Ara menyapa kedua kakaknya bergantian. Keduanya hanya membalas sekedarnya membuat Ara sedikit bersedih. Demi memulihkan hatinya, Ara pamit untuk ke kamarnya, namun sempat dicegah oleh sang bunda yang menanyakan apa Ara sudah makan?
"Ara udah makan, kok. Bun," ujar Ara seraya memperlihatkan tempat bekal yang sudah kosong.
"Kamu 'kan suka lupa waktu kalau udah menangani pasien." Bumi beranjak dari duduknya mendekati gadis itu. Meski bukan anak dari rahimnya, Ara sangat disayang oleh Bumi.
"Ara nggak lupa, 'kan kalau Ara sakit siapa yang mau melayani pasien?"
"Kamu istirahat, siap-siap. Nanti kalau tamunya sudah datang, Bunda panggil," ucap Bumi seraya mengambil kotak makan dari tangan Ara. "Nanti Bunda yang cuci," ujarnya seraya mengusap sekilas pipi Ara.
Ara mengangguk dan beranjak, dia sempatkan melirik salah satu di antara kedua kakaknya. Getaran itu masih ada di hatinya, ia melangkah membawa rasa yang bahkan tak sempat atau malah takkan pernah terungkap.
***
Aro
Dia menendang kaki kakaknya yang sedang menatap punggung Ara berlalu dari hadapan mereka. Sontak Akhza reflek mrmbalas menendang kembali Aro di tempat yang sama.
"Gimana rasanya mau ditinggal kawin sama pujaan hati?" ledek Aro seraya tersenyum jahil.
"Shit!" umpat Akhza kembali menyerang Aro. Kali ini dia melempar kembarannya itu dengan bantal kursi. Membuat Bumi berteriak histeris. Sebab alih-alih mengenai Aro, bantal itu malah melayang ke arah bufet kayu dan membuat bingkai foto Ara saat TK terjatuh ke lantai.
"Abaaaang ....!" teriak Bumi membuat anak kembarnya itu kocar kacir berlarian menuju kamarnya masing-masing. Tak ingin kena ceramahan atau sekedar kuliah tujuh menit dari sang Bunda.
Keduanya lari saling dorong, memaksa mengambil langkah lebih dulu saat menaiki tangga. Aro tak mau kalah, dia mendorong tubuh kembarannya sehingga membuatnya terjatuh.
"Sorry, bro. Terkadang kita perlu licik buat jadi pemenang," ujar Aro seraya memiringkan kepalanya dan berlari sebelum Akhza bangun dari jatuhnya.
Aro membuka kamarnya yang sudah dua bulan tak ia tempati. Kuliah dan syuting banyak menyita waktunya sehingga membuatnya tak bisa sering-sering pulang ke rumah itu. Meski begitu, kamarnya tetap terawat, bersih dan rapi.
Aro menjatuhkan tubuh jangkungnya ke atas kasur. Aroma pengharum pakaian langsung menguar saat ia memeluk guling dengan sarung yang sangat lembut.
"Enak banget emang cuaca di sini, sayang nggak bisa tiap hari kayak gini gara-gara tuh upil satu." Aro bermonolog membicarakan Ara yang seringkali ia sapa dengan sebutan Upil.
"Enak kali ya, ngerjain dia. Udah lama nggak gue kerjain tuh bocah."
Aro beranjak, dia merogoh ponsel dari dalam saku celana jeansnya. Mulai membuka layar ponsel yang dikunci dan mengetikan beberapa digit angka di sana.
"Nomornya masih aktif nggak, ya?"
Aro melakukan panggilan keluar pada kontak yang ia beri nama Upil. Siapa lagi kalau bukan Ara. Senyum Aro mengembang mendapati nada tunggu dari sambungan panggilannya. Tak lama, nomor yang dituju menjawab panggilannya.
"Lama bener lo angkatnya, Pil!"
"Maaf, Mas. Aku dari kamar mandi."
"Buatin gue mie rebus dong, anterin ke kamar gue.Baksonya yang banyak, telornya jangan sampe ancur. Cukup muka lo aja yang ancur."
"Tapi, Mas 'kan ...."
"Gue tunggu 10 menit dari sekarang." Aro mematikan panggilannya, ia menyeringai jahat. Puas sudah mengerjai Ara. Dirinya kembali merebahkan diri ke atas kasur, mengambil salah satu bantal dan ia gunakan untuk menutup wajahnya.
Ara
Ara membuang nafas pelan setelah mendapat panggilan dari Aro. Kakaknya yang satu itu memang selalu menindasnya. Tapi, entah kenapa Ara tak pernah bisa melawan. Ia selalu tunduk dan turut pada setiap ucapan Aro.
