Candu merindu di batas waktu yang yang tak pernah bertemu. Pada Rabb kutitipkan rindu padamu yang tak pernah membuatku jemu.
***
Akhza
Di kamarnya ia uring-uriangan sendiri. Berguling ke sana kemari di atas kasur yang sudah lama tak ia tempati. Sama seperti Aro, kesibukan Akhza sebagai mahasiswa jurusan kedokteran membuat waktu pulangnya terbatas. Ia yang kini sedang menjalankan tahap pendidikan profesi atau co-*** di salah satu rumah sakit di Ibu Kota, sering kesulitan membagi waktu antara keluarga dan tugasnya.
Kamu kenapa sih, Ra malah milih dijodohin?
Apa kamu lupa janji kita?
Kenapa juga Jidda sama Umma Zha harus melarang hubungan kita?
Batin Akhza bersahutan, seperti ada ribuan bintang berputar-putar di atas kepalanya. Pertanyaan yang tak kunjung ia dapati jawabannya.
Sebulan yang lalu saat Ara memberitahunya bahwa dirinya tak bisa menerima cintanya sebab sudah dijodohkan oleh seseorang membuat dunia rasanya hancur. Tak enak makan, tak enak tidur, tak enak melakukan aktifitas. Efek patah hati memang besar akibatnya bagi penderitanya.
Besarnya merindu pada Ara seperti tak memiliki arti. Dia dan Ara laksana aksara yang mesti selalu berjarak. Pernah merajut asa untuk bisa menyatukan cinta bersama Ara nyatanya murni hanya rencana yang tak kunjung ada jalannya.
Di tahun pertama kuliah semua masih terasa indah, meski jarang pulang ke rumah karena sibuk. Hubungannya dengan Ara tetap hangat walau sebatas sapa via chat. Ara memilih kuliah di Bogor mengambil jurusan kebidanan pada salah satu universitas swasta di kota hujan itu.
Tahun berikutnya sekat itu semakin melebar, entah apa penyebabynya. Mungkin karena kesibukan masing-masing dan juga jarangnya bertemu membuat jangankan sapa, jumpa saja sudah tak ada.
Akhza merasa seolah dijauhkan dari Ara, ia merasa ada kesengajaan dalam pemisah antara keduanya. Benar saja, setelah tahu penyebabnya datang dari keluarganya sendiri, Akhza sedikit murka. Ia tak terima dipaksa dijauhkan dengan Ara.
Namun, lain halnya dengan Ara. Gadis manis itu memilih menurut dan tunduk. Hingga akhirnya suatu hari dirinya dikenalkan pada seorang pria bernama Ahmad Sakaf. Putra dari sahabat ayahnya, usianya tujuh tahun lebih tua dari Ara. Pria matang dan taat agama, setidaknya itu yang jadi alasan Ara menerima perjodohan itu. Bukan cinta? jelas bukan. Sebab cinta Ara sudah terjebak dalam rasa pada satu nama.
Akhza beranjak dari tempat tidur, pakaian formalnya sudah ia tanggalkan. Kini hanya menyisakan sarung hitam dan kaus putih yang melekat di badannya. Akhza melangkah keluar kamar, mungkin menghirup udara segar dapat membuatnya sedikit nyaman.
Ara
Selesai menghabiskan satu porsi mie Ara segera beranjak dari tempat tidur Aro. Ia sudah cukup lelah dikerjai oleh kakaknya itu.
"Mau ke mana?" tanya Aro seraya menarik ujung hijab bagian belakang Ara.
"Keluar dong, Mas. Ngapain aku di sini terus?" sungut Ara kesal.
"Mintain gue kopi dong ke kafe," pinta Aro.
"Mas telepon aja siapa kek suruh anter ke sini," tolak Ara seraya melangkah. Tak peduli lagi dengan Aro.
"Lo dong yang telepon, bilangin sekalian sama roti."
"Udah sore gini roti abis, Mas."
Ara segera mempercepat langkahnya, tak ingin lagi dikerjai Aro. Waktu yang mestinya dipakai untuk merebahkan badan, ia buang percuma meladeni kejahilan Aro.
"Pil, tunggu ....!"
Teriakan Aro membuat langkah Ara yang sudah sampai di bibir pintu terhenti. Aro yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos rumahan segera melangkah menyusul Ara.
"Apalagi, Mas?" sentak Ara
Aro sekonyong-konyong memeluk leher Ara, membuat Ara membulatkan matanya.
