masih punya banyak hal yang harus dikerjakan."
Pertama-tama, Gayatri membangunkan putri bungsunya lebih dulu. Anak ketiganya itu, tergolong sulit sekali untuk dibangunkan. Namun, belum sempat Gayatri membuka pintu, panggilan dari ruang tamu memaksanya untuk segera pergi.
"Itu pasti ibu yang memanggil," gumam Gayatri, kemudian langsung setengah berlari untuk menghampiri sang ibu mertua dan melupakan niatnya untuk membangunkan si bungsu.
"Dari mana saja kau? Di mana teh kami?" tanya ibu mertuanya begitu melihat Gayatri datang.
"Ada di dapur, Bu. Sebentar Tri ambilkan, ya." Gayatri langsung ke dapur, mengambil dua cangkir teh jahe yang sudah ia siapkan sebelumnya.
Ia membawanya ke ruang tamu dan meletakkannya di meja. "Silakan, Bu. Hati-hati masih panas," katanya sopan. "Ini untuk Ayah, hati-hati masih panas."
"Terima kasih, Nak. Di mana Mahesa? Kenapa masih belum turun juga?" tanya sang ayah mertua, penuh kelembutan.
"Tadi masih siap-siap, sebentar lagi pas—"
"Ibu!"
Teriakan Kaluna berhasil membuat mereka bertiga menoleh ke arah yang sama.
"Kenapa, Luna? Kenapa teriak-teriak? Ini masih pagi." Kakeknya mengingatkan.
Kaluna yang kesal tak memedulikan nasihat sang kakek, dengan wajah dan rambut yang masih berantakan ia menghampiri sang ibu.
"Ibu! Kenapa Ibu tidak membangunkan aku? Ibu tahu kan kalau aku ada presentasi tugas hari ini? Aku harus datang lebih awal, Bu!" sentak Kaluna kesal.
"Ibu ingat, Nak. Tadi ibu mau—"
"Sudahlah! Ibu sudah membuat aku kesal saja!" Kaluna langsung berlalu dari sana usai menyentak ibunya dengan kasar.
Sadar bahwa putri bungsunya tengah merajuk, Gayatri justru dengan cepat menyusul putrinya untuk membantu anaknya bersiap.
"Lihat itu, entah apa saja yang dilakukannya sampai lupa membangunkan putrinya. Kasihan Kaluna, dia pasti terlambat ke sekolah hari ini," komentar Sarita.
Wira, sang suami, menggeleng pelan melihat sikap istrinya yang selalu saja mengomentari apapun yang dilakukan Gayatri.
Tak lama selepas Gayatri pergi, Mahesa turun. Sama seperti yang dilakukan putrinya tadi, ia memanggil-manggil nama Gayatri. Namun, sang pemilik nama tak kunjung menyahut.
"Kenapa, Mahesa? Kau dan putrimu sama saja, berteriak-teriak terus."
"Ayah, di mana Gayatri? Aku sudah terlambat. Di mana sarapan dan kotak bekalku?" tanyanya seraya merapikan dasi yang terasa tidak rapi.
"Istrimu sedang sibuk membantu Kaluna bersiap! Biar Ibu saja yang menyiapkan sarapan untukmu," sahut Sarita, lantas beranjak dari duduknya untuk menyiapkan sarapan bagi Mahesa.
"Seharusnya Gayatri yang melakukannya, Bu." Mahesa terlihat tidak nyaman, apalagi porsi makan yang diambil sang ibu tidak sesuai dengan porsi sarapan Mahesa yang biasanya.
Sarita menatap putranya sejenak, lalu menuang air. "Memangnya kenapa? Mau Ibu ataupun istrimu itu yang menyiapkan sarapan, semuanya sama saja!"
"Memang sama, tapi Gayatri tahu jelas seberapa banyak sarapan yang harus kumakan," jawab Mahesa sambil menyendok sarapan ke dalam mulutnya.
