1.4

"Ibu, kita mau ke mana?" tanyaku ketika kami berjalan menyusuri bahu jalan.

Ibu terdiam sebelum menjawab. Saat menatap wajahnya, aku dapat melihat kegelisahan yang berusaha disembunyikannya. Ibu tidak pernah seperti ini sebelumnya, terutama sebelum ayah tiba-tiba menghilang dan kami mulai berpindah tempat tinggal dalam waktu singkat. Dia selalu lembut dan tanpa beban, bukan kalut seperti ini.

"Ibu?" tanyaku lagi.

"Oh... ada apa, Ally?" tanya ibuku, akhirnya menatapku.

"Kita mau pergi ke mana?"

"Kita mau ke rumah teman ibu, Ally," jawabnya. "Dia teman ibu dari universitas, dulu sekali."

Aku mengangguk-anggukkan kepalaku. "Tempatnya masih jauh, Bu?"

"Tidak, kita sudah sampai."

Kami menghentikan langkah di depan pintu yang di salah satu sisinya terpasang lampu gantung kuno. Ibu menekan bel dan tidak lama seorang anak kecil yang lebih tua dariku membukakan pintu.

"Halo, ingin bertemu siapa?" tanyanya sopan dengan nada riang.

"Halo, aku ingin bertemu dengan Lucy, apa dia ada?" tanya ibuku.

"Ada, tunggu sebentar ya. Silakan, masuk saja, kalian bisa duduk di dalam."

Setelah berucap seperti itu dia segera berbalik dan memasuki rumahnya. Ibuku membawaku memasuki rumah itu lalu duduk di salah satu sofa, tangannya menggenggam erat tanganku seolah-olah tidak ingin melepaskanku.

Aku menatap sekelilingku dengan penasaran. Memperhatikan ruangan yang luas dengan sedikit perabotan, tapi terlihat nyaman dan tidak terlihat 'kosong'. Terdapat satu lukisan besar yang menggambarkan sebuah taman serta ornamen-ornamen kecil yang menghiasi meja. Terdapat piano yang sepertinya sudah lama tidak di sudut ruangan.

Beberapa menit kemudian anak perempuan itu kembali dengan membawa minuman serta cemilan. Sesosok perempuan berambut coklat, dengan terusan putih yang dipadu bolero hitam rajutan, mengikutinya di belakang.

"Selamat datang, maaf--" ucapannya terputus ketika menatap ibuku lekat. "Mel?"

"Hai, Lus.... Sudah lama ya?" ucap ibuku dengan senyum di bibirnya. "Bagaimana kabarmu?"

Dia tidak mempedulikan pertanyaan ibuku dan malah berjalan mendekatinya, menyentuh pundaknya, lalu menatap ibuku lekat seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Perempuan itu terlihat seperti baru melihat hantu ketika menatap ibuku.

Keningnya berkerut. "Apa ini benar-benar kamu?"

Ibuku terkekeh pelan. "Ini aku, Lus. Aku nyata."

Teman Ibu kembali memperhatikan wajahnya dengan lekat kemudian memeluk ibuku erat. Pundaknya terlihat bergetar.

"Astaga, Mel! Aku sangat merindukanmu," ucapnya cukup keras setelah melepaskan pelukannya. "Ke mana saja kamu? Kamu tidak pernah memberiku kabar selama ini, menghubungimu pun tidak bisa. Sudah hampir lima tahun...."

Ibu tertawa mendengar serentetan kata-kata yang dibuat temannya itu. "Maaf, aku tidak sempat. Beberapa tahun ini aku sangat sibuk mengurus anak."

"Anak?"

Ibuku mengangguk, dia menarikku lembut dari belakang tubuhnya dan memperlihatkanku di hadapan temannya itu. "Ini Ally."

Teman ibuku menoleh menatapku, memperhatikan diriku yang secara perlahan kembali bersembunyi dibalik tubuh ibu. Entah kenapa aku selalu merasa risih jika diperhatikan seperti itu. "Hai, Ally. Salam kenal...." ucap teman ibu sambil tersenyum kecil.

Dengan ragu-ragu aku membalas senyum itu, tapi tidak membalas sapaannya.

"Anak yang manis, mirip denganmu dulu ya?"

Ibuku hanya tersenyum sebagai tanggapan.

Teman ibu kembali mengalihkan pandangannya kepada ibuku lalu mengajak kami duduk di sofa yang tersedia. Dia juga menawarkan aku dan ibuku agar mencicipi minuman dan kue kering yang disediakan.

"Jadi, apa ada kamu ke sini tanpa kabar?"

Aku merasakan genggaman tangan ibu mengerat sebelum menjawab, "Aku kesini untuk menitipkan Ally sementara di sini, bolehkah?"

"Kamu mau pergi lagi?"

Ibuku mengangguk. "Ada urusan yang sangat penting yang tidak bisa kulewatkan."

"Di mana?"

"Aku tidak bisa memberitahumu, Lus. Maaf."

