(Jane..)
Inilah kondisi di mana aku sering menyebut diriku bukan remaja yang tergolong normal. Kondisi di mana aku harus menyelinap ke dalam gedung markas rahasia yang diketahui milik Zero. Aku benci Jack dan Nathan yang akan masuk melalui atas gedung, sedangkan aku harus lewat bawah dengan penjagaan sangat ketat dari agent-agent milik Zero. Beberapa kali aku harus bersembunyi di antara semak-semak hanya untuk bersembunyi dari agent yang sedang berpatroli, membuat rambutku beberapa kali tersangkut pada ranting-ranting tumbuhan di sekitarku dan bukan itu saja, beberapa kali juga aku harus merasakan daun-daun atau ranting menggelitik telinga maupun pipiku.
Mataku menangkap kode dari lantai 3 yang diberikan Jack. Kode itu memberikan tanda bahwa aku sudah boleh masuk ke dalam melalui pintu belakang. Aku berlari ke arah pintu belakang dengan gerakan cepat dan berjalan masuk ke dalam gedung. Mataku mencari tangga darurat dan mencari Jack yang ada di lantai 3.
“Siapa kau?!"
Aku menepuk keningku pelan dan berbalik melihat salah satu agent Zero yang berpakaian jas rapi dengan microphone di telinga kanannya. Aku tersenyum kecil dan menekan microphone milikku dengan pelan. “Red Code!” bisikku dengan kasar.
“Copy!”
Aku mendengar suara Jack yang terdengar panik. Red Code adalah kode kami untuk menggambarkan situasi agent tertangkap musuh. Nathan yang menciptakannya karena menurutnya itu keren. Tapi menurutku itu aneh. Red Code harusnya kode untuk sesuatu yang berdarah. Red artinya merah. Merah identik dengan darah bukan? Tapi setelah perdebatan yang panjang, Jack memutuskan Red Code cocok karena musuh bisa menangkap dan membuat kita terluka mengeluarkan darah. Alasan konyol tapi setelah berpikir berulang kali itu benar.
“PENYUSUP!" teriak agent di depanku dengan sangat keras.
“Serius? Kau lihat penampilanku sekarang? Mana mungkin aku penyusup dalam rangka maling.” Aku menggeleng-geleng dan menarik handgun yang ada di saku celanaku. Handgun hitam pekat dengan peluru bius tentunya. Aku tidak seperti agent lain yang siap membunuh lawan jika terancam. Aku hanya menggunakan obat bius atau jika mendesak menembak dengan peluru biasa tetapi tidak pada organ vital mereka. Aku adalah agent yang baik, yang masih menghargai kehidupan orang lain.
Ia tertawa sinis dan menarik handgun yang ada di saku jasnya. Pandangan matanya seperti mengatakan 'kau kira aku tidak punya handgun?'
Aku menarik nafas saat ia menembak tepat ke arahku. Aku menunduk dan melihat peluru itu menembak ke arah tembok di belakangku. Aku menatapnya ngeri sejenak dan berlari dengan cepat saat pria itu membidik kepalaku sekali lagi. Aku mungkin memang hebat dalam misi, tapi buruk saat melihat seseorang berhasil menembak dengan begitu akurat. Aku bersembunyi di antara lemari-lemari besi yang tinggi dengan harapan Jack segera muncul. Aku menunduk dan mengintip dari sela-sela lemari dan membidik tangannya. Sebuah tangan cukup untuk membuat orang pingsan. Tentu peluru biusku itu khusus, jadi bukan hanya tidur tapi begitu bangun ia akan lupa ingatan jangka pendek.
Bang!
Aku berhasil mengenai tangan pria itu dan membuatnya terjatuh dan dalam hitungan beberapa detik pria itu mendengkur pelan. Aku tersenyum penuh kemenangan dan berbalik badan. Namun pandanganku menjadi buram ketika aku merasakan pukulan yang sangat keras mendarat di sekitar leherku. Aku terjatuh dan kehilangan tenagaku. Beberapa detik kemudian aku melihat bayangan Jack dan Nathan sebelum akhirnya pandanganku benar-benar berubah menjadi hitam gelap..
---
Aku terbangun saat mendengar alarmku berbunyi. Aku mengerang pelan dan menutup kepalaku dengan bantal dan berusaha tidur kembali.
“Jane? Kau sudah bangun?”
Aku tidak memperdulikan suara itu dan berusaha untuk tidur kembali. Aku lelah dan butuh istirahat yang cukup panjang.
“Jane?”
Aku mengerang pelan dan mengembalikan bantal yang tadi aku ambil dari sampingku. Aku mengangkat kepalaku dengan cepat dan hal yang pertama kali aku rasakan adalah sakit yang sangat-sangat menyiksaku. “Urgh”
Tangan besar Jack membantukku untuk kembali ke posisi tidur dan ia merapikan rambutku yang ada di wajahku. “Syukurlah kau baik-baik saja.” Ia tersenyum dan meremas telapak tanganku pelan.
Aku membuka mataku pelan dan melihat sekitar dengan lebih jelas. Langit-langit kamar berwarna putih, wallpaper dinding berwarna cream, dan selang yang ada di hidung serta tangan kiriku. Bunyi yang ku kira alarm ternyata adalah bunyi detektor jantung yang berada di samping ranjangku. Aku mengernyit dan berusaha mengingat kejadian apa yang terjadi hingga aku berakhir di rumah sakit. Mataku melihat Jack yang menatapku dengan perasaan khawatir. “Aku akan panggilkan suster.” Ia berbalik dan melepaskan tanganku. Aku menggeleng dan menarik ujung baju yang ia gunakan untuk menahannya. Ia berbalik ke arahku dan melihatku bingung. Aku hanya tersenyum kecil dan menyuruhnya untuk duduk di tempatnya kembali.
