Setelah kekasihnya Reino memilih menikahi wanita lain, Niara mencoba keluar dari patah hatinya dengan segenggam harapan cinta yang di berikan Ridwan seorang duda dua anak.
Setelah Niara mulai terbiasa mencintai Ridwan, Reino datang dan mengaku melakukan nikah paksa karena sebuah perjanjian yang dilakukannya dengan ibunya. Dengan harapan, setelah satu tahun menikah, dia akan bercerai lalu bisa kembali kepada Niara. Sayangnya, Niara sudah mengubur rasa cinta itu. Dia memulai menata hati dan kehidupan barunya dengan pernikahan yang akan dilaksanakan sebentar lagi.
Di hari pernikahannya dengan Ridwan, Reino datang dengan membawa tragedi berdarah yang tidak pernah di bayangkan oleh Niara. Salah seorang anak tirinya dibunuh oleh Reino tepat di depan matanya. Tak sampai disitu, untuk bisa kembali dengan Niara, Reino selalu menerornya dan menculik Niara. Rasa cinta Reino yang berlebihan, menyiksa hari-hari Niara.
Yuk, ikuti kelanjutannya!
like, coment, subscribe ❤️
🍁stay tuned
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noveria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1
Aku yang tak bisa bernafas tanpamu, dan aku yang tak bisa hidup tanpamu. Sebelumnya..
Mencintaimu tak semudah itu, melupakanmu lebih sangat tak mudah lagi.
Aku berdiri di depan cermin, menatap kekosongan di hatiku. Mendengar kau menikah dengan orang lain adalah kabar terburuk yang harus aku telan.
BAB 1 ( Ingin Melupakan Mantan )
Setiap malam aku selalu terjaga dan tak bisa tidur. Setiap hari aku sudah tidak ada semangat lagi menjalani hari, mungkin kamu tidak tahu sesulit ini melupakanmu, Reino.
“Niara,” seseorang mengetuk jendela kaca. Dia memanggilku dengan mengerutkan alisnya. Aku hanya mengangguk melihat teman sekantorku, yang lelah menungguku sedari tadi di depan. Dia masuk kedalam karena tak sabar, dengan kelakuanku yang selalu lelet.
“Kamu ingin tidur disini!” Vira mengomeliku. Namun aku hanya diam. Sejak pernikahan mantan kekasihku ku ketahui, semangat kerja mulai memudar.
Apalagi yang aku impikan? Impian itu sudah pupus. Semua tabungan yang kita buat bersama, berharap bisa memiliki rumah dan villa yang kami inginkan sudah lenyap. Reino meminta membaginya, setelah hari pernikahannya dia meneleponku bukan untuk meminta maaf, namun hanya ingin aku membagi tabungan kita. Hanya itu saja.
Setelah itu aku dan Reino, bagai orang asing. Padahal kami bekerja satu pabrik. Aku diam-diam masih menatapnya dari kejauhan, entah dia masih memikirkan aku atau tidak? Apakah semudah itu dia melupakanmu? Aku ingin menghapus dia di barisan memoriku, aku sudah mencobanya. Namun, selalu gagal. Melihat orang yang aku cintai dan aku benci setiap hari.
Langkahku perlahan berhenti. Dia melewatiku, menoleh ke arahku. Melempar senyum, seakan tidak terjadi apa-apa diantara kami.
Hari demi hari rasa sakit itu tidak terobati, ‘ya aku tergila-gila padanya’ aku jujur dengan diriku. Pertengkaran kami bukan sekali dua kali saja. Namun, kami selalu kembali bersama. Kali ini hal itu mustahil, dia sudah memiliki ikatan pernikahan dengan wanita lain. Untuk meraihnya, seakan aku terlalu haus cinta. ‘aku tidak ingin terlihat itu’ tapi aku tidak bisa.
Dia melewatiku lagi, dia tersenyum lagi. Tidakkah dia bisa beri penjelasan kenapa dia memilih berpisah. “Ini bukan hanya karena orang tuanya tidak setuju padaku, kan?” Aku masih menggumamkan pertanyaan itu tanpa henti.
Jalan-jalan yang kulalui untuk sampai ke rumah terasa sangat jauh. Suara klakson lagi-lagi mengagetkanku.
“Apa kamu gila? Ini sudah lampu hijau!” Mobil lain mendahuluiku. Aku menepi, air mataku tumpah untuk kesekian kalinya. Aku hanya bisa menangis di dalam mobil. Aku tidak ingin orang tahu, aku menangisi seorang Pria. Untuk orang se-ambisius aku, patah hati. Apakah itu hal wajar?.
Aku menepuk dadaku berulang kali, meminta diriku untuk berhenti menangis. Namun, semakin aku menyuruh berhenti. Tangisanku semakin keras.
Butuh beberapa jam hingga kering, aku melajukan mobilku lagi. Aku berniat untuk berlibur saja menenangkan pikiranku yang kacau. Aku pulang kerumah mengemas semua baju masuk kedalam koper.
“Kamu mau kemana?” teriak Ibuku. Aku menutup pintu dengan keras, keluar rumah dan mengangkat koperku masuk ke dalam bagasi.
Aku tidak tahu akan kemana, yang pasti ingin pergi jauh saja. Melupakan semuanya. Kalau bisa mati saja, jika bisa melupakan Reino.
Satu persatu melewati lampu merah, sudah ratusan kali mungkin. Mobil ini masih melaju tanpa arah. Hingga akhirnya berhenti di sebuah desa terpencil. Aku keluar dari mobil. Semua sunyi dan senyap. Lagi-lagi aku tak berlari menjauh dari kenangan itu. Kakiku malah berhenti di tempat dimana aku dan Reino pernah datang bersama.
Aku menarik koper keluar bagasi, masuk ke dalam penginapan. Dan memilih kamar yang sama. Aku mengacak rambutku “bodoh, bodoh!” mulutku selalu bilang ingin keluar meninggalkan kenangan, sedangkan hatiku ingin mengulang hal yang sama untuk mengobati kerinduan.
Setelah sejenak istirahat, aku keluar dari penginapan. Berjalan menyusuri pantai yang tak jauh dari penginapan. Menatap semua bintang yang bertaburan di langit.
“Aku sangat mencintaimu,” aku berteriak keras, dengan alasan ingin melepaskan beban di hatiku. Namun, malah air mata yang turun di pipi.
Aku yang saat ini berusaha melupakan mantanku, aku harap tidak sia-sia.
Beberapa hari menginap, aku hanya makan dan jalan-jalan. Menghabiskan tabunganku. Aku ingin menjalani semuanya, asalkan bisa melupakan Reino.
‘Kamu gila! Tidak berangkat kerja berhari-hari.’ sebuah pesan masuk di ponselku. Aku berdecak kesal ketika melihat pesan dari atasanku.
Akhirnya aku melajukan mobilku untuk pulang. Setelah mendapatkan ratusan makian pesan. Tapi, sepertinya tidak ada yang berubah. Hatiku masih perih.
Aku menancap gas di jalanan sepi. Ingin sampai di rumah secepatnya.
Brakk..
Suara benturan keras. Saat ini mobilku berhenti ketika menabrak mobil lain di depanku. Aku yang setengah sadar, menatap ke luar jendela. Mobil sedan putih, membentur tiang. Aku mendengar teriakan beberapa orang. Seseorang, menggedor jendela dari sisi kananku. Berteriak, entah memaki atau mengatakan hal lainnya. Semua terasa lirih untuk di dengar di telinga. Pandanganku perlahan kabur. Aku mengangkat jari-jariku, memastikan cincin itu masih melingkar di jari manisku. Kenangan terakhirku dari Reino. Semua menjadi gelap.
“Aku masih mencintaimu,” aku menggumamkan itu beberapa kali sebelum kesadaranku hilang sepenuhnya.
'Seharusnya aku tidak seperti ini, mencintai orang seharusnya tidak sejauh ini, kalau saja aku berlari saat itu. Berlari mengejarmu lebih kuat mungkin kita masih bersama.'
Sop cakar Ayam.
Sop Ayam daging
gak bisa, hati kecilku terluka. selamat Thor, 5 bunga untuk mu:)
hiks hiks hiks T_T
aku perlu gerbang dimensi!
mampir juga ya..
nie kalok ternyata sampai anak si cowok itu, ku bakar rumah sakitnya!!