"Bareng, dong jalannya," sahut Aro segera melangkah membuat Ara ikut melangkah.
Saat keduanya benar-benar keluar dari kamar Aro, saat itu juga Akhza keluar dari kamarnya. Pintu kamar keduanya yang saling berhadapan membuat Akhza dengan jelas menangkap pemandangan yang tak hanya menohok matanya tapi juga menusuk hatinya.
Ara dan Aro menghentikan langkah, pun dengan Akhza. Ara lekas menyikut perut Aro, meminta tangan Aro yang memeluk lehernya segera diturunkan.
Aro seperti sengaja ingin memancing keributan, dengan santainya dia mengecup dahi Ara dan berlalu begitu saja sambil bersenandung. Membuat Ara sudah tak dapat berkutik sedikitpun. Tangannya yang sedang memegang mangkuk dan piring seperti kehabisan tenaga. Membuat kedua benda tersebut jatuh mengenai kakinya sendiri.
Akhza reflek menolongnya, ia berjongkok di hadapan Ara yang masih mematung. Memeriksa kaki Ara yang sebenarnya tidak luka sedikitpun.
"Kamu nggak apa-apa, 'kan?" tanya Akhza memastikan keadaan pujaan hatinya itu.
Ara menggeleng cepat, cairan bening sudah sempurna membingkai netranya. Membuatnya siap luruh kapan saja bila Ara sedikit saja mengedipkan mata.
Ara segera mengambil mangkuk dan piring yang disodorkan oleh Akhza. Tanpa patahan kata, ia segera berlalu meninggalkan Akhza.
Akhza menatap sedih punggung Ara yang semakun hilang saat menuruni undakan tangga. Tanya kembali memenuhi otaknya. Apa masud Aro dengan sengajanya membuat dirinya cemburu?
Aro
Karena suasana hatinya sedang baik, dirinya tak memaksa saat Ara menolak keinginannya. Ia memilih datang sendiri ke kafe dan menikmati kopi sambil memandang senja.
Kafe memang selalu ramai di kala sore begini, menyesap kopi bersama orang terkasih memang hal sederhana yang paling terasa istimewa. Sayang, Aro tak memiliki seseorang yang spesial. Profesinya menuntut dirinya untuk tetap sendiri demi dilabeli sebagai milik bersama barisan pemujanya
Aro duduk di pojokkan, sedikit sembunyi dari hingar bingar pengunjung. Kopi hitan dalam cangkir berwarna putih di hadapannya masih mengepul. Roti bakar yang sengaja tak diberi selai sebagai pelengkapnya.
Baru Aro merasakan tenang karena bisa bersantai layaknya manusia normal, segerombolan anak SMA yang masih memakai seragam mendekat ke arahnya.
"Mas Ar," sapa mereka membuat Aro terpaksa harus menampilkan senyum terbaik. Senyum lima jari.
"Minta foto boleh, Mas?" pinta salah satu di antara mereka.
Aro tentu tak bisa menolak, ia pasrah saja. Hingga dirasa puas, keempat remaja itu baru meninggalkan Aro.
Aro berdecak kesal, kepulan asap pada kopinya telah hilang. Padahal ia suka sekali menghirup kepulan itu. Membiarkannya menguar pada rongga hidungnya. Memberikan aroma ketenangan.
Aro meyesap ujung cangkirnya, hanya hangat tak ada sensai panas mengaliri tenggotokannya. Ia ambil selembar roti bakar dan mengigit sedikit ujungnya. Roti dan kopi sudah sama-sama dingin. Membuatnya sudah tak ingin.
Aro memutuskan kembali saja ke rumah utama. Keinginannya menikmati senja besama kopi sudah menguap. Resiko jadi artis, susah bila ingin menikmati waktu sendiri.
Ia membawa langkahnya gontai, jika bukan bunda yang menyuruhnya pulang demi menyambut keluarga calon suami adiknya itu. Aro rasanya malas untuk pulang. Bukan apa, saat masih merindu dia harus tinggalkan Bundanya. Itu penyebab utamanya jarang pulang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Ibrahim Adjie Prawira
eh aro ko kamu gitu /Curse//Sob/
2024-08-05
0
Kasacans 5924
aro sengja bngt bikin marah abng za
2024-06-03
0
fieth92
di angger kn s zhara mah
2022-02-08
0