“Ada apa denganku Jack?” pertanyaanku membuat Jack diam dan tampak sekali terdapat aura dingin di sekitarnya. Ia menghela nafas beratnya dan tidak berani menatapku. Ia mencengkram kedua tangannya dengan keras dan pandangannya jatuh kepada tangannya dengan pandangan menerawang.
“Kau berhasil menembak pria itu Jane, tapi tanpa kau sadari teman pria itu datang dan memukul bagian lehermu dengan sebuah pipa paralon. Kau terjatuh dan pingsan saat itu. Tidak lama kemudian, Nathan dan aku tiba dan kaget melihat kondisimu. Pria itu mengambil kesempatan dan mengancam kami, kami harus diam di tempat, kalau tidak menurut nyawamu melayang.”
“Kami mengikuti perkataannya dan ia tidak memenuhi janjinya. Kami mengejar kalian yang berusaha kabur sampai akhirnya kami menemukanmu di basement dalam keadaan tidak sadar dan berdarah di bagian bahu kanan. Kami mendekatimu dan melihat sebuah kenyataan yang menyakitkanku.”
“Aku tertembak di bahu?” aku menyela pembicaraannya dan ia mengangguk kecil.
"Aku tidak bermaksud membuatmu terluka dengan memberikan kau perintah untuk berjaga-jaga di bawah. Aku gagal kali ini sebagai seorang leader dan sebagai seorang kakak."
Aku menggeleng pelan sambil tersenyum, tanganku meraih bahunya, dan mengelusnya pelan. "Aku masih hidup Jack."
"Jane, kau masih beruntung. Jika peluru tersebut mengenai jaringan otot, tanganmu tidak akan bisa digunakan lagi." Jack semakin tenggelam dalam pikiran negatifnya dan membuatku ingin memeluknya untuk menenangkan dia.
Aku menurunkan kakiku dan mendekati Jack. "Aku baik-baik saja Jack. Sungguh." kataku lembut sambil memeluknya erat. Ia mengistirahatkan kepalanya di bahuku dan aku menepuk pundaknya pelan.
Hari sudah semakin malam dan aku benci berbohong kepada Dean yang datang mengunjungiku. Jack bilang kepadanya aku terjatuh dari tangga dan mendarat dengan bahuku. Ia tidak tahu masalah lukaku. Terkadang aku merasa bersalah dengannya karena tidak bisa berkata jujur padanya, namun entah dengan polosnya atau dengan bodohnya ia mempercayai segala ucapan Jack dan menemaniku sampai malam. Aku menatap pintu yang baru saja ditutup Dean. Aku mencoba turun dan berjalan pelan ke arah jendela melihat pemandangan malam yang sangat indah. Aku tidak tahu kamarku berada di lantai berapa, yang kutahu ini sangat tinggi dan pemandangannya sangat indah. Lampu-lampu gedung maupun jalanan terlihat begitu indah dari jendela ini. Langit malam yang berwarna biru gelap disertai cahaya bintang dan bulan yang cukup terang membuatku ingin berada di atas atap rumahku dan menikmati pemandangan.
"Hei.."
Aku menoleh dengan cepat dan melihat Nathan berdiri di dekat pintu. Aku tersenyum kecil dan melihatnya yang mulai mengacak rambutnya sendiri. Aku duduk di sofa di dekatnya dan menatap tanganku yang diperban.
"Maaf soal tanganmu."
Aku menggeleng pelan, "ini bukan salahmu maupun salah Jack. Ada apa dengan kalian?" Aku tertawa kecil dan melipat kakiku.
"Kami merasa bersalah Jane." Ia melipat tangannya di depan dada dan menatapku dengan perasaan berat. "Kami terlambat menemuimu dan tidak bisa berbuat apapun saat kami menemukanmu."
Aku tersenyum kecil dan menyentil keningnya. "Ke mana Nathan yang aku kenal selama ini? Kau bukan Nathan! Mengakulah!" Aku melempar bantal ke arahnya dan tertawa.
Ia tersenyum kecil dan mengacak rambutku dengan sempurna. Sekarang rambutku semakin kacau balau. Aku meraih karet kecil yang ada di meja di sampingku dan mengikat rambutku dengan asal. "Aku baik-baik saja, Nathan." Aku menggerakan tanganku yang diperban dengan sedikit kasar dan membuatku menggigit bibir untuk menahan rasa sakit yang mulai menyengat di sekitar bahuku.
Aku merasakan sebuah tangan mengelus punggungku pelan dan membantuku kembali ke ranjang untuk beristirahat. Mataku membesar saat melihat Nathan tersenyum padaku dan bersikap baik. Pikiranku mencoba menggali ingatanku tentang pria itu. Nathan tidak pernah tersenyum atau bersikap lembut padaku. Ia menarik selimutku hingga ke pundakku dan mengecup keningku pelan. "Good night. Aku akan panggilkan Jack." katanya dengan cepat dan berbalik pergi menghilang dari hadapanku. Aku menatap ke arah bantalku dengan kaget, aku sama sekali tidak menyangka Nathaniel Hunt, seorang agent rank A yang terkenal dengan kemampuan hacker-nya dapat melakukan hal ini padaku. Selama ini ia selalu bersikap dingin padaku dan tidak mau mendengar perkataanku. Aku menutup kedua mataku dan berusaha menghilangkan pikiranku tentangnya dan kembali berkonsentrasi atas misiku yang sedang berlangsung, tidak lama kemudian aku tertidur lelap dan tidak memperdulikan segalanya lagi..
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments