Tiara duduk di ruang tunggu sambil memeluk kedua lututnya, badannya maju mundur sambil melihat dokter dan perawat yang mondar-mandir ke ruang ICU, mereka sedang berusaha menyelamatkan nyawa kedua orang tuanya.
Sementara udara diluar sini terbilang cukup ekstrem, hujan badai yang sedang melanda kota ini, dengan petir dan kilat yang datang secara bergantian, membuat Tiara semakin mengeratkan pelukannya ke kedua lututnya itu, mengabaikan hembusan angin kencang yang sedikit membawa air hujan ke arahnya.
Tiara melirik om dan tantenya yang sedang asik melihat ponsel mereka, sambil sesekali cekikikan geli. Tidak ada raut kesedihan di wajah mereka, mengingat kakak dan kakak iparnya yang sedang merenggang nyawa di dalam sana.
Duar!!!
Suara petir terkeras yang pernah Tiara dengar, disusul dengan kilat paling terang yang pernah Tiara lihat, membuat Tiara menyembunyikan wajahnya di lututnya. Badannya semakin meringkuk seperti bola, bersamaan dengan dokter yang keluar dari ruang ICU itu.
"Keluarga Carimova?" tanya dokter itu.
"Ya saya..." jawab om dan tantenya.
"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain. Kami tidak dapat menyelamatkan nyawa keduanya...." ujar dokter itu dengan nada menyesal.
Tiara langsung mengangkat kepalanya, lalu bergegas turun dari bangku dan berniat masuk ke dalam ruang ICU, tapi Omnya menahannya.
"Mamaaa!! Papa!!!" teriak Tiara.
Sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri dari cengkraman omnya, hal yang sia-sia karena cengkraman omnya itu terlalu kencang, untuk anak usia lima tahun seperti Tiara.
"Mama!!! Papa!!!" Tiara terus berteriak dan berontak bersamaan dengan petir dan kilat yang terus menerus bersahut-sahutan.
Keesokan siangnya, mama dan papanya dimakamkan bersebelahan, sambil terisak sedih Tiara membelai kedua nisan orang tuanya itu,
"Mama... Papa... Kenapa ninggalin Ara? Mama sama Papa sudah tidak sayang Ara lagi yaa?" isaknya pilu, membuat para pelayat yang ikut ke pemakaman menitikkan air matanya.
Tante Risya mendekati Tiara, dan membelai lembut punggungnya, "Tiara... Kan ada Tante, Om dan Dasha... Nanti kami akan pindah ke rumahmu yaa... Kami akan menemani kamu Tiara... Sekarang kita pulang yaa...." bujuk Tante Risya.
Tiara menggeleng keras, lalu memeluk nisan mamanya, "Tiara mau di sini... Bersama Mama dan Papa... Mama!!! Huhuhu... Tiara mau sama Mama..."
"Tiara... Kamu sayang sama Mama dan Papa?" tanya Tante Risya dan Tiara mengangguk.
"Kalau kamu sayang, kamu tidak boleh bersedih seperti ini... Karena Mama dan Papamu juga nanti akan sedih... Mereka tidak akan tenang di alam sana...."
Tiara tidak menjawab, hanya terus terisak dengan tangisannya. Tangannya masih memeluk erat nisan Mamanya.
"Kamu senang melihat Mama dan Papamu nangis juga, Ra?" tanya Tante Risya lagi, dan sekali lagi Tiara menggelengkan kepalanya.
"Kalau kamu sayang dan tidak ingin Mama dan Papamu nangis, kamu ikut Tante sekarang, kita pulang... Besok Tante dan Dasha akan mengantarmu ke sini lagi, setelah kalian pulang sekolah...."
Tiara melepas pelukannya dari nisan Mamanya, lalu menghapus air matanya.
"Mama... Papa... Ara pulang dulu yaa... Besok Ara ke sini lagi. Mama Papa jangan nangis, Ara janji Ara tidak akan nangis lagi...." ujar Tiara lalu berdiri dan menerima uluran tangan tante Risya.
Sesampainya di rumahnya, mbak Tini langsung berlari ke arah Tiara, dan langsung menggendongnya.
"Nona Ara... Jangan bersedih lagi yaa, Mbak Tini akan tetap di sini menemani Nona Ara." seru mbak Tini yang sudah membantu mengasuh Tiara sejak bayi, dan menganggap Tiara sebagai anaknya sendiri.
"Ara tidak sedih lagi, karena kalau Ara sedih Mama dan Papa akan ikut sedih...." sahut Tiara.
"Mbak, tolong siapkan kamar untuk saya dan anak saya, mulai hari ini kami akan tinggal di rumah ini." perintah Tante Risya.
"Baik, Nyonya Risya... Saya antar Nona Tiara ke kamarnya terlebih dahulu...."
Mbak Tini baru saja melangkah ketika Tante Risya menghentikannya,
"Tunggu!"
"Ada apa lagi, Nyonya Risya?" tanya Mbak Tini.
"Saya akan tidur di kamar Kakak saya, jadi tolong ganti spreinya dengan yang baru...."
"Tapi bagaimana dengan barang-barang Nyonya dan Tuan?"
"Tentu saja saya akan memakainya, dan membuang yang tidak terpakai! Memangnya orang yang sudah mati masih membutuhkannya?!"
"Tapi, Nyonya Risya...."
"Tidak ada tapi-tapi! Cepat laksanakan perintah saya atau saya pecat! Sekarang saya yang berkuasa di rumah ini karena Tiara masih kecil, saya dan suami saya yang menjadi walinya...."
"Tidak apa-apa Mbak, Tante, Om dan Dasha sudah berbaik hati mau menemani Tiara di sini... Jadi biarkan saja Tante di kamar Mama...."
"Baiklah kalau begitu, setelah mengantar Nona Tiara ke kamarnya, saya akan merapikan kamar Tuan dan Nyonya...."
Tiara baru saja akan beristirahat ketika pintu kamarnya mengayun terbuka, dan Dasha masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Ada apa, Cha? Apa kamu mau menemani aku tidur di sini?" tanya Tiara sambil tersenyum lebar. Ia merasa senang kalau sepupunya yang cantik itu mau menemaninya.
Dasha mendengus, "Siapa yang mau tidur sama kamu... Aku mau melihat-lihat kamarmu." jawab Dasha sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar Tiara.
Lalu Dasha membuka pintu balkon, dan melihat pemandangan taman belakang dengan kolam renang dan saung kecil, yang biasa dipakai Mama dan Papanya Tiara duduk santai sambil berbincang-bincang.
"Aku menyukai kamar ini...." seru Dasha.
Tiara tersenyum lembut, "Kamu boleh kok tidur di sini bersamaku, Cha...."
Alih-alih menjawab, Dasha malah melengos dan keluar dari kamar Tiara.
Dan malam harinya, Tiara harus pindah ke kamar lain, dan Tante Risya mengancam tidak akan jadi tinggal di rumah Tiara, kalau Tiara tidak mau memberikan kamarnya pada Dasha.
Merasa takut kesepian, Tiara membiarkan Dasha mengambil alih kamarnya, biarlah ia mengalah yang penting tidak akan kesepian di rumah sebesar ini.
"Kenapa Non membiarkan Nyonya Risya memberikan kamar Non untuk Nona Dasha?" tanya Mbak Tina sambil membereskan baju-baju Tiara ke lemari baju di kamar barunya.
"Tidak apa-apa Mbak, daripada mereka tidak jadi tinggal di sini... Aku senang ada Tante Risya di sini... Wajahnya mengingatkanku dengan Mama...." jawab Tiara sambil menatap pantulan dirinya di standing mirror kayu berukiran rumit.
"Wajahnya saja yang hampir sama... Sifatnya jauh berbeda...." keluh mba Tina.
Dan sekarang, dua belas tahun kemudian, Tiara berdiri di depan standing mirror yang sama. Ia menghela nafas panjang setelah mengingat kejadian itu, dalam sehari ia kehilangan orang tuanya, dan terusir dari kamarnya sendiri.
Sejak saat itu mereka berkuasa atas rumah Tiara, dan bersikap seolah-olah Tiara lah yang menumpang hidup pada mereka, alih-alih mereka yang mengangkangi harta orang tua Tiara.
"Kamar ini hanya sedikit lebih kecil dari kamarku dulu... Setidaknya kamar mandi berada di dalam." desah Tiara mencoba menghibur diri.
Tiara melihat sekali lagi pantulan dirinya di depan standing mirror itu, memastikan seragam putih abu-abunya terlihat rapi, sebelum mengambil tasnya dan berangkat ke sekolah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
manusia berbulu setan.... dasar gila harta 😠
2024-08-10
0
Yunerty Blessa
mulai lah penderitaan Tiara...
2024-08-10
0
Tatik 05
tantenya tiara manusia berkepala tikus..
2023-01-07
1