"Bagaimana?" tanya seseorang pada perempuan yang sedang melamun itu.
Perempuan itu tidak segera menoleh untuk menatap laki-laki yang berada di depannya. Sebuah perasaan enggan menggelayutinya saat dia akhirnya menoleh dan menatap laki-laki itu.
"Apa maksudmu?" tanya perempuan itu pada akhirnya.
"Gadis itu," ujar laki-laki itu lagi. "Bagaimana keadaannya?"
"Dia baik-baik saja."
"Kau tahu bukan itu maksudku."
Perempuan itu tampak mendelikkan matanya, mencerminkan rasa tidak sukanya ke arah laki-laki yang saat ini masih menatapnya dengan tatapan tidak terbaca. Dia selalu tidak bisa mengetahui apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan oleh sosok yang ada di hadapannya itu.
"Aku tidak tahu apa maksudmu," ujarnya. "Enyahlah."
"Ada apa?" tanya laki-laki itu berjalan mendekatinya, menaiki undakan tangga untuk berdiri di samping kursi yang ditempatinya. "Apa ada sesuatu yang terjadi tadi."
Perempuan itu tidak memberi tanggapan. Pandangan matanya sudah kembali terarah ke jendela besar yang terletak tidak jauh dari tempatnya duduk, berusaha menganggap laki-laki itu sebagai angin lalu.
Sosok itu menghentikan langkahnya dan berlutut menghadap ke perempuan itu, mengulurkan tangannya untuk menyentuh sekilas tangannya yang terlihat mungil dibanding tangannya sendiri.
"Tatap aku, Whitney," ujar laki-laki itu.
Perempuan itu segera mengalihkan pandangannya dari jendela dan menatap laki-laki itu. "Ada apa?"
"Harusnya aku yang bertanya itu padamu. Apa yang terjadi padamu?"
"Tidak enak."
Kening laki-laki itu berkerut mendengar jawaban ambigu dari perempuan itu. "Apa maksudmu?"
"Rasa darahnya tidak enak," jawab perempuan itu memperjelas ucapannya sebelumnya. "Aku tidak sengaja menelannya sedikit tadi."
Laki-laki itu terdiam selama beberapa saat lalu akhirnya mengangguk paham. "Syukurlah. Selain itu tidak ada yang terjadi kan?"
Perempuan itu mengangguk. Secara perlahan dia mengulurkan kedua tangannya, menyentuh kedua sisi wajah laki-laki itu dengan lembut, mengusap pipi laki-laki itu yang terasa begitu halus sekaligus keras di bawah telapak tangannya. Tatapan matanya tampak sulit diartikan ketika secara perlahan wajahnya mulai mendekat dan menatap laki-laki itu dengan lekat.
"Jangan tinggalkan aku," bisik perempuan itu merangkulkan kedua lengannya pada leher laki-laki itu.
Laki-laki itu tidak menjawab. Dia hanya ikut mengulurkan kedua tangannya untuk membalas pelukan perempuan itu, tanpa berkata apa-apa.
"Jadi benar...." Perempuan itu bergumam pelan, wajahnya diliputi kesedihan ketika menatap laki-laki itu yang merupakan kekasihnya sendiri.
"Aku tidak setuju dengan perseteruan ini, Whitney," ujar laki-laki itu pelan, tapi dengan ketegasan yang terlihat dari sorot matanya yang berwarna keemasan.
Perempuan itu terdiam, matanya masih menyapu keseluruhan wajah seseorang yang sangat dia cintai selama ratusan tahun lamanya.
Apakah hubungan mereka harus berakhir karena hal ini?
Kedua sosok itu saling bertatapan, saling bertukar isi hati tanpa mengeluarkan suara. Berharap akan satu keputusan final yang sama pada akhirnya, tapi tidak mungkin.
Perempuan itu menyerah. Dia mendesah pelan dan melepas rangkulannya dari laki-laki itu, mengalihkan pandangannya ke arah lain untuk menutupi kesedihannya. Di sisi lain, laki-laki itu tidak pernah sekalipun melepas pandangan matanya dari wajah perempuan itu.
"Pergilah, Will," ujar perempuan itu terdengar dingin, sorot matanya tampak datar ketika menatap laki-laki itu. "Aku akan tetap melakukan ini dengan ada atau tidaknya dirimu, kau tidak bisa menghentikan keinginanku."
Perempuan itu bangkit dari tempat duduknya dan mulai berjalan melewati singgasana yang sebelumnya dia tempati, berjalan keluar dengan kecepatan yang tidak manusiawi dan keluar dari ruangan dengan debaman pelan dari pintu yang dia tutup, meninggalkan seseorang yang masih terpaku di tempatnya sendirian.
"Maaf."
Mungkin ini memang sudah waktunya.
~▪︎~▪︎~▪︎~
"Allison...."
"Allison...."
".... Kau tidak apa-apa?"
Suara-suara itu memasuki gendang telingaku berulangkali dan secara jelas membuat mataku secara perlahan membuka.
"Ukh," aku mengerang pelan, merasakan sinar lampu menghujam kuat mataku.
Aku mengerjapkan mataku sekali lagi dan akhirnya bisa melihat seseorang yang sedari tadi memanggil-manggil namaku. Emily.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya tampak khawatir.
Aku mengangguk perlahan. "Aku baik-baik saja... di mana aku?"
"Rumah sakit. Kamu tidak sadarkan diri saat berada di panti asuhan. Vero minta maaf karena tidak bisa menemanimu sehingga dia menghubungiku sebagai pengganti."
Aku mengerutkan keningku saat mendengar jawabannya. "Apa yang terjadi padaku?"
"Aku tidak tahu pasti," jawabnya menggeleng. "Dia menemukanmu di dapur, awalnya mengira kamu sudah pulang, tapi tahu-tahu saja kamu muncul di sana. Nyaris tidak bernapas."
"Kamu serius?" tanyaku tidak percaya.
Emily mengangguk, tidak terlihat sedikitpun raut kebohongan di wajahnya yang terlihat sedikit kusam. "Aku serius."
Aku hanya menganggukkan kepalaku sebagai jawaban, berusaha mengingat apa yang terjadi sebelum aku berakhir di sini, tapi tidak ada yang teringat. "Sudah berapa lama aku disini?"
"Tiga hari."
Aku menganggukkan kepalaku paham lalu menatap kamar yang sedang kutempati, tidak ada seorangpun di sana kecuali aku dan Emily. Aku menoleh ke arahnya lagi ketika sadar apa yang diucapkannya. "Tiga hari? Ms. Regan? Tugasku belum kukumpulkan."
"Aku sudah memberitahu Ms. Regan kalau kamu sedang sakit, kamu bisa memberitahu dosen yang lain nanti, tugas-tugasmu juga sudah kukumpulkan. Tidak perlu khawatir," ujarnya tenang. "Mau minum?"
Aku menganggukkan kepalaku sehingga Emily beranjak ke sebuah meja kecil untuk mengambil segelas air yang langsung kuteguk hingga tandas. Emily kembali menerima gelas tadi dan meletakkannya ke tempat semula. Aku terdiam menatap jendela yang berada dekat dengan tempat tidurku, rasanya ada yang kurang.
"Kapan aku boleh pulang?" tanyaku pada akhirnya.
Emily terdiam selama beberapa saat. "Kata dokter kau boleh pulang satu hari setelah sadar. Mungkin besok."
Aku menganggukkan kepalaku paham.
"Aku akan memanggilkan dokter," ucap Emily tiba-tiba beranjak dari tempatnya berdiri. "Tunggu di sini."
Aku kembali mengangguk, memperhatikan Emily yang segera keluar dari kamar tempatku dirawat lalu menutup pintunya pelan. Keheningan segera melingkupi kamarku.
Kepalaku menunduk untuk menatap kedua tanganku yang dalam posisi menengadah, menampakkan garis-garis di telapak tanganku yang tampak lebih jelas dan penuh dari sebelumnya.
"Bohong," gumamku pelan tanpa sadar.
Kilasan-kilasan ingatan membanjiriku ketika ucapan itu meluncur dari mulutku. Whitney McClain, taring dan serigala.
Emily menyembunyikan sesuatu dariku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments