Jam beker di meja menunjukkan pukul 6 pagi. Alarm pun berbunyi. Zee masih terlelap dalam tidurnya. Karena terus berbunyi, Zee mengambil pentungan dan memukul jam beker tersebut hingga berhenti berbunyi.
Beberapa menit kemudian, gadis itu bangun dengan rambut singa dan muka bantal. Dia menyingkirkan jam beker yang sudah rusak karena ulahnya. Kemudian dia membuka laci. Ada banyak jam beker baru di sana. Zee memasang alarm di jam yang sama dan meletakkannya ke meja.
Gadis itu berlalu ke kamar mandi sambil menguap lebar.
Setelah mandi dan memakai seragam kebanggaannya, Zee menyantap sarapan sereal sambil membaca isi dari map kuning yang diberikan Pak Herdian untuknya.
Setelah itu, Zee menaiki motor sport-nya untuk pergi ke kantor seperti biasa. Dia memakai helm dan menyalakan motornya. Namun, ponselnya berdering. Gadis itu mengangkat telepon dari seseorang bernama Emma di kontaknya. Dia pun membuka helmnya untuk mengangkat panggilan tersebut.
"Nona, Tuan San Bima ingin bertemu dengan anda," ucap wanita paruh baya yang sedang berdiri di dekat jendela kamar rawat. Seorang pria tua terbaring di ranjang rumah sakit sambil melihat pada wanita yang bernama Emma itu.
Zee berdecak kesal. "Bilang saja aku sibuk."
Emma melirik pria tua yang sedang sakit di ranjang. "Nona, saya mohon. Tuan San Bima ingin sekali melihat putrinya."
Zee mendengus. "Iya, iya, aku akan segera ke sana."
Gadis itu melajukan motornya menuju rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Setibanya di Danuarga Hospital, Zee mencari kamar rawat yang digunakan ayahnya.
Sesampainya di depan pintu, Zee berhenti lalu menghela napas panjang. Dengan berat hati, Zee membuka pintu dan masuk. Dia melihat Emma duduk di sofa. Ayahnya terbaring di ranjang seperti biasa.
"Nona." Emma membungkukkan badannya.
"Emma, tinggalkan kami berdua," ujar ayahnya Zee.
Emma mengangguk kemudian berlalu.
"Kemarilah." San Bima menggerakkan tangannya.
Zee menarik kursi dan duduk di dekat ranjang ayahnya.
"Aku dengar dari Herdian, kau mendapatkan misi di Kampung Jati Merah."
Bangsat tua itu, dia Kepala Polisi, atau ibu-ibu tukang ghibah? Apa pun dia adukan pada ayahku.
"Kenapa? Ayah mau aku menyampaikan salamku pada jalang itu?" Tanya Zee sinis.
"Jangan sebut dia seperti itu. Dia wanita yang baik," sanggah ayahnya.
Zee mendecih. "Bangsat mana yang baik? Dia mencuri suami orang, membuat istri sah pria itu masuk rumah sakit jiwa, membuat pria itu menelantarkan anak-anaknya, dan membuat keluarga kita hancur berantakan? Pantaskah dia disebut wanita yang baik?"
"Zega... waktu Ayah tidak banyak lagi. Ayah ingin kau menemui wanita itu dan meminta maaf atas segala yang terjadi. Semuanya karena ayah."
"Meminta maaf?" Zee tidak terima. "Iya, ini semua salah ayah. Aku tidak mau meminta maaf. Ayah saja yang meminta maaf pada jalang itu. Dia bahkan tidak pernah meminta maaf pada ibuku atas apa yang dia lakukan!"
"Zega, turunkan nada bicaramu, aku ayahmu."
Zee terdiam.
"Temuilah saudari tirimu. Bagaimana pun kalian adalah saudara. Kalian harus saling mengenal dan saling melindungi."
"Aku hanya mengakui Kak Yevan sebagai kakak kandungku, tidak ada yang lain." Zee beranjak dari tempat duduknya dan berlalu.
"Ketahuilah, saudarimu selalu menanyakanmu sejak kecil. Dia ingin bertemu denganmu dan bermain bersamamu."
Langkah Zee terhenti.
"Zee, Ayah mohon... ini permintaan terakhir Ayah."
Zee melanjutkan langkahnya tanpa memberikan jawaban. Dalam hati dia merasa sangat kecewa pada ayahnya. Gadis itu membatin, Ayah tahu aku akan pergi untuk misi, alih-alih mengatakan hati-hati untukku, dia malah memikirkan anak haram itu. Apa aku tidak berarti untuknya?
Pulang dari kantor polisi, Zee pergi ke RSJ Svender. Gadis itu ingin menemui ibunya yang sudah lama mendekam di sana sejak kejadia di Jati Merah.
Wanita paruh baya itu menangkup wajah putrinya. "Jaga diri baik-baik, Ibu tahu... putri Ibu ini adalah gadis yang sangat tangguh."
Zee tersenyum dengan air mata berlinang. Dia memeluk ibunya dengan erat. Tangisannya pecah dalam pelukan sang ibu. "Ibu."
Tibalah saatnya Zee pergi ke Jati Merah. Gadis itu memakai kemeja putih dan celana panjang berwarna hitam. Kaca mata bertengger di hidung mancungnya. Dia terlihat culun dengan penampilannya tersebut.
Pak Herdian membukakan pintu taksi untuk Zee.
Zee mendongkak menatap atasannya. "Aku pergi sendiri? Apa Bapak tidak memberikanku rekan?"
"Bukankah kau akan bertemu dengan saudarimu? Dia akan menjadi temanmu selama di sana."
Zee mengernyit. "Bapak menghubungi anak haram itu?"
Pak Herdian mengibaskan tangannya. "Bukan aku, tapi ayahmu."
"Kalian benar-benar... ah, tidak ada yang bisa dipercaya orang-orang ini."
"Memangnya siapa yang bisa dipercaya di dunia ini?" Pak Herdian terkekeh. "Tapi, jangan sampai saudarimu tahu, kalau kau seorang polisi."
Zee menutup sendiri pintu taksi yang ditumpanginya.
Pak Herdian melambaikan tangannya. "Selamat tinggal."
Pria paruh baya itu melihat taksi yang membawa Zee melaju menjauh meninggalkan kantor kepolisian.
Selama di perjalanan, Zee tampak melamun. Gadis itu mengambil ponselnya dan menelepon seseorang.
"Kak Yevan."
"Ada apa adikku tersayang?"
"Hari ini aku pergi ke Jati Merah."
"Hah?! Kau mau apa ke sana?"
"Misi."
"Tampaknya pekerjaanmu itu sangat menyusahkanmu. Kenapa memilih menjadi seorang pelayan rakyat ketimbang bekerja sepertiku?"
Dalam hati, Zee menjawab, aku tidak ingin keluarga San dicap miring terus oleh orang-orang.
"Aku suka pekerjaanku."
"Gajimu bahkan tidak seperempatnya dari gajiku."
Zee terkekeh. "Sampai nanti, Kak."
🍁🍁🍁
00.36 | 02 Januari 2021
By Ucu Irna Marhamah
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Anna Seri
zega seperti nama marga nias thor
2021-09-08
0