BAB 3

"Dil kamu dicariin Pak Yudha," kata salah satu rekan satu kantorku.

"Ada apa Dil? Kamu kemarin habis buat marah Si Bos itu ya?" ucap Tyas menggoda.

"Enggaklah," kataku.

Aku beranjak dari meja kerjaku. Menuju ruangan disebelah ruangan para marketing.

Tok... Tok... Tok...

"Permisi Pak, saya Ardila... Katanya Bapak memanggil saya," kataku dari balik pintu.

"Masuk saja silahkan," kata Pak Yudha dari dalam.

Aku masuk ke ruangan itu dan mendapati Pak Yudha sedang sibuk dengan setumpuk dokumen. Saat-saat seperti ini Pak Yudha biasanya akan langsung memarahiku jika aku berbuat salah sedikit saja.

"Silahkan duduk dulu," kata Pak Yudha.

Eh, tumben baik ni Si Bos.

Tentu saja aku hanya duduk diam tak bergerak sedikitpun bagaikan patung. Sampai beberapa menit aku hanya diam kini aku benar-benar merasa bosan.

Sebenarnya aku ingin mengucapkan sesuatu tapi takut membuat dia marah.

"Dil kamu isi dokumen ini sebentar," ucap Pak Yudha.

"Dokumen apa ini Pak?" tanyaku.

"Itu surat pernyataan darimu bersedia menjadi sekretaris di kantor saya ini," kata Pak Yudha.

"Sekretaris?"

Hah? Yang benar saja? Jadi aku dipanggil untuk sebuah jabatan baru? Memang Si Bosku ini sedikit aneh orangnya. Dia bisa bertindak diluar pemikiran manusia normal.

"Tapi Pak?"

"Apa kamu tidak mau? Kalau kamu tidak mau tidak apa-apa nanti biar aku suruh staf HRD buat rekrut karyawan baru," ucapnya.

"Eh, bukannya begitu Pak. Tetapi kenapa saya yang dipilih Pak?"

"Hasil kerjamu selama di kantor ini kan sudah cukup membuktikan bahwa kamu benar-benar berdedikasi atas pekerjaanmu. Jadi saya rasa itu cukup untuk mengangkatmu menjadi seorang sekretaris."

Aku terdiam, aku bingung mau berkata apa lagi. Akhirnya aku mengisi dokumen itu. Tidak ada yang mencurigakan dari dokumen itu. Hanya pernyataan resmi bahwa aku naik jabatan dan juga gajiku juga naik.

"Jadi mulai sekarang kamu yang membantu aku mengurusi semua dokumen yang menumpuk ini," kata Pak Yudha.

Aku keluar dari ruangan Si Bos itu sambil menghela nafas panjang. Entah perasaan apa yang seharusnya aku ungkapkan. Tapi jujur aku senang akhirnya aku naik jabatan. Tapi sisi buruknya adalah setiap hari aku harus bertemu dengan Si Bos itu.

"Bagaimana Dil? Ada apa tadi Si Bos memanggilmu?" kata Tyas.

"Tebak?" jawabku sambil tersenyum.

"Dia memberimu uang?"

"Bukan itu, masih kurang tepat."

"Lalu?"

"Aku naik jabatan, mulai besok aku menjadi sekretaris di kantor ini."

"Ah, yang benar kamu? Kok gampang amat. Padahal udah lama aku meminta izin Bos buat menempati posisi itu," kata Tyas.

"Sudah... Sudah, lain kali pasti kamu ada kesempatan," ucapku menggodanya.

"Hufft..."

Tyas memasang muka cemberut. Lalu aku mencubit pipinya itu.

"Ih, sakit tahu..." kata Tyas.

"Btw, bagaimana hubunganmu dengan orang Arab itu," bisikku ke telinga Tyas.

"Hihihi. Kamu tahu Dil? Permainannya diatas ranjang benar-benar membuat aku ketagihan. Kemarin malam setelah kamu pulang kami berdua ke apartemen dan arghh.... Aku gag kuat nyeritainnya Dil, aku takut terangsang lagi," kata Tyas.

"Apaan sih kamu Yas, berlebihan deh..." ucapku.

"Beneran Dil, aku enggak bohong. Coba aja kamu mau jadi istri simpanan kayak aku. Pasti aku kenalin deh sama bule-bule Arab temannya si Abdullah."

"Ah, enggak usah deh... Terimakasih," ucapku.

***

Rutinitasku saat pagi di kantor benar-benar berubah. Aku harus mempersiapkan segalanya lebih awal. Jadwal meeting, pertemuan dengan clien, pertemuan dengan para manager bagian. Huft... Aku pikir mendapatkan kenaikan pangkat membuat pekerjaanku jadi lebih ringan. Dan lagi aku harus menyelesaikan dokumen-dokumen dari Si Bos itu.

"Meeting hari ini sudah siap Dil?" tanya Pak Yudha.