Teman ibuku terdiam, alisnya kembali berkerut ketika memandang ibuku lekat. Dari raut wajahnya, dia terlihat seperti ingin mengetahui apa yang dipikirkan ibu, tapi kemudian bibi itu menghela napas. Tangannya terulur untuk menyentuh salah satu tangan ibu dan meremasnya pelan.

"Kamu tahu "kan, Mel?" ucapnya perlahan. "Aku sudah menganggapmu sebagai adik yang harus selalu kulindungi. Kalau ada masalah yang sedang kamu hadapi, katakan saja, jangan sungkan."

Ibuku kembali menganggukkan kepalanya, sebuah senyum yang terlihat sedih tersungging di bibirnya. "Terima kasih, Lus."

Teman ibuku kembali menghela napas lalu membalas senyum ibuku. "Baiklah, kamu bisa menitipkan Ally di sini." ujarnya. "Berapa lama kamu di sana?"

"Aku juga tidak tahu...."

Bibi itu menggelenkan kepalanya, raut wajahnya menunjukkan kalau dia mulai kesal dengan sifat ibuku yang tertutup. "Baiklah. Aku hanya berharap agar urusanmu terselesaikan dengan baik dan jaga dirimu. Jangan memaksakan diri."

"Ya, tentu saja."

Ibu dan temannya bangkit dari tempat duduk lalu berjalan mendekati pintu. Aku yang masih digandeng olehnya mengekor di belakang mereka. Aku menatap ibuku yang perlahan merendahkan dirinya sehingga sejajar dengan pandangan mataku. Dia menatapku lembut, kedua tangannya menggenggam tanganku erat. "Allison, ibu pergi dulu ya. Jadilah anak baik selama ibu pergi."

"Ibu mau ke mana? Aku tidak boleh ikut?"

"Tidak bisa sayang, perjalanan ibu cukup jauh dari sini. Kamu tunggu saja di sini bersama bibi ya?"

Aku mengerutkan keningku dan merapatkan mulutku. Perasaanku terasa sangat tidak nyaman, seakan apa yang dikatakan ibuku tidak akan berakhir dengan baik. Wajah ibu juga terlihat muram walaupun dia berusaha meyakinkanku dengan tatapannya.

Ibu tiba-tiba menarikku ke dalam pelukannya lalu mengecup keningku. "Jangan lupa apa yang dikatakan ibu tadi ya. Sampai jumpa, Ally."

Ibuku memberiku senyum lembutnya sebelum kembali berdiri dan mulai melangkah menjauh, tidak sekalipun menoleh ke belakang untuk menatapku. Aku hanya dapat melihat rambut panjang ibuku berayun pelan akibat angin dan kedua tangannya yang mengepal.

Saat itu adalah terakhir kalinya aku melihat ibu. Dia tidak pernah kembali.

~▪︎~▪︎~▪︎~

Gelap, itulah yang kudapati setelah membuka mataku.

Butuh waktu beberapa lama untuk mataku menyesuaikan diri dengan keadaan gelap tanpa adanya cahaya sedikitpun. Aku menoleh ke sekelilingku dan tidak menemukan apapun kecuali tiga sisi dinding dan sebuah siluet pagar tepat di hadapanku.

Aku berusaha untuk menggerakkan tangan dari balik punggungku, tapi tidak bisa. Sesuatu menjalinnya dengan erat menggunakan tali yang tebal. Kedua kakiku juga mengalami hal yang sama, sedangkan mulutku ditutupi sesuatu yang tampaknya sebuah kain yang dipilin dan diikat dengan kuat.

Aku mengerjapkan mataku berulangkali untuk memfokuskan pandangan dan mulai menyadari kalau aku berada di sebuah sel, dengan bau apak dan tetesan air dari salah satu dinding. Saat kembali mengerjapkan mata, sesosok laki-laki sudah berada di depan pintu sel dan menatapku. Aku hanya bisa membalas tatapannya ketika dirinya mulai membuka pintu sel dan mendekat ke arahku, membuka jalinan yang berada di mulut dan kakiku.

"Apa yang kamu lakukan?" tanyaku ketika dia mengait salah satu lenganku dan membawaku berjalan, kakiku terasa sangat kaku. Entah sudah berapa lama aku di sini, tapi sepertinya sudah lumayan lama..

Dia tidak menjawab.

Aku hanya bisa terdiam dan mengikutinya menaiki tangga menuju sebuah pintu yang mengarah ke lorong lain yang tidak kuketahui.

"Kamu ingin membawaku ke mana?" tanyaku lagi memecah keheningan.

Dia tetap tidak menjawab.

Kami sudah hampir tiba di pintu lain yang penuh dengan ukiran berpelitur sempurna, dengan mudah dia membuka pintu yang tampak berat tersebut dan memperlihatkan ruangan yang tampak megah dengan kilau keemasan pudar di dalamnya.

"Ruangan apa ini?" tanyaku penasaran. Ruangan ini tampak sangat berbeda dengan ruangan sebelumnya yang terkesan muram.

Dia tetap diam.

Aku menoleh ke arahnya, menatap laki-laki yang terus berjalan di sampingku seakan aku tidak pernah berbicara apapun padanya.

"Apa kamu bisu?"

Pertanyaanku kali ini akhirnya membuahkan hasil. Dia menoleh ke arahku dengan alis bertaut, sedangkan aku menatap wajahnya dengan pandangan tertarik. Entah kenapa wajahnya mengingatkanku akan seseorang yang kukenal.

"Aku tidak bisu." Suaranya terdengar serak.

"Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku?"

Dia terdiam. "Ini aula."

"Bukan itu maksudku."

"Lalu apa?" tanyanya, wajahnya terlihat sangat bingung.

"Kenapa sebelum ini kamu tidak menjawab pertanyaanku?"

Dia kembali terdiam, tampak berpikir cepat. "Karena menurutku itu tidak perlu."

"Tapi--"

Dia memotong ucapanku. "Kita sudah sampai."

Aku kembali memandang ke depan dan menemukan sebuah pintu lain yang terlihat sama persis dengan pintu sebelumnya sudah berada di hadapanku.

"Ini ruangan apa?"

Dia kembali tidak menjawab. Salah satu tangannya saat ini sudah mulai sibuk mendorong pintu itu yang sepertinya lebih berat dari pintu sebelumnya, terlihat dari keningnya yang berkerut dan jeda waktu untuk membukanya yng lebih lama.

Aku menatap ruangan baru yang sekarang berada di hadapanku. Ruangannya lebih kecil daripada ruang sebelumnya tapi memiliki kesan megah yang sama, terdapat masing-masing dua pilar di kanan dan kiri ruangan itu, mengarah ke sebuah panggung dengan dua bangku yang tampak seperti singgasana. Salah satunya sudah diduduki oleh seseorang yang sedang menatapku dengan tatapan berkuasa.

"Aku sudah membawanya, Nona," ucap laki-laki yang membawaku itu sambil membungkuk ke arahnya.

"Kau boleh pergi, Hans."

Dia kembali membungkuk lalu pergi meninggalkan ruangan ini tanpa mengatakan apapun.

Aku menatap seseorang yang ada di singgasana itu dengan pandangan lekat, perempuan itu memiliki kulit seputih kapas dan seraut wajah yang mungil juga sedikit tirus, bibirnya membentuk sebuah garis lurus saat matanya yang berwarna ungu aneh balas menatapku.

Dia tersenyum kecil begitu berdiri tepat di hadapanku. "Selamat datang di manorku, Allison Cartwraight. Aku Whitney McClain, salam kenal."

"Siapa kamu?" tanyaku cepat. Aku merasakan perasaan yang tidak enak saat dia berada di dekatku.

"Aku Whitney, pemilik manor ini."

"Kenapa kamu membawaku ke sini? Aku tidak mengenalmu." tanyaku lagi, tubuhku mulai bergetar ketika menghirup aroma manis yang memuakkan dari dirinya.

Dia menelengkan kepalanya sedikit. "Yah, tentu saja untuk berkenalan denganmu."

"Aku tidak mengerti." Aku berjengit kaget ketika merasakan sebuah napas sedingin es tiba-tiba saja sudah terasa sangat dekat dengan perpotongan leherku.

"Kau sangat bau... tidak salah lagi," gumamnya membuatku bingung. "Aku tidak menyangka kalau kau adalah pewarisnya, seorang gadis polos yang tidak tahu apa-apa."

Perempuan itu menyentuh pipiku yang sekali lagi membuatku berjengit tidak nyaman, jarinya sangat dingin. "Apa yang kau lakukan?" tanyaku ketika dapat merasakan napas dinginnya kembali mengusap leherku.

"Hm, ini tidak seru," ucapnya tiba-tiba lalu menatapku. "Apa kau tahu siapa sebenarnya aku?"

Aku menggeleng, dalam hati merasa bersyukur karena paling tidak dia membiarkanku berjalan menjauh darinya. Aku tidak menyukai baunya dan perilakunya yang mengendus perpotongan leherku membuatku sangat risih.

Dia terlihat berdiam selama beberapa saat, tampak berpikir serius. "Baiklah, rasanya tidak adil kalau menyelesaikan perang ini dengan mudah," gumamnya nyaris tidak terdengar.

Aku merapatkan mulutku, perasaanku menjadi sangat tidak nyaman saat ini. Mataku masih memandang dirinya yang masih berada di tempatnya berdiri. Tanganku mulai bergerak-gerak berusaha melepaskan jalinan tali yang mulai terasa sangat mengganggu. Aku harus pergi dari sini.

"Sampai bertemu lagi, Allison. Senang berkenalan denganmu."

Dalam satu detakan jantung, wajahnya tiba-tiba saja sudah kembali di perpotongan leherku. Aku tidak dapat bereaksi saat sesuatu yang tajam menggores leherku dengan cepat dan dalam. Aku menjerit kesakitan saat sesuatu terasa mengalir di pembulu darahku lalu semuanya berubah menjadi gelap.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!