Sarita hanya melengos, harus ia akui, segala sesuatu mengenai anaknya selalu diurus oleh Gayatri. Tetapi, bukan berarti ia tidak bisa mengurus putranya sendiri.
"Sebaiknya aku memanggil Keenan dan Keandra," kata Sarita, memilih pergi dari sana usai menyiapkan sarapan untuk suaminya. Namun, baru beberapa langkah, lututnya terasa sakit.
"Aduh! Lututku!" Sarita mengaduh pelan, hingga Mahesa dan Wira langsung menghampirinya dengan panik.
"Ibu! Hati-hati. Sudah kubilang seharusnya Gayatri saja."
"Kau pasti lupa minum obat, itu sebabnya lututmu terasa sakit."
Keduanya kompak memapah Sarita dan mendudukkannya di sofa. Sementara Sarita masih mengaduh pelan, Mahesa justru berteriak lantang memanggil Gayatri.
Hingga beberapa kali dipanggil, barulah Gayatri muncul dengan wajah paniknya. "Ada apa? Kenapa berteriak keras sekali?" tanyanya begitu tiba.
Mahesa yang sedari pagi sudah kesal, bertolak pinggang, menatap sang istri dengan tatapan tajam. "Lihat ini! Gara-gara kau, ibu jadi kesakitan!" tuduhnya langsung.
Mendengar nama ibu mertuanya disebut, Gayatri langsung berpaling kepada Sarita yang mengaduh pelan sambil mengusap-usap lututnya.
"Lutut Ibu sakit lagi? Tri ambilkan obatnya, ya, Bu?" tawar Gayatri. Ibu mertuanya itu memang memiliki riwayat sakit sendi, selama ini, ia pula yang mengurusnya. Bahkan ketika Sarita mengalami kejadian seperti sekarang, Gayatri pula yang mengobatinya.
Sarita mengangguk pelan, ia memang lupa meminum obatnya. Namun, belum sempat Gayatri beranjak untuk mengambil obat sang ibu mertua, Mahesa justru menghadangnya.
"Semua ini gara-gara kau yang tidak becus. Kalau saja kau bisa bekerja lebih cepat, ibuku tidak perlu repot-repot menyiapkan sarapan untukku dan ayah. Ke mana saja kau dari tadi?"
"Mahesa," tegur Wira.
Tapi, Mahesa justru tidak mendengar. "Cukup, Ayah. Jangan terus membela Gayatri. Ini kesalahannya. Kalau dia bisa bekerja lebih cepat, ibu pasti tidak akan kesakitan seperti sekarang."
"Maaf, Mas. Tadi aku mau bantu Kaluna, dia—"
"Bagus! Sekarang anakku yang kau pakai alasan?" tuduhnya berkacak pinggang. "Akui saja kesalahanmu, Gayatri."
"Iya, Mas. Tapi—"
"Ah, sudahlah! Tidak ada gunanya berdebat denganmu. Aku sudah terlambat. Kau harus mengurus orang tuaku dengan baik. Ingat! Aku tidak mau melihat ibu repot seperti tadi."
Selepas mengatakan hal itu, Mahesa memilih pergi. Mengambil tas kerja dan kunci mobilnya.
Sementara Gayatri terpaku di tempat, satu tangannya menekan dadanya yang terasa sesak. Ini bukan kali pertama sang suami menyalahkan dan menuduh dirinya tidak becus mengurus rumah. Tetapi, walaupun makian itu sering ia terima, rasanya tetap saja menyesakkan.
Wira yang mengetahui kegundahan menantunya, mengusap bahu Gayatri pelan. "Sabar, Nak." Hanya kata itu yang bisa Wira ucapkan, sambil berharap menantunya kembali kuat.
Tak mau ambil pusing, Gayatri memilih melanjutkan pekerjaan rumahnya seperti biasa usai memberi Sarita obat yang dibutuhkannya
Kesibukannya hari itu membuatnya lupa hari pentingnya sendiri.