Baru saja dirinya akan merebahkan diri setelah mandi, ia terpaksa harus kembali beranjak dari tempat tidur. Ara mengambil hijab instan berwarna hitam dengan renda putih pada pinggirannya yang ia gantung di balik pintu kamar. Setelahnya ia segera membuka pintu dan beranjak menuju dapur untuk memasak mie rebus pesanan Aro.
Ara mengendap-endap saat mulai menjejakan kakinya di dapur. Ia takut Bumi melihatnya, sebab pasti Bundanya itu akan melarang Ara yang selalu menurut dengan perintah Aro. Ara bernafas lega saat didapati tidak ada tanda-tanda keberadaan Bumi di ruang televisi maupun di ruang tamu.
Segera Ara membuka kulkas dan mulai mengambil bakso dan sayuran dari dalamnya. Cekatan tangannya segera memotong bahan-bahan pelengkap untuknya memasak mie tersebut. Mengingat waktu yang diberikan Aro hanya sepuluh menit, Ara harus bergelut memasak mie. Ingat, telurnya jangan sampai hancur.
Ara mengusap keringat di dahinya begitu selesai memasak mie. Ia segera membawanya kembali ke atas untuk diserahkan pada Aro. Perlahan langkahnya menaiki undakan tangga. Kepulan asap dari mie memenuhi rongga hidungnya. Ara sendiri sebenarnya tidak terlalu suka memakan mie, dia team memakan mie cukup sekali dalam satu bulan.
Langkahnya terhenti begitu tiba di depan pintu kamar Aro. Ara mengetuk perlahan pintu itu hingga suara sang pemilik kamar menyuruhnya langsung masuk. Ara memutar pegangan pintu, terbukalah pintu bercat putih itu. Matanya langsung menangkap sosok Aro yang tidur terlentang dengan menutup wajahnya menggunakan bantal.
"Mas, aku taro di meja ya mienya?" tanya Ara meminta persetujuan Aro.
Aro menyingkirkan bantal dari wajahnya. Ia beranjak duduk dan mendapati adiknya yang memakai gamis pink nude itu membawa mie pesanannya.
"Sini, sini!" seru Aro melambaikan tangannya pada Ara. Ara tentu melangkah mendekat. Mana berani ia melawan?
"Duduk!"
Ara menurut, ia duduk di tepi tempat tidur dengan perasaan tak karuan. Aro selalu mengerjainya, kali ini apalagi yang akan dilakukan oleh Aro?
"Loh, kok pakai sayuran? gue nggak mau!" tolak Aro.
"Mas tadi nggak bilang," sahut Ara.
"Ini mienya rasa apa?" selidik Aro.
"Rasa ayam bawang," jawab Ara.
"Gue nggak suka, gue maunya rasa keju!" seru Aro asal.
"Mana ada mie instan rasa keju? emangnya pasta?" tanya Ara sudah sangat putus asa.
"Ya udah, kalau gitu berarti lo aja yang makan!"
Ara mendelik, ia tak ingin makan mie rebus. Selain karena minggu lalu baru memakannya, perutnya juga masih merasa kenyang.
"Aku juga nggak mau," tolak Ara memberengut kesal. Bisa-bisanya dirinya masuk dalam jebakan Aro.
"Lo harus mau, calon pengantin tuh badannya harus montok." Goda Aro seraya menyeringai jahil, "biar enak dipegangnya."
"Apa sih, Mas Ar. Ngaco deh ngomongnya!" sentak Ara, indera pendengarannya merasa geli dengan ucapan Aro.
"Udah sini mienya," Aro mengambil alih mangkuk mie yang bawahnua diberi tatakan piring kecil itu.
"Buka mulut, lo!" titah Aro seraya menyendokkan mie.
"Mas, aku nggak mau," tolak Ara.
"Lo mau gue apa-apain atau mau makan mienya?" tawar Aro membuat Ara bergidig.
"Makan mie," jawab Ara cepat.
"Ok, anak baik," ujar Aro segera memasukan sendok ke dalam mulut Ara yang sudah terbuka lebar.
Aro menyeringai, dia memang tak benar-benar ingin memakan mie. Dia hanya ingin mengerjai Ara. Gadis itu menurut saja saat suapan demi suapan Aro masukkan ke dalam mulutnya. Meski terkadang protes karena Aro tidak memotong terlebih dahulu mie itu. Membuat Ara kesusahan saat akan memasukkannya ke dalam mulut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Kasacans 5924
yg mas ar sll buntutin ara jakarta surbya dijudul apa kak. disni ara sdh jd bidan
2024-06-03
0
Ndhe Nii
Satu team sama Ara...makan mie instan sebulan sekali...bahkan lebih...bukan apa apa Rp stok nya d abisin anak-anak 🤣🤣🤣
2022-06-17
0
Sapta Rini
feeling akutu mas ar itu sebenernya ada rasa ke era cm dia berusaha denial 😅
2021-10-18
0