Kau Harus Percaya padaku

Semua siswa-siswi yang memiliki nilai tinggi akan berkumpul di ruang guru. Sekolah ini memang setiap tahun akan memberikan beasiswa bagi siswa yang masuk dengan nilai tertinggi sampai peringkat tiga. Tentu saja aku ikut di dalam deretan siswi itu.

Aku berencana duduk di kursi paling belakang, sebab jauh dari pandangan orang, tapi semua gagal.

Gdebuk.

Aku terjatuh sebab kaki Adnan yang entah sejak kapan ada disitu. Seketika semua orang menatapku tidak terkecuali kakak senior tampan itu.

"Hei kamu, yang nilainya paling tinggi tahun inikan" ucapnya tanpa basa-basi.

"eh, i--ya" jawabnya tidak enak dengan panggilan yang dia tuturkan.

"Sini, duduk di depan saja" perintahnya sambil menunjuk salah satu kursi yang tepat ada di depannya.

Aku terpaksa menurut dan duduk di kursi yang dia pilihkan. Aku menoleh kesal ke Adnan, sebab dialah aku ada di kursi ini. Bukannya merasa bersalah dia malah tersenyum sambil mengangkat jempolnya ke atas pertanda dia setuju dan suka aku ada di sini.

Selang berapa jam semua pembagian beasiswa selesai, aku hendak pergi dengan cepat untuk menemui Adnan dan menanyakan apa maksud dari perbuatannya tadi. Langkahku terhenti karena sosok kakak senior tampan itu menghalangi jalanku.

"Buru-buru" tanyanya cepat.

Aku menoleh ke kiri dan kanan untuk memastikan dia bicara padaku atau tidak.

"Iya, aku bicara denganmu, gak ada siapapun lagi disini" jawabnya cepat.

"Aku hanya ingin kau kenal denganku, aku Adha" ucapnya disertai uluran tangan.

Aku gugup dan tidak tahu harus apa. Bagaimana ini, ini kali pertama ada orang yang mau mendekati dan berkenalan denganku. Aku bingung dan gugup seketika itu juga. Tidak tahu lagi harus apa, aku lari menjauh dari laki-laki yang katanya bernama Adha itu.

Siapa sangka dia mengejar ku, semakin kencang aku lari semakin kencang juga dia mengejar. Aku merasa tenagaku sudah habis tepat di bawah pohon besar itu aku berhenti. Dia mendekat dan meraih pergelangan tanganku.

Secara spontan aku melepas pegangan itu tapi gagal. Usaha terakhirku adalah dengan cara menggigit tangannya. Itu memang tindakan gila tapi rasa gugupku lebih gila dari tindakan itu sekarang.

"Akh" teriaknya cukup keras dan secara spontan dia melepaskan pegangannya dan aku melarikan diri lagi.

...****************...

Aku malu dan bersembunyi di balik pohon ini juga tapi di sebelah kiri sedangkan dia ada di kanan. Pohon ini menang sangat besar bisa memisahkan dua orang bahkan lebih. Aku bersandar sambil mengatur napasku berlahan.

Aku merasa orang seperti dia pasti ada maunya saat mendekatiku. Aku siapa didekati orang seperti dia, pasti dia ingin membuly atau mempermainkanku. Nanti saat aku masuk perangkapnya dia yang katanya bernama Adha itu akan mempermalukanku di depan orang banyak.

Begitulah perasaanku saat ini, masa laluku juga membuat aku tidak percaya pada siapapun kecuali Adnan yang sudah mulai kupercayai sekarang.

"Gak semua orang yang mendekatimu berniat jahat padamu" ucap Adnan tiba-tiba entah datang darimana.

"Kau tahu isi pikiranku" tanyaku dengan wajah terkejut. Aku tidak bicara tapi dia tahu isi hatiku atau pikiranku sekarang ini, ku pikir dia bukan orang biasa.

"Wajah takutmu jelas menceritakan semua yang kau rasakan sekarang" kata Adnan tidak terbebani dengan pertanyaanku itu.

"Apa aku setakut itu" tanyaku tidak yakin pada ucapannya barusan.

"Harusnya aku yang bertanya, apa iya kau setakut itu" jawabnya mengulangi pertanyaanku.

Aku mengangguk pelan antara iya atau tidak. Aku bingung menjelaskan semuanya. Perasaan ini takut atau gugup sebab semua yang kurasakan sekarang hampir sama saat semua orang di kelas melihatku dengan tatapan merendahkan saat SMP dulu.

"Orang tidak selalu sama dengan masa lalu Qaireen. Ada juga orang baik, buka hatimu untuk menerima orang lain" Adnan tampak begitu serius mengucapkan kalimatnya, seolah dia berharap banyak bisa membuatku berubah dan melupakan masa lalu.

"Bukannya kau ingin hari yang berwarna" tanyanya mengingatkanku dengan permintaan asalku beberapa hari yang lalu.

Aku tertawa kecil sampai terbahak-bahak sambil memegangi perutku yang sudah mulai sakit sebabnya. Aku menertawakan permintaanku yang baru saja dia ucapan lagi.

"Hari yang berwarna" ku ulangi dengan nada mengejek.

"Tidak akan ada hari berwarna untukku, aku adalah aku. Qaireen yang tidak pernah dianggap bahkan dipandang" jawabku tegas.

Adnan mendekat padaku, semakin dekat. Dia menarik tanganku dengan kuat, membuat tubuhku bergerak ke arahnya dengan cepat. Mata kami beradu dengan jarak yang dekat bahkan suara napasnya bisa ku dengar sekarang.

"Sudah kubilang, selama ada aku di dekatmu hidupmu akan berwarna" ucapnya dengan serius tanpa mengalihkan pandangannya terhadapku.

Rasanya aku hampir ingin berhenti bernapas. Apalagi aku baru menyadari Adnan begitu tampan dengan mata hitamnya. Tatapannya juga tajam mampu mengoyak siapapun yang ditatapnya walau hanya sekilas.

...****************...

Aku berlari-lari kecil menuju kelas. Aku sudah terlambat rupanya untuk jam pelajaran selanjutnya. Aku tidak memperhatikan sekelilingku, fokusku hanya berjalan cepat agar sampai ke kelas dengan cepat tanpa ada hambatan sama sekali.

Tap.

Aku berhenti secara spontan dan menangkap bola basket yang dilemparkan padaku. Suatu keajaiban aku bisa menangkapnya saat itu. Aku terkejut melihat siapa pelempar bola itu, yaitu Adha.

"Setelah berbuat hal buruk pada orang lain kau malah lari" ucapnya dengan nada santai sambil memperlihatkan bekas gigitanku yang ada di tangannya.

"Aku minta maaf" ucapku cepat. Akhirnya aku bisa bicara pada orang lain selain Adnan. Mungkin Adnan benar tidak semua orang berniat jahat padaku.

"Oke, aku menerima permintaan maafmu, tapi dengan satu syarat" ucapnya menakutkan.

Hatiku mulai bimbang dia tidak berniat jahat padaku. Mungkin kali ini Adnan salah dan aku yang benar. Untuk apa syarat dalam keadaan seperti ini.

"Aku minta nomor telepon" ucapnya cepat.

"Aku tidak punya" jawabku jujur.

"Zaman sekarang kau tidak punya handphone, kau yakin tidak bohong, lagi pula kalau bohong pakai-

"aku tidak butuh benda itu karena tidak ada seorang pun yang ingin ku telpon atau bisa ku telpon" ucapku memotong kalimatnya yang belum selesai dengan wajah serius ku.

Aku meletakkan bola itu ke tanah dan mulai berjalan menuju kelas. Adha masih mengikutiku dari belakang walau aku tidak peduli sama sekali. Pelajaran sudah di mulai, semua tampak serius mendengar suara guru perempuan yang menjelaskan di depan. Tidak ada yang bersuara bahkan bergerak juga tidak sama sekali.

Tok,tok,tok.

Aku mengetuk pintu. Mata guru itu tampak menakutkan sekali. Dia melihatku tanpa berkedip membuat nyaliku ciut seketika.

"Maaf Bu, dia telat karena membantuku merapikan ruangan setelah selesai rapat" ucap Adha tiba-tiba dari belakang.

Wajah guru itu mulai berubah. Syaraf tegang di wajahnya mulai melunak. Dia juga mengisyaratkan agar aku cepat masuk.

"Lain kali jangan begitu Adha, kasihan adik kelasmu ketinggalan pelajaran hanya karena membantu tugasmu" ucap guru itu sambil tersenyum.

"Baik Bu, sekali lagi saya mohon maaf"

Adha pergi dari kelas. Tatapan guru itu juga sudah menghilang dariku, tapi kenapa tatapan beberapa orang itu yang berubah sekarang. Tatapan menakutkan seolah berkata mereka benci padaku.

Apa karena Adha mereka membenciku?

Bersambung..

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!