Pertemuan Tak Terduga

Seorang pemuda tengah berusaha menghindar dari amukan massa yang mengeroyokinya.

"Tolong, ampuni saya. Bukan saya yang mengambil dompet ibu itu. Percayalah!!" ujarnya sambil mengatupkan kedua telapak tangannya meminta ampun pada warga yang mengeroyoknya.

"Alaaahh ..., maling mana ada yang mau ngaku," celetuk salah satu warga yang ikut mengeroyoknya.

"Iya, mana ada maling yang ngaku, cih," sahut yang lain sambil meludah.

"Tapi itu benar. Bukan saya pelakunya," bela pemuda itu berusaha melepaskan cengkeraman warga yang sedang memegangnya.

"Mau ngelak, kamu. Itu apa yang ditangan kamu. Jelas-jelas dompet ibu ini ada ditangan kamu. Masih aja ngeles," tuding orang itu lagi.

"Tapi benar, Pak, bukan saya pelakunya. Tadi itu saya sedang jalan, terus tiba-tiba dari arah depan saya ada orang yang lari sambil memberikan dompet ini pada saya. Saya juga bingung kenapa orang itu melakukan ini," jelas pemuda.

"Alaaah, pasti kamu salah satu komplotannya, kan?! Ngaku aja, deh," tuduh orang berbaju hijau berusaha memprofokasi.

"Udaaahh, mending kita gebukin aja dia biar kapok."

"Ampun, Pak! Saya mohon jangan! Bu, jika ini milik ibu, ini saya kembalikan. Tapi sungguh, Bu, bukan saya yang jambret dompet Ibu. Memangnya Ibu yakin saya yang ambil ini dompet?!" tanya si pemuda pada ibu yang mengaku dompetnya dijambret.

"Saya, jujur saya kurang yakin. Tadi suasananya sedikit gelap, jadi saya kurang mengenali ciri-ciri orang itu," aku si ibu dengan pakaian glamour itu.

"Udah, kita gebukin aja, nih orang biar tau rasa," kompor orang berbaju hijau itu lagi.

"Ayooo ..."

"Iya, biar tau rasa dia," sahut yang lain.

Buk! Bukk!!

"Aauukh ..., ampun, tolong hentikan! Bukan saya pelakunya," jerit pemuda itu saat perutnya mendapat tonjokan dari salah satu warga yang sedang memukulinya.

"Ada apa ini ribut-ribut?! Begini cara kalian menhakimi warga tanpa bukti yang jelas?!" tanya seseorang yang baru turun dari mobil mewahnya.

Pakaian dengan setelan jas hitam yang dikenakannya menunjukkan kewibawaannya.

"Berhenti memukul atau kalian saya laporkan ke polisi karena sudah berani main hakim sendiri," ancam orang berjas hitam itu tegas.

Warga pun langsung berhenti memukuli si pemuda begitu mendengar kalimat orang berjas hitam tersebut.

"Hei, Pemuda! Apa benar yang dikatakan orang-orang ini, jika kamu telah mencuri dompet ibu ini??" tanyanya tegas seraya menunjuk warga dan si ibu.

"Bukan, Pak! Pantang bagi saya mengambil barang orang dengan cara mencuri atau mencopet. Meskipun saya miskin, tapi orang tua saya selalu mendidik dan mengarahkan saya ke jalan yang benar," pungkas si pemuda setelah menjelaskan duduk perkaranya.

Tangan kirinya mengusap sudut bibirnya yang berdarah akibat amukan warga, sementara tangan kanannya dia ulurkan untuk mengembalikan dompet milik si ibu itu.

"Coba Ibu cek dulu, barangkali ada yang hilang atau berkurang," perintah orang berjas hitam.

"Baik, Pak!"

Si ibu pun mengecek isi dompetnya dengan teliti.

"Masih utuh, Pak!" ujarnya.

"Nah, si Ibu sudah mengaku isi dompetnya masih utuh. Apa perkara ini masih mau diteruskan lewat jalur hukum, dengan konsekuensi kalian juga dihukum karena sudah main hakim sendiri?!" tanya orang berjas hitam pada warga yang langsung menggeleng cepat, takut dipenjara.

"Baik! Kalau begitu, silahkan bubar! Biarkan pemuda ini pergi," ujarnya lagi.

Para warga pun langsung mundur teratur diikuti ibu pemilik dompet.

"Kau tidak apa-apa, anak muda?!"

"Tidak! Terima kasih sudah menyelamatkan saya, Pak!" jawab pemuda itu membungkuk memberi hormat.

"Kau yakin tidak apa-apa? Sepertinya kakimu cedera," ujar orang berjas hitam saat melihat si pemuda yang jalan dengan sedikit terpincang dan menahan sakit.

"Mari saya antar ke rumah sakit. Takutnya ada yang cedera dengan kaki kamu."

"Tidak apa-apa, Pak, terima kasih!"

"Jangan sungkan. Ayo, mari saya antar."

"Tapi ..." belum sempat pemuda menjawab, orang berjas hitam itu mengulurkan tangan kanannya.

" Perkenalkan, nama saya Bayu. Siapa namamu?" tanya orang berjas hitam itu memperkenalkan diri.

"Saya Ditya, Pak!"

Pemuda yang mengaku bernama Ditya itu menyambut uluran tangan Bayu.

"Ok, Ditya, mari saya antar kamu ke rumah sakit."

Bukannya dia tidak mau berobat, tapi karena dia sedang tidak punya uang. Sebenarnya ada uang dikantong celananya sekarang. Tapi niatnya uang itu dia gunakan untuk membayar biaya semesterannya minggu depan. Itupun masih kurang sedikit.

Jika dia harus berobat, maka dia tidak akan bisa membayar semesterannya dan itu artinya, dia harus rela drop out dari kampus sebab tidak bisa membayar uang kuliah yang sudah menunggak satu semester itu.

Beruntung Ditya bisa meyakinkan pihak administrasi tempatnya kuliah sehingga dia punya keringanan waktu.

"Ditya!" panggil Pak Bayu manakala dilihatnya Ditya malah diam saja ditempatnya berdiri.

"Eh, i-iya, Pak! Saya ...," jawabnya tergagap.

"Ayo, kita ke rumah sakit sekarang," ajak Pak Bayu lagi.

"Ba-baik, Pak! Terima kasih sudah repot-repot menolong saya," sahut Ditya.

" Sama-sama!" ucap Pak Bayu.

"Memangnya Bapak percaya sama saya?!" tanya Ditya saat keduanya sudah dimobil mewah milik Pak Bayu menuju rumah sakit.

"Maksudmu?!"

"Maksud saya, memangnya Bapak percaya bukan saya yang mengambil dompet ibu-ibu tadi? Bagaimana seandainya memang benar saya yang mengambil dompet tersebut?!"

"Hahaha ...!"

"Kok, Bapak malah tertawa?"

"Memangnya benar kamu yang mengambilnya?!" Pak Bayu justru bertanya balik.

"Bukan!" jawab Ditya cepat.

"Berarti memang bukan kamu yang mengambilnya," ujar Pak Bayu santai.

"Tapi kenapa Bapak merasa yakin? Bisa saja saya berbohong, kan?!"

"Itu karena saya percaya padamu, anak muda," sahut Pak Bayu.

"Darimana Bapak bisa mempercayai saya?"

"Dari kata-katamu tadi, bahwa pantang bagimu untuk mencuri barang orang karena orangtuamu mendidikmu dengan sangat baik."

"Ya! Saya memang terlahir dari keluarga miskin, tapi orang tua saya mendidik saya dengan sangat baik. Saya bangga pernah mempunyai orang tua seperti mereka," jawab Ditya lirih.

Pak Bayu mengernyit heran mencerna kata-kata anak muda disampingnya.

"Maaf, anak muda! Tadi kamu bilang 'pernah' mempunyai orang tua seperti mereka. Maksudmu apa, ya?! Maaf, jika saya ikut campur."

"Tidak apa-apa, Pak!" Ditya tersenyum.

"Saya memang pernah mempunyai orang tua angkat. Tapi dua tahun lalu mereka meninggal akibat kecelakaan bus saat mereka melakukan perjalanan ke ibu kota. Sekarang saya kembali yatim piatu sebab orang tua angkat saya tidak memiliki keturunan," jelas Ditya sedih.

"Maaf sekali lagi. Memangnya kemana orangtua kandungmu?!"

Ditya menggeleng pelan.

"Saya tidak tahu siapa orang tua saya. Yang saya tahu sejak kecil saya hidup dipanti asuhan. Saat usia saya sepuluh tahun, orang tua angkat saya membawa saya pulang kerumahnya dan merawat saya hingga dua tahun lalu mereka meninggalkan saya untuk selamanya."

"Saya turut berduka atas meninggalnya orang tua angkat kamu. Dan ... semoga kamu segera bertemu dengan orangtua kandungmu."

"Terima kasih!"

Ditya tersenyum pada Pak Bayu yang sedang menyetir mobilnya. Entah kenapa, dirinya bisa sangat terbuka dengan orang asing, apalagi orang itu baru pertama kalinya dia temui tanpa terduga.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!