"Sudah Pak, semua sudah siap. Hari ini meeting pertama akan dimulai jam sepuluh," ucapku.

"Terimakasih," ucap Pak Yudha.

Satu hal yang membuat aku jenuh ketika menempati posisi sekretaris ini adalah karena aku harus berada satu ruangan dengan Si Bos. Dan lagi baru kemarin Si Bos mengomentari soal penampilanku.

Biasanya sebagai seorang marketing, tentu saja aku akan lebih sering di lapangan bertemu dengan clien. Jadi aku lebih suka memakai celana panjang bahan dengan setelan jas. Tapi baru kemarin Pak Yudha memintaku mengenakan rok pendek. Katanya memakai rok untuk perempuan kantoran akan terlihat lebih sopan. Tapi aku pikir itu hanya alibinya saja.

Mungkin saja seperti yang dikatakan Tyas waktu itu, Si Bos naksir sama aku. Jadi dia mencari kesempatan untuk melihat paha putih mulus milikku.

Hari ini pun aku merasa risih saat orang-orang melihat penampilanku.

Mereka bilang aku tampil agak lebih berani hari ini. Beberapa memuji aku, beberapa orang lagi terdengar malah seperti sedang menggodaku.

Aku ingin sekali mengabaikannya, tapi tentu saja aku tidak bisa. Dalam hal penampilan, terutama saat aku memakai pakaian agak terbuka aku jadi lebih sensitif.

"Dil, kamu boleh beristirahat selama aku meeting nanti. Tapi tolong nanti tetap stanbye dengan ponselmu. Kalau-kalau aku membutuhkan sesuatu," kata Pak Yudha.

Sejak aku menjadi sekretarisnya aku merasa perlakuan Pak Yudha padaku jadi agak melunak. Entah karena kami jadi sering bertemu tatap muka atau karena sikap Pak Yudha memang berubah.

Sembari menunggu Pak Yudha selesai meeting. Aku menghabiskan waktu luangku dengan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaanku.

Meskipun Pak Yudha sudah meminta aku untuk istirahat sebentar, tapi aku tipe orang yang tidak bisa menunda-nunda pekerjaan.

Hal ini juga aku pelajari dari Mas Faizal. Mas Faizal benar-benar orang yang efisien dalam hal waktu bekerja.

Tok... Tok... Tok...

"Iya, silahkan masuk," ucapku.

Kemudian yang muncul adalah wajah Tyas. Yaampun aku kira siapa.

"Ada apa Yas?"

"Nanti selesai kerja ada waktu enggak?"

"Kayaknya ada," kataku.

"Temani aku sebentar ya," ucap Tyas.

"Kemana? Bukan tempat aneh-aneh kan?"

"Tenang... Bukan kok, pokoknya kamu ikut saja deh," ucap Tyas.

Aku punya firasat buruk. Mudah-mudahan Tyas enggak punya rencana yang aneh-aneh.

"Okelah, nanti aku temenin. Tapi jangan sampai malam. Kasian Suster yang ngurusin Mas Faizal nanti pulang terlambat," kataku.

Karena aku sibuk bekerja aku sengaja membayar seorang perawat untuk merawat Mas Faizal.

Jujur aku ingin merawat Mas Faizal sendiri, tapi kalau aku lakukan itu, bagaimana aku membayar biaya hidup dan pengobatannya.

Berlalunya jam di kantor terasa sangat cepat. Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul lima petang. Untunglah Si Bos hari ini pulang agak cepat karena ada urusan dengan Istrinya. Jadi jam pulangku tidak molor seperti biasanya.

"Untungnya Si Bos pulang lebih awal ya Dil," ucap Tyas.

"Iya, untung saja... Btw, kita mau kemana nih?"

"Kita ke cafe depan kantor bentar yuk... Aku mau cerita sama kamu," katanya.

Curhat? Tidak biasanya Tyas bicara hal serius denganku. Kalaupun ia melakukannya biasanya adalah suatu hal yang sangat penting ataupun gawat.

Kami duduk di bangku dekat dengan jendela. Setelah memesan dua cangkir kopi panas. Aku melihat raut wajah Tyas berubah dari yang sebelumnya terlihat ceria jadi mulai berkaca-kaca.

"Aku hamil Dil," kata Tyas.

"Hamil? Wah, selamat ya... Kok malah sedih kamu," kataku.

"Masalahnya Dil, aku tidak tahu siapa Ayahnya."

"Hah?"

Terpopuler

Comments

IG: gabriella_mgd

IG: gabriella_mgd

Permisiii author dan kakak2 semuanya 🤗

mampir yuk ke cerita aku: Nathaniel x Klara
di like, komen dan follow jugaa yaa klo bisa hehe 🙏🏻😄

makasihh

ayoo kitaa saling dukung satu sama lain yaa 💪🏻😊🤗

2020-12-29

1

VANNY MELATY

VANNY MELATY

sertakan Visualnya dong thor🙏

2020